webnovel

Rumah Leluhur

Aku harus pindah ke rumah kakek-nenekku di desa untuk merawat kedua sepupuku yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Namun di sana aku menghadapi masalah besar. Rumah itu hendak digusur untuk perluasan Bandara. Kami bersikeras mempertahankan tanah dan rumah warisan leluhur tersebut. Dan itu tidaklah mudah. Kami selalu mendapatkan tekanan agar segera pergi dari sana. Di saat pertentangan sengit terjadi antara kami dan pemerintah, tiba-tiba saja rumah itu hidup!

cahyonarayana · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
9 Chs

Kembali Ke Desa

Akan kuceritakan terlebih dahulu silsilah singkat keluargaku. Kakekku berasal dari desa ini. Sebuah desa terpencil di dekat pantai.

Di sekitar desa kami dibuka beberapa pantai untuk wisata. Namun telah lama sepi karena kalah pamor dengan wisata-wisata pantai baru yang bermuculan di tempat lain. Daerah kami pun semakin ditinggalkan.

Kakekku memiliki dua istri. Dari istri pertama, memiliki dua belas anak. Tiga di antaranya meninggal waktu masih bayi. Jadi, ada delapan bersaudara yang tertinggal. Ibuku adalah putri ke tujuh dari mereka.

Dengan istri kedua, kakek memiliki lima orang anak. Dua di antaranya meninggal setelah kelahirannya. Kematian bayi pada zaman dulu di Jawa masih cukup tinggi. Anak paling muda dari mereka adalah pamanku yang bernama Permadi. Ayah dari Cintya dan Rio.

Katanya dulu rumah ini riuh sekali dengan sebelas anak. Dengan kakek dan dua nenek. Serta beberapa pembantu, total rumah ini dihuni oleh enam belas hingga delapan belas orang. Para pembantu yang ada silih berganti pergi. Cukup ramai, bukan?

Dan rumah ini mampu menampung orang sebanyak itu. Ukurannya sangat besar. Merupakan rumah peninggalan kakek buyut yang menjabat lurah pada jaman Belanda. Maka tak heran rumahnya paling besar dan bagus di desa.

Sepeninggal kakek buyut, kakek tidak mewarisi jabatan sebagai lurah. Namun ia tetap disegani dan dihormati oleh penduduk desa. Orang kampung jaman dahulu masih menghargai warisan darah. Dan sekarang tidak! Buktinya, kami yang masih keturunan lurah pun mereka usir.

Banyak paman-paman kami yang merantau ke kota untuk mencari penghidupan. Semenjak kakek tak menjabat apa-apa, kami harus mencari sumber penghidupan sendiri. Kakek dulu hidup dari bertani.

Beberapa paman diberi tanah dan sawah oleh kakek. Mereka mendirikan rumah di sekitar sini dan bekerja menggarap sawah. Sebagian menjadi nelayan.

Satu per satu, paman dan bibi meninggalkan rumah ini untuk hidup mandiri. Sedangkan ayah dan ibuku masih tinggal di sini hingga aku kelas lima SD.

Di masa-masa itulah kakek mengajarkanku berbagai hal tentang rumah dan kehidupan. Salah-satunya, yah, tentang rumah memiliki jiwa.

Menjelang naik ke kelas enam, aku diajak pindah ke kota oleh ayah ibuku. Ayah telah mampu membeli rumah di kota dari penghasilannya.

Pada waktu itulah, Cintya lahir. Sedangkan aku juga memiliki seorang adik perempuan yang berusia dua tahun di bawahku.

Kami pindah ke kota karena lebih dekat dengan tempat ibuku bekerja. Ia adalah seorang PNS. Sedangkan ayahku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ia harus wara-wiri keluar kota, dