"Ini adalah hari ke 3 semenjak, istri anda bangun. Ia masih tak mengatakan apapun pada saya." Jelas dokter yang menangani Vina.
"Psikolog kami sudah mencoba mengajaknya bicara dan mencari tahu. Tapi ia sepertinya tidak ingin berkomunikasi dengan kami. Jika ia seperti ini terus, kami takut penyembuhannya akan terhambat."
Aku membaca laporan kesehatan dari dokter. 5 Tusukan berat 10 goresan dan luka-luka lain.
"Apakah ada sesuatu yang bisa membuatnya bicara atu merasa lebih baik?"
Aku berfikir, alisku terangkat. "Aku akan mencoba yang terbaik." , jawabku. "Aku akan mencoba terus bicara padanya."
"Ide yang bagus." Jawab Dokter itu. "Kuharap, kau bisa membuatnya bahagia."
Aku meninggalkan ruangan dokter.
"Sandra, kita bawa Vina pulang hari ini."
Wanita itu terkejut. "Ia belum baik. Ini akan berisiko."
"Kita tak punya pilihan, membiarkannya di sini hanya akan membuatnya semakin tidak baik. Kita bawa pulang dan lihat apa yang bisa kita lakukan untuknya."
Tanpa bicara lagi, Sandra pergi dan mengurus beberapa hal. Setelah ini, mungkin aku akan membutuhkan bantuan dari seorang psikolog hebat.
"Dia tak mau bicara sama sekali, Hemel. Mengertilah, aku tak sanggup menanganinya."
"Leona, aku tak punya pilihan. Aku tak mengenal orag lain lebih baik darimu." Bujukku.
Dia menjawab "Aku pun tak mengenal orang lain lebih sulit dari Vina. Ia seperti…"
"Seperti apa?"
"Kosong" , jawabnya mantab. "Tak memiliki pengharapan. Aku sudah memerksa, bahwa ia baik-baik saja. Tak ada bagian kepalanya yang terbentur. Aku benar-benar tidak memahaminya. Mungkin, kau yang adalah suaminya bisa menjelaskan padaku."
Aku menghela nafas. "Jika aku tahu apa masalahnya, aku tak akan memintamu merawatnya."
Leona terlihat tidak yakin. Dari zaman aku kuliah mengenalnya sampai saat ini, ini adalah pertama kalinya aku lihat ia tak yakin dengan kemampuannya.
"Apa, ia merasa tertekan akhir-akhir ini?" tanya Leona tiba-tiba.
"Tentu saja, Georgia hampir menghabisi nyawanya. Siapa yang tidak tertekan?" tanyaku.
"Bukan itu, ia seperti ingin menyerah dan berharap mati."
Aku mendengarkan dengan saksama. Tanpa menengerti apa maksudnya.
"Akan lebih baik, jika kau mulai mencari tahu, apa yang membuatnya merasa tertekan sampai seperti itu." Ujarnya.
"Sebagai suaminya, kau pasti tahu sesuatu, yang mungkin kami orang awam tak tahu. Cobalah untuk bicara dengannya. Membawanya pulang adalah keputusan yang tidak buruk. Pastikan ia merasa sedikit lebih aman. Jangan , membuatnya semakin tertekan. Kita akan lihat perkembangannya setiap hari. Aku akan meminta anak buahku datang setiap hari. Atau, kau yang memberiku laporan."
"Aku mengerti, terimaksih atas bantuanmu."
"Satu lagi, jika sesuatu terjadi padanya, akan sangat baik kau segera menghubungiku. Jangan berikan waktu sendiri baginya. Aku takut, ia akan bunuh diri."
Leona memberiku beberapa catatan kecil. Ia meninggalkanku setelah semua yang ia harus katakan sudah ia sampaikan.
Sandra datang dan membawa beberapa dokumen untuk aku tanda tangani.
"Kita akan membutuhkan bantuan dari dokter dan seorang perawat. Mereka akan mengirimkan suster untuk berjaga setiap hari. Kita beruntung, ia sudah jauh lebih baik. Sehingga peralatan medis tidak diperlukan"
"Sandra, kau tahu yang terbaik. Aku mengandalkanmu."
