webnovel

BAB16

"Kami bangga padamu, Santi!" ucapku penuh haru. Aku masih tidak percaya, sahabatku yang satu ini sudah lulus. Dia memang luar biasa.

"Makasih ya, kalian memang para lelaki luar biasa. Sahabat terbaik!" Santi sekali lagi memeluk kami.

"Jadi, hari ini kita makan gratis, dong?" pancing Doli.

"Yuk, kalian boleh makan sepuasnya. Aku yang bayar!" Santi tertawa, dengan air mata di pipinya yang belum juga kering.

Selalu ada rasa bahagia atas pencapaian. Barangkali, itu yang tepat untuk aku utarakan saat ini. Santi telah berhasil mencapai satu puncak di atas kami. Puncak yang sama-sama kami kejar bersama. Dari Santi, aku belajar satu hal: bahwa urusan hati tidak seharusnya merusak prestasi dan pendidikanmu.

***

Aku duduk di bangku yang terletak di depan tempat kos. Baru saja selesai menerima telepon dari Ayah. Dia awalnya hanya menanyakan kabarku: apakah aku baik-baik saja? Apa aku sudah makan? Ya seperti biasa. Namun, akhirnya dia kembali mengingatkanku untuk mengerjakan tugas sekolahku.

"Jatah sekolahmu tinggal satu semester lagi," kata Ayah dengan suara tegas, "jika tidak, kamu harus membiayai sendiri uang sekolahmu." Dia tidak mengancamku, aku tahu itu. Aku dengan Ayah memang sudah punya kesepakatan tidak tertulis. Sejak awal aku masuk sekolah, aku hanya dapat jatah masa pendidikan normal. Sekolah dasar enam tahun. Sekolah menengah pertama tiga tahun. Sekolah menengah atas tiga tahun. Dan, insyaAllah jika ada rezki dari Allah akan dilanjutkan ke pendidikan tinggi selama empat tahun.

Itu adalah perjanjianku dengan Ayah. Jika tidak menyelesaikannya tepat waktu, aku harus menanggung uang sekolah sendiri. Syukurlah, selama ini aku masih bisa memenuhi target yang ditetapkan Ayah.

Namun, kali ini aku terdiam agak lama, sebelum mengatakan kepada Ayah bahwa aku insyaAllah akan tamat tepat waktu. Satu semester lagi, dan aku tidak begitu yakin bisa menyelesaikan pelajaran dengan mengulang beberapa mata pelajaran sekaligus. Jangankan dengan tambahan mengulang mata pelajaran sekolah, untuk mengerjakan tulisan saja aku masih belum yakin bisa menyelesaikan semua itu dengan tepat waktu.

Aku bukan Santi yang bisa menyeimbangkan segala sesuatunya dengan baik. Bukan Panjul yang meski sibuk dengan laptop dan hobinya diam-diam bisa mengerjakan pelajarannya dengan baik. Bulan depan, Panjul sudah mulai tugas penelitian. Artinya, dia akan lulus periode berikutnya setelah kelulusan Santi bulan depan, karena di sekolah kami, ada tiga kali kelulusan setiap tahunnya.

"Iya, Yah. Akan aku usahakan," jawabku setelah mencoba mencari kalimat yang tepat untuk mengakhiri telepon dengan Ayah. Aku memang tak bisa membayangkan jika Ayah kecewa kepadaku. Aku tidak pernah ingin melakukan itu.

Malam ini, aku sadar satu hal mengapa Neti memilih untuk melepaskanku dan kembali pada pertahanan keluarganya. Ia hanya ingin membuat kedua orang tuanya bangga. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa karena terus mencintaiku. Di mata ayahnya, lelaki sepertiku ini mungkin termasuk kategori lelaki yang tidak bermasa depan. Di mata orang kaya, seperti ayah Neti, masa depan adalah kekayaan, harta, dan jabatan.

Hal yang awalnya menjadi alasan Neti memilih untuk mencintaiku ternyata menjadi bumerang. Katanya, dia bosan dengan ambisi lelaki yang sudah membesarkannya itu. Ia bahkan tidak melihat ketenangan di dalam diri lelaki itu. "Aku bahkan lebih menyukai caramu menikmati hidup," katanya pada suatu hari kepadaku. Pada waktu itu, aku hanya bisa melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Dengan beberapa temanku, kami menikmati senja di taman, di tempat yang sangat sederhana, sangat jauh dari kemewahan. Dan, itu kali pertama Neti ikut bersama kami.

Aku berusaha untuk tidak mengingat Neti lagi. Akan tetapi nyatanya, dia memang tidak pernah bisa lepas dari apa yang sudah diciptakan orangtua dan keluarganya. Aku juga tidak ingin menyalahkan Neti. Karena Dia berhak memilih. Dia berhak memilih dan menentukan apa saja yang harus dilakukan.

Aku juga tidak pernah merasa menyesal karena hatiku pernah terlalu dalam mencintainya. Namun, ada baiknya juga bagiku pada saat keadaan sekarang ini. Aku jadi tidak harus mengejar-ngejar waktu lagi untuk menemui Neti. Meski dia terus berusaha untuk menjadi seorang yang bersahaja dan sederhana, sikap manjanya tetap saja tidak bisa dia hilangkan. Dan pada akhirnya, aku mulai mengerti. Neti sebenarnya bukan ingin menjadi seorang yang bersahaja dan sederhana, dia hanya sedang belajar bagaimana caranya menempatkan diri untuk bisa mencintaiku. Dan, pada akhirnya pun dia menyerah.

Tapi anehnya, belakangan ini, aku malah kepikiran gadis yang kutemui di Pemandian Tirta alami pada Minggu yang lalu. Ah, mata bening gadis itu masih saja membayangi ingatanku. Lalu Cara Dia ketika mengobati lenganku yang tersiram air panas, dan Cara Dia berbicara kepadaku. Semua itu sangat membuatku kagum. Namun, aku sadar, semuanya telah berlalu. Sudah lewat. Sama seperti Neti, barangkali aku juga harus belajar untuk melupakannya. Mengenalnya saja belum. Bagaimana mungkin aku harus belajar melupakannya? Ini memang aneh. Atau apakah ini,.. ah, sudahlah.

"Yogi, minas Antonya mana nih? Jurnal sudah aku download,

nih." Suara si Panjul terdengar bersorak dari dalam.

Aku segera masuk menuju tempat Panjul yang duduk di ruang yang berada di depan kos. Tempat kami biasanya berkumpul dan belajar bersama.

"Mana? Sini aku lihat dulu."

Dia lalu memperlihatkan beberapa lembar jurnal di layar laptopnya. Aku bermaksud mengeluarkan flashdisk agar dia memintakan data itu kepadaku. Namun, bukan si Panjul namanya kalau tidak hitung-hitungan soal yang beginian.

"Beliin minas Anto dulu donk. Aku lapar nih!" ucapnya.

"Yaelah. Iya iya deh. Bentar, aku beliin keluar dulu nih." Aku jadi geleng-geleng kepala jadinya.

"Sekalian buat aku juga ya, Yogi," ucap Doli yang minta ditraktir juga.

"Oke, kamu juga aku beliin. Tapi, ada syaratnya." Aku menawarkan persyaratan.

"Apaan?"

"Temenin Aku beli minas Anto."

"Gitu amat sih kamu, pakai syarat segala. Aku kan lagi teleponan sama pacarku." Doli mengeluh.

"Jadi, kamu mau makan atau teleponan nih?"

"Sayang, cintaku, manisku, bentar ya. Aku mau beli makanan dulu," ucapnya kepada perempuan yang sedang dia telepon. "Nanti aku telepon lagi ya, Sayang. Muaaahc!" ditutupnya di penghujung pembicaraan, lalu menambahkan dengan bunyi ciuman yang menggelikan.

Akhirnya, Doli ikut aku membeli makan malam. Kami berangkat meninggalkan Panjul sendirian di tempat kos. Aku meminjam motor Panjul dan dia hanya mengangguk sebagai pertanda memperbolehkan. Sejak dari tadi siang, aura dan raut wajah lelaki yang satu itu tidak seperti biasanya. Kayak ada aura sedih gitu, tetapi dia tidak pernah bercerita kepada kami. Aku sangat kenal dengan sahabatku yang satu itu. Panjul memang begitu orangnya, tidak semua hal—terutama yang menyedihkan baginya—dia bagi kepada kami. Dia tipe manusia yang suka menikmati rasa sakitnya sendiri.