webnovel

Desa Whis

Setelah berbincang agak lama akhirnya Satria pamit untuk ikut dengan Trixi serta Alexa ke Desa Whis dimana mereka sudah menemukan rumah yang mau dijual. Mereka berjalan menyusuri jalanan Kota Lunar hingga keluar dari area kota dan menyusuri jalanan menuju desa. Trixi mengatakan kalau mereka membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di desanya.

Sepanjang jalan mereka melewati beberapa desa dan ladang pertanian yang digarap oleh para warga desa. Sudah lebih dari dua puluh menitan mereka berjalan sambil berbincang, Satria benar-benar kagum dengan Trixi dan Alexa yang pulang pergi jalan kaki seperti itu setiap harinya.

"Apa kalian selalu jalan kaki?" tanya Satria.

"Ya, lagipula daripada naik kereta kuda lebih sehat jalan kaki seperti ini," jawab Trixi.

"Tapi sebenarnya dulu Alexa sering banget berhenti kalau sedang berjalan seperti ini. Cuma sekarang kelihatannya dia sudah terbiasa," sambung Trixi sambil tertawa kecil.

"Trixi," kata Alexa dengan wajah memerah karena malu.

"Itu hal yang wajar. Lagipula berjalan sejauh ini memang menguras tenaga," ucap Satria.

"Tapi kelihatannya kamu sudah cukup terbiasa," tutur Alexa.

"Aku memang sudah sejak lama terbiasa jalan kaki sejauh ini," jawab Satria sambil menatap langit yang mulai memerah karena sudah petang.

"Oh iya, kamu kelihatannya kaku banget Sat. Wajah dan kata-katamu juga selalu serius seperti itu," tukas Trixi secara blak-blakan. Mungkin setelah cukup sering bertemu mereka memang terasa sudah begitu dekat.

"Maaf jika aku mengganggumu. Tapi aku memang seperti ini," jawab Satria tanpa merasa tersinggung sedikitpun.

"Hehehe.. kamu tidak harus sampai minta maaf juga, aku hanya heran saja," kata Trixi sambil tertawa, Alexa juga terlihat berpikiran sama dengan temannya itu.

Tapi mau bagaimana lagi, Satria sendiri bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia tertawa karena bercanda. Sejauh ini dia hanya bisa tertawa saat bertarung dengan musuhnya. Meski begitu Satria tidak mempedulikannya sedikitpun. Kelihatannya dampak bullyan dan siksaan teman-temannya lebih dari dua tahun ini memang sudah membuatnya jadi seperti itu.

Mereka terus berjalan hingga akhirnya sampai di Desa Whis. Pepohonan rindang dan rapi tertanam di tepi jalanan desa. Sungai besar terlihat membentang di depan mereka memisahkan Desa Whis dari desa seberangnya. Mereka bertiga langsung menaiki jembatan dan sampai di daratan desa. Tampak sebuah bukit nan tinggi menjulang berdiri di belakang rumah-rumah penduduk, bahkan ada beberapa rumah yang terlihat ada di bukit.

Ladang-ladang tanaman terlihat hijau memanjang di sepanjang sungai yang menjadi sarana irigasinya. Kebun-kebun bebuahan juga tumbuh subur di sekitar ladang. Rumah-rumah penduduk tampak berdiri rapi, para penduduk yang berpapasan dengan mereka terlihat sangat sopan dan ramah. Setelah berjalan sebentar mereka akhirnya sampai di depan rumah Trixi.

Rumah Trixi terlihat cukup besar, berlantai dua serta lebih luas dibandingkan rumah di sekitarnya, terlihat mereka juga memiliki lahan kecil yang ditanami sayuran di sampingnya. Namun ada satu rumah yang kelihatannya jauh lebih besar dan lebih luas pekarangannya dari rumah Trixi, rumah itu tepat berada di seberang rumah Trixi. Terdapat kebun sayuran dan buah-buahan di sana. Rumahnya juga memiliki dua lantai.

"Ini rumahku, mari masuk," ajak Trixi sambil membukakan pintu.

"Kami pulang," tutur Trixi.

"Kakak!" terdengar sahutan dari dalam. Dua orang anak kecil langsung datang menghampiri Trixi, satu anak perempuan yang terlihat lebih tinggi dan yang paling kecil adalah anak laki-laki. Mereka terlihat terkejut saat melihat Satria.

"Nixi, Dex, kenalkan ini kakak Satria yang sering kak Alexa ceritakan," ucap Trixi.

"Ih kamu," gerutu Alexa.

"Eh.. Menyeramkan," tutur adik perempuan Trixi sambil bersembunyi di belakang Trixi. Namanya adalah Nixi.

"Ara.. kamu ini, jangan begitu dong kan nggak sopan. Ayo masuk, ayah sudah pulang kan?" tutur Trixi sambil mengelus-elus rambut Nixi.

"Sudah kak," jawab Dex sambil terus menatap Satria sebelum akhirnya mereka pergi kembali ke dalam.

"Maafkan adik-adikku ya Sat. Mereka memang suka blak-blakan begitu," ucap Trixi seraya tersenyum manis.

"Tidak masalah, aku bukan tipe orang yang tempramen kepada anak kecil," jawab Satria.

"Lagipula sikap mereka juga sama sepertimu," batin Satria.

Mereka bertiga langsung masuk ke bagian dalam rumah, terlihat pria paruh baya dan wanita paruh baya langsung menyambut mereka. Luxi adalah ibu dari Trixi sedangkan ayahnya bernama Foxi. Dari mereka Satria akhirnya tahu kalau Foxi adalah Kepala Desa Whis, tidak mengejutkan memang karena rumah mereka juga agak berbeda dengan yang lainnya.

Hari sudah mulai gelap, Satria akhirnya ikut makan bersama dengan keluarga Trixi. Setelah selesai makan malam barulah mereka membahas rumah yang akan ditawarkan kepada Satria. Letak rumah itu tepat berada di depan mereka. Satria dan Foxi akhirnya keluar dari kediamannya dan menuju ke rumah yang ada di seberang. Cahaya lentera-lentera terang tampak sudah menghiasi jalanan Desa Whis dan rumah-rumah penduduk.

Satria rasa kerapihan dan ketertiban di desa tersebut pasti ada andil dari Foxi sebagai kepala desa. Dan benar saja ternyata Foxi dan Luxi adalah mantan petualang yang memutuskan menetap di Desa Whis puluhan tahun yang lalu. Mereka punya pengalaman pengembaraan ke beberapa Kota di beberapa kerajaan, karena itulah Foxi sedikit demi sedikit mengajarkan pengetahuannya kepada warga desa hingga akhirnya semuanya terlihat tertib dan rapi seperti saat ini.

"Ah tuan Foxi. Silahkan masuk tuan," ucap seorang pria tua berambut putih yang membukakan pintu rumah di seberang.

"Silahkan duduk," ucap pria tua tersebut sambil menuangkan minuman ke cangkir kosong di meja.

"Saya datang kemari membawa orang yang ingin membeli rumah ini," kata Foxi sambil memperkenalkan Satria.

Pria tua itu terlihat mengangguk paham. Dia menjelaskan bahwa dia juga sebenarnya hanyalah pelayan di rumah tersebut, pemilik rumah itu adalah seorang bangsawan di Ibukota yang bernama Glar Dea Roame. Biasanya mereka menggunakan rumah itu hanya untuk liburan saja, tapi tiba-tiba beberapa hari yang lalu mereka meminta si pelayan untuk mengemasi barang-barang dan menjual rumahnya segera.

Saat ini di rumah tersebut bahkan sudah tidak ada barang-barang lain selain pakaian si pelayan. Karena itulah si pelayan meminta bantuan Foxi untuk dicarikan orang yang mau membeli rumahnya. Satria hanya mengangguk paham meskipun dia masih bingung dengan alasan si pemilik rumah untuk menjual tempat liburannya itu. Seolah-olah mereka tidak akan pernah datang ke Desa Whis lagi. Si pelayan juga ternyata tidak tahu alasan pasti tuannya, dia hanya melakukan apa yang disuruhnya saja saat ini.

"Jadi berapa tawaran tuan untuk rumah ini?" tanya si pelayan sambil menatap Satria. Sejenak Satria termenung memperhitungkan segalanya.

"Bagaimana kalau seribu koin emas?" tawar Satria agak ragu. Meski saat ini dia memiliki banyak koin emas tapi dia harus berhati-hati dalam negosiasi seperti itu.

"Hehehe.. tuan, meski kediaman ini ada di desa kecil tapi kondisi serta areanya cukup luas jika disama ratakan dengan gubuk biasa. Bagaimana kalau tingkatkan lagi tawarannya sampai lebih dari dua ribu lima ratus koin emas?" ucap si pelayan sambil tertawa kecil. Sementara Foxi terlihat hanya mengamati saja.

"Uangku juga tidak sebanyak tuan bangsawan yang anda layani. Jadi saya hanya bisa membayar tiga ribu koin emas saja, aku juga tidak mau berlama-lama untuk bernegosiasi," jawab Satria sambil meletakan tiga kantung koin emas yang masing-masing berisi 1.000 koin emas yang sudah Satria siapkan.

"Baiklah. Saya juga besok harus segera pergi ke ibukota. Jadi saya terima di tiga ribu koin emas. Meskipun masih muda tapi ternyata tuan memiliki uang yang cukup banyak," puji pelayan sambil mengambil kantung uang yang disiapkan Satria.

"Saya suka bekerja keras. Saya tidak mau menjadi manusia yang direndahkan orang lain hanya karena miskin," tukas Satria.

"Hehehe.. jawaban anda sangat realistis. Besok anda sudah bisa menempati rumah ini, jangan khawatir sebab saya sudah membersihkan semuanya tadi siang hingga bersih tanpa debu," tutur si pelayan.

"Terima kasih banyak," balas Satria.

Foxi yang menjadi saksi jual beli langsung meresmikan transaksi. Dia bilang akan segera mengurus surat tanahnya besok pagi ke Kota Lunar. Si pelayan bilang kalau urusan surat tanah pasti akan gampang selesai besok juga, sebab tuannya memiliki koneksi di bagian pemerintahan dan bangsawan di Kota Lunar.

Satria dan Foxi langsung berpamitan dan kembali ke rumah Foxi. Di sana mereka membicarakan banyak hal, Foxi dan Luxi terus terang memang ingin bertemu dengan Satria sebab Trixi dan Alexa memang sering membicarakannya. Satria tidak ambil pusing tentang hal itu dan langsung meminta pendapat Foxi, dia bilang belum menemukan tukang untuk merenovasi toko dan kediaman Lixia.

Satria sengaja melakukannya sebab sebagai seorang kepala desa pasti relasi Foxi jauh lebih banyak dibandingkan dirinya yang baru datang ke dunia ini. Foxi mengatakan kalau urusan tukang dia bisa meminta para tukang di desanya untuk bekerja kepada Satria sekaligus memberi peluang kerja bagi mereka. Foxi bilang kalau tukang di desanya cukup bisa diandalkan.

Sekilas saja Satria bisa tahu kalau Foxi memang seorang pemimpin idaman, dia tidak hanya memikirkan rakyatnya tapi juga bukan tipe orang yang suka mengambil keuntungan dari orang lain. Padahal dari penjualan rumah bangsawan itu juga harusnya dia bisa mengambil keuntungan. Meski begitu Satria pikir mungkin Foxi melakukannya karena kepada teman putrinya.

"Baiklah. Besok saya akan membawa semua barang-barang dari kediaman Lixia kemari. Tolong tuan panggil saja kepala tukangnya biarkan saya bernegosiasi langsung perihal harga kepadanya," tutur Satria.

"Tentu saja, saya akan menyampaikannya," jawab Foxi.

"Kalau begitu saya pamit dahulu tuan, besok siang mungkin saya baru datang kemari lagi," tutur Satria sambil berdiri.

"Eh? Kenapa tidak menginap saja? Lagipula ini sudah malam," tukas Foxi.

"Maaf tuan mungkin lain kali saja. Di rumah bibi Miria hanya ada wanita saja, saya harus membantu mereka mengangkat barang-barangnya besok pagi. Lagipula saya juga seorang petualang. Tidak masalah jika saya berjalan malam-malam juga," tutur Satria tetap memaksa pergi.

"Apa tidak mau menemui Alexa dan Trixi dulu?" tanya Foxi seraya bangkit.

"Maaf tuan, tolong sampaikan kalau saya pamit kepada mereka. Lagipula besok saya juga akan kembali kemari," jawab Satria.

Foxi hanya mengangguk paham. Dia juga tidak mungkin bisa memaksa Satria untuk menginap di rumahnya. Satria langsung berjalan kembali menyusuri jalanan desa untuk kembali ke Kota Lunar. Dia berharap semuanya bisa berjalan lebih cepat dan lancar. Meskipun hari ini dia merasa ada beberapa hal janggal dan tidak biasa yang membingungkannya.

Bersambung…