"Tidak Vina, aku tidak ingin membunuhmu" jawabku padanya.
"Kau menekan semua tubuhku dengan jahitan". Seketika itu aku sadar, aku melukai dan hampir membunuhnya.
Aku melepaskan pelukanku. Ia berusaha menarik nafas, wajahnya terlihat sakit.
"Aku akan memanggil, Sovia."
Sovia menyempemprotkan obat penghilang rasa sakit ke seluruh tubuhnya. Aku melihat, meski luka-luka jahitan mengering, mungkin bagian dalamnya masih luka. Ini akan memberikan bekas yang cukup kasat mata.
Ke-esokan paginya, aku meminta rumah sakit mengirimkan dokter ahli bedah plastik juga.
"Hai, Nyonya. Jangan khawatir, aku di sini untuk membantumu sembuh dari luka-luka ini. Biar ku lihat."
Dokter Klye memeriksa setiap jahitan dan goresan. Ia terlihat cekatan. Dari luar, ia tak terlihat seperti seorang pria. Apalagi saat ia berjalan dan bicara. Ia sangat ramah dan humoris. Ku dengar beberapa artis juga memakai jasanya untuk mengubah penampilan mereka.
"Kamu hebat! Luka sebanyak ini, tapi tidak banyak mengeluh."
Vina pun dibuat tertawa melihat tingkah lucunya. Mungkin itu lucu baginya, tapi menakutkan bagi kami para pria.
"Jadi, untuk sementara. Kita akan lihat, bagimana reaksi kulit anda. Aku tak sarankan bedah total. Harusnya dengan ini, kita akan bisa mengurangi luka-luka ini. Lagi pula, akan sangat menyakitkan dan beresiko. Kau baru saja sembuh. Bagimana?"
"Aku mengerti." Jawab Vina sederhana.
"Jika, jika ya. Aku nggak bilang pasti. Jika nanti anda tidak suka dengan hasilnya. Dan sangat tampak. Maka, kita akan melakukan operasi plstik perlahan. Tidak bisa semuanya." Terangnya lagi.
"Tapi kan, anda masih muda. Memang dengan metode ini, akan memakan waktu. Tapi aku yakin regenerasi kulit anda akan cepat. Jadi asalkan dirawat dengan baik, diimbangi dengan makanan yang tepat, harusnya akan jadi baik."
"Aku mengerti, aku bukan tipe orang yang ingin tampil sempurna atau malu akan keadaanku. Lagi pula aku bukan artis yang menjual diriku. Aku tak butuh kesempurnaan. Terimakasih dokter"
Klye sangat girang mendengarnya.
"Aku suka anda Nyonya. Anda baik sekali. Kita harus bekerja sama. Aku akan mempromosikan, cintai dirimu. Dan jika tidak keberatan, aku akan meminta anda untuk ikut menjadi modelku. Bagimana?"
Vina tertawa.
"Jangan tertawa, aku serius. Belakangan, semua orng datang untuk mengubah penampilan mereka menyerupai artis. Yang sebenarnya, mereka tidak buruk. Aku ingin, para klien ku menghargai apa yang mereka miliki dan tidak malu akan diri mereka."
"Bukankah jika banyak orang datang ingin mengubah penampilan mereka itu sesuatu yang menguntungkan?"
"Tuan Immanuel, anda jahat sekali. Aku memang mendapat uang, tapi sebagai dokter, kadang kita harus peduli pada moral seseorang. Bayangkan, jika semua orang protes akan penampilannya. Apa yang akan terjadi?"
"Maka tidak ada orang yang akan menjadi dirinya sendiri"
"Tepat nyonya! Kau pintar sekali. Bila itu terjadi, maka bukan tidak mungkin, seseorang akan datang dan mengubah wajah mereka untuk sesuatu yang jahat"
Kata-kata dokter Kyle mengingatkan ku pada Georgia. Ia pernah melakukan operasi plastik agar wajahnya menyerupai seorang aktriss kenamaan. Saat itu, ia ingin memiliki alis yang indah seperti alis arti tersebut. Ia menggunakan banyak uang tabungannya.
"Baiklah, aku akan membantumu dokter" kata Vina tiba-tiba. Bahkan ia tak meminta persetujuanku.
"Klye, panggil saja aku Kyle. Terimaksih Nyoya. Kita akan bertemu lagi dalam tiga hari. Selamat siang"
Saat Kyle pergi, aku mendekati Vina. Merasa canggung aku hanya bertanya,
"Kau yakin dengan keputusanmu?"
"Tentu, tidak ada salahnya memperihatkan bekas luka pada orang lain. Setiap luka memberikan kita bukti betapa kehidupan kita tidak bisa dibandingkan atau dinilai orang lain"
Aku beruntung, atau harus sedih? Georgia memberinya banyak luka. Saat orang normal ingin operasi bedah demi kesempuranaan, Vina malah tak menginginkannya.
Memang wajahnya bebas dari goresan. Tapi tangan dan pundaknya? Melihat semua bekas luka ini, membuatku sedih. Seolah, luka itu mengingatkan ku betapa aku tidak berdaya dan tak mampu membeli apapun meski memiliki semua hal.
"Aku mendukung keputusanmu, apapun itu"
Sore harinya, Leona datang. Ia memberitahuku hasil pemerikasaan jiwanya.
"Dia sama sekali tak ingin membicarakan apa pun denganku. Bagimana denganmu?"
Aku mejelaskan, bahwa kami mulai bicara. Tapi tidak membicarakan hal-hal sensitif. Hanya membicarakan hal-hal penting. Hal-hal yang membuatnya mau bicara.
"Itu bagus, sepertinya ia memang tak bisa mempercayai orang luar sepertiku. Aku tak akan datang sampai minggu depan. Teruslah bicara padanya."
"Aku mengerti."
Malam ini, Sovia tak berjaga penuh. Menurutnya, akan baik jika Vina mulai tidur normal. Namun, sebagai tindakan preventif, ia akan tidur di ruangan kamar terdekat. Jika sesuatu terjadi, ia akan datang.
Dua hari kemudian, Vina mulai belajar berdiri. Aku melihatnya belajar berjalan sambil menahan rasa perih. Lebam-lebam mulai hilang. Rose, perawat yang berjaga di pagi hari memapahnya berjalan di sekitar kolam.
"Apakah ia tidak akan mengalami trauma?" tanya Leona yang kembali datang.
Aku menggeleng. Aku juga tak mengerti. Apa yang ada di benak Vina. Ia terlihat berjalan baisa saja, tapa rasa takut sedikit pun. Aku tak melihatnya memiliki trauma. Apa wanita ini baik-baik saja? atau dia memang setangguh itu?
Siang harinya aku pergi ke kantr dan mendapat laporan tentang Kalleb. Ia berusaha untuk melakukan sesuatu untuk mendapatkan kembali posisinya. Ia terbongkar bekerjasama dengan John dalam mengambil video saat mereka bertengkar.
Beruntung, Kejadian penyerangan di rumah kami membuatnya terbongkar. Saat ini, yang terpenting membawa semua orang masuk ke dalam tahanan. Semua orang yang terlibat, baik langsung maupun tak langsung.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Vina padaku.
Aku membisu di meja makan di ruang tengah. Pertanyaan Vina membuyarkan lamunanku.
"Kau tidak merasa mual atau trauma?"
"Haruskah?" tanyanya balik.
Aku melihatnya mengambil makanan yang ada di piringnya. Sebelum makan ia mengambilkan makanan untuk Sovia.
"Nyonya, tak perlu repot-repot mengantar makanan untuk saya" jawab Sovia dari kamarnya. Suara terdengar cukup keras dari ruangan ini.
"Aku akan baik-baik saja." katanya, saat aku hendak menegor. Ia mulai berjalan-jalan di rumah meski sedikit tertatih.
Aksinya barusan, kurasa adalah caranya untuk mengusir kebosanan.
"Media ingin mewawancarimu." Kataku lagi. "Apa kau mau menemui mereka?"
Ada jeda beberapa menit sebelum ia menjawab. Aku memperhatikan bekas goresan-goresan di tangannya.
"Kurasa, aku akan meminta mereka menunggu sampai keadaanmu jauh lebih baik."
Tanpa sadar, Vina mengikti gerakan mataku yang melihat sisi kanan lengannya.
"Maka itu akan membutuhkan waktu yang lama. Biarkan mereka melihat ini. Ini sudah jauh lebih baik. Aku tak akan menyembunyikan apapun.