webnovel

BAB15

... karena kita tahu cinta kita nggak pernah bisa tumbuh di hatinya."

"Asyiiikkk! Ck, bijak sekali si Santi ini." Doli tergelak. Aku hanya tersenyum melihat kelakukan Doli.

Mereka memang sahabat yang unik sekaligus aneh dan terkadang menyebalkan.

"Gimana, Yogi..., udah dapat bahan buat tulsannya?" Santi menoleh ke arahku.

"Udah sebagian, Santi. Ini mau minta bantuan si Panjul juga buat cariin jurnal ilmiah sebagai referensi tambahan." Aku menatap Panjul yang sibuk dengan laptopnya.

"Aku sih siap aja, asal ada Minas Anto, aman ya." Aku sudah menduga jawaban Panjul. Dia adalah andalan kami untuk mencari jurnal berbahasa asing di internet.

"Kalau gitu, aku juga ya, Njul," timpal Doli.

"Hah? Kamu udah mau bikin tulisan juga, Dol?" Santi memelototi Doli seakan tak percaya.

"Segitu kagetnya? Aku cuma bercanda kali. Kalian kan tahu sendiri, tugas sekolahku masih banyak yang belum selesai." Doli tertawa. Kami bertigapun ikut tertawa. Aku menggelengkan kepala. Bersama tiga orang ini, semua masalah seolah menguap begitu saja.

Aku dan Doli kebagian tugas untuk membawa setumpuk buku sumber yang menjadi senjata bagi Santi. Panjul kebagian tugas menyiapkan konsumsi untuk para penguji dan pembimbing. Di sekolahku, saat Santi sidang menulis, masih berlaku aturan siswa-siswa menyiapkan konsumsi untuk keperluan kegiatan itu. Di dalam ruangan, Santi tampak sedang menyiapkan slide presentasi. Dia terlihat gugup. Dengan baju putih dan bawahan hitam (pakaian keharusan saat sidang di jurusan kami), Putri sesekali mengelap keringat yang muncul di keningnya.

Sebelum para penguji dan pembimbing sidang datang, kami masuk ke ruang sidang dan berusaha menenangkan Santi yang terlihat tegang.

"Santai aja, Santi!" Doli mencoba memberi semangat agar Santi tenang.

"Iya, semua akan berjalan baik-baik aja kok." Aku menambahkan.

"Makasih ya, Yogi, Doli. Kalian memang sahabat terbaikku." Santi terharu dengan apa saja yang baru saja kami lakukan.

"Hei, bantuin dong. Berat nih!" Suara Panjul tiba-tiba saja memecahkan suasana tenang yang baru saja tercipta di ruang sidang. Dia kewalahan membawa nasi kotak dan camilan yang ditaruh di tiga kantong plastik berukuran lima kilo itu.

Aku dan Doli segera membantu. Beberapa menit kemudian, guru penguji dan pembimbing sidang tulisan Santi sudah mendekati ruang sidang. Itu artinya kami harus bersegera keluar dari ruangan. Saatnya Santi berjuang sendiri. Aku sempat menepuk lembut bahu Santi.

Santi lalu menelepon ibunya menjelang saat-saat terakhir.

"Bu, sebentar lagi aku masuk ruang sidang. Mohon didoakan aku ya, Bu, untuk kelancaran sidangku." Ia menutup telepon dengan senyum, lalu melangkah menuju ruang sidang.

"Selamat berjuang, Santi!" Ada perasaan bangga sekaligus sedih dalam untaian kalimat ucapanku. Entahlah, aku sudah membayangkan nanti Santi akan jauh dari kami. Mungkin dia akan pergi ke Jakarta atau bisa jadi lebih jauh lagi. Namun, pencapaian Santi hari ini adalah hal yang mengagumkan. Dan, aku bangga, dia adalah siswi yang menjadi pembuka sidang untuk angkatan kami. Dia memang siswi sekaligus sahabat yang pantas dibanggakan.

"Hebat ya, Santi." Doli menatap ke arah gadis yang sedang berjuang di dalam ruangan itu. Dari balik kaca, dia terlihat gugup, tetapi tetap berusaha menjawab semua pertanyaan dari guru penguji. "Meski dia sedang punya masalah cinta, tetap saja sekolahnya lancar dan sekarang dia berhasil membuktikan itu semua, dia adalah siswi yang bisa dibanggakan di angkatan kita."