Dua jam kemudian,kami sudah berada di rumah. Ia terbangun dan terlihat bingung. Seorang suster menjaganya, dan mengurus semua hal yang ia perlukan untuk sementara.
Jahitan di tubuhnya harus di cek setiap hari. Beberapa obat penghilang rasa sakit masih akan diberikan secara berkala. Saat sore hari, dokter akan datang mengecek semua kondisinya. Aku sangat berharap ia akan semakin baik. Berada di rumah jauh lebih nyaman dari pada harus berada di ranjang rumah sakit.
Setaip hari suster yang menjaganya mengajaknya bicara. Tapi ia seperti membisu. Ia tak mengatakan sepatah kata pun. Bahkan setelah hari ke lima aku membawanya pulang.
"Luka-lukanya mulai kering. Jahitan tak perlu dilepas. Dia mulai membaik." Jelas dokter padaku. "Kita hanya tinggal menunggu semangatnya kemabli." Terang dokter padaku.
"Anda suami yang baik. Saya yakin, Nyonya Vina akan segera kembali normal dalam waktu dekat. Aku memnita suter untuk mencabut infusnya. Mungkin, anda bisa mulai mengajaknya keluar dari kamar. Menghirup udara dan bicara padanya. Anda memiliki rumah yang cukup dengan ruang terbuka."
"Aku mengerti dokter. Terimakasih."
Malam pun tiba, selesai mengerjakan beberapa tugas, aku mencoba mengunjungi Vina. Jam sudah menunjukkan waktu ia tidur. Aku tak yakin, apakah ia masih terjaga atau tidak. Biasanya, ia sudah tertidur karena pengaruh obat yang diberikan.
"Tuan, nyonya masih terjaga" kata perawat yang menjaganya.
"Aku mengerti, terimakasih atas perhatianmu. Kau bisa pergi untuk makan malam. Aku akan menjaganya beberapa saat."
"Aku mengerti"
Ia pun segera meninggalkan aku. Hanya ada aku dan Vina. Ia tertunduk dengan tatapan kosong. Tak tahu apa yang ia pikirkan. Aku menutup pintu perlahan agar tak membuatnya terkejut. Mengamati sekeliling dan membuka jendela. Berharap udara segar bisa masuk dan membuatnya merasa lebih nyaman.
Aku mendekati dan duduk di dekatnya. Tak tahu harus mulai dari mana.
"Jika hanya diam, sebaiknya jangan di sini Lux"
Kata-katanya membuatku terperangah. Akhirnya setelah 23 hari ia bicara untuk yang pertama kalinya. Aku terlampau bahagia dan memeluknya.
"Vina, kau membuataku takut."
Ia kembali diam tak bicara. Setelah merasa lega, aku melepasakannya.
"Kau tertidur selama 15 hari. Bahkan setalah bangun pun, tak ada satu kata pun yang kau ucapkan. Aku kira, aku akan kehilanganmu."
Ia tak merespon. Ia hanya memandangiku. Seperti bicara pada tembok, tapi tembok ini memilikinya nyawa.
"Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu terluka. Maafkan aku."
Ia menoleh ke arah jendela.
"Lux" katanya lembut. "Mengapa kau tak membiarkan aku mati saja?"
Aku menghela nafas dan kembali memeluknya. Sebelum bicara aku berfikir masak-masak. Satu kata saja salah, maka ini akan berakibat fatal. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Vina, ada hal-hal yang terjadi diluar keinginan kita. Kita banyak kehilangan dan terluka. Tapi., bukan berarti kita harus menyerah. Mati memanglah mudah. Tapi untuk memilih hidup dibutuhkan keberanian luar biasa. Kita tahu, apapun yang terjadi akan mendatangkan kebaikan bagi kita semua. Karena Tuhan turut bekerja mendatangkan segala kebaikan.
Aku tak ingin kehilagan apapun saat ini. Aku mencintaimu."
Ia terdiam mendengar jawabanku. Aku tak berharap jawaban apapun. Semakin dia diam, akan semakin baik saat ini. Tak kusadari aku mulai sedikit merasa tenang. Ia mulai bisa bicara, ini berarti, ia masih mengingatku dan menghargaiku. Walupun, mungkin hatinya masih belum menjadi milikku.
"Lux?" katanya tiba-tiba dengan suara yang dingin.
"Iya?"
"Kau membunuhku…"