Aku sebenarnya merasa tersentil ketika Doli mengatakan masalah cinta. Aku tersindir. Apa karena aku bermasalah dengan urusan percintaanku hingga menyebabkan aku gagal tamat tepat waktu? Namun, aku paham, yang dimaksud Doli bukan itu. Dia kagum pada Santi yang tetap bisa menyeimbangkan urusan hati dan urusan pendidikan. Bahkan kami hampir tidak pernah melihat Santi galau berlebihan, meski bertahun-tahun dia memendam perasaan kepada lelaki yang sudah memilih perempuan lain.

Aku lalu menatap ke arah Panjul, dari tadi Aku perhatikan dia hanya diam saja. Dia orangnya memang tidak suka banyak bicara, tetapi kali ini diamnya itu berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang ditampilkan Panjul dalam diamnya itu, tetapi aku tidak tahu apa itu. Ia memasang earphone di telinganya, tak perlu ditanya, itu pasti lagu Minang yang diputar.

"Panjul!" Aku menepuk bahunya.

"Hah? Apa?" Panjul kaget. Benar saja dugaanku dia sedang melamun.

"Kau kenapa, sakit?" Doli menatap ke arah Panjul.

"Enggak, cuman sedikit kelelahan aja. Kalian curang sih, masa iya aku sendirian aja yang ditugasin jemput konsumsi sebanyak itu. Mana tempatnya jauh lagi," keluh Panjul.

Ck! Kami berdua tertawa. Ternyata itu masalah Panjul. Kami kembali fokus kepada Santi yang masih berjuang di dalam ruangan. Aku tidak bisa membayangkan seandainya aku yang berada di dalam saat ini, pasti sudah basah kuyup bajuku kena keringat dingin. Terbayang olehku wajah-wajah guru penguji yang seakan seperti ingin membantaiku dengan kejam, apalagi dengan kapasitasku yang tidak terlalu serius belajar di jurusan ini. Aku lebih suka mengulik Kamus Besar Bahasa Indonesia dibanding buku manajemennya G.R Terry. Aku lebih suka membaca karya-karya Dewi Lestari—itu pun kupinjam dari Santi—ketimbang larut dengan buku Gordon B. Davis yang membahas Sistem Informasi Manajemen, mata pelajaran yang harus kuulang.

Namun, sekarang—sejak memutuskan memulai menulis pelajaran—aku sadar, aku tidak bisa mengelak dari buku-buku yang kuhindari itu. Ya, setidaknya sebagai cara agar aku bisa lulus dari sekolah ini. Terkadang, kita memang harus memaksakan diri untuk menyelesaikan apa yang sudah kita mulai agar semua yang telah berjalan lama dan memakan banyak biaya, serta hal-hal yang terlewatkan olehnya, tidak benar sia-sia. Aku menatap ke arah Santi yang seperti ingin menangis di dalam ruang sidang.

Matanya seperti dipaksa membendung genangan air mata. Sesekali, dia menyapukan jari-jarinya ke pipinya. Ah, sial, aku kenapa jadi ikut takut begini untuk menghadapi sidang? Kenapa jadi terkesan menyeramkan begini, ya?

"Yogi..., itu Santi diapain?" Doli menatap ke arahku.

Aku hanya menggelengkan kepala. Aku juga khawatir Santi tidak bisa melewati sidang ini. Namun, kami tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menunggu.

Beberapa menit kemudian, Santi keluar dari ruang sidang. Aku melihat matanya sembap, bengkak, dan pipinya dialiri bekas air mata. Dia tidak bicara apa-apa kepada kami. Dia hanya menatap tanpa memberi kami penjelasan apa yang baru saja terjadi di dalam ruang sidang itu?

Dalam hitungan detik, Santi memeluk erat tubuh kami bertiga. Aku mulai cemas. Apa Santi gagal sidang? pikirku.

"Sudah, jangan sedih, kan sudah lulus," ucap salah satu penguji yang keluar dari ruang sidang.

"Ck!" Santi tertawa bercampur tangis, air matanya tidak juga berhenti menetes. Aku membalas pelukan Santi lebih erat, begitu juga dengan dua sahabatku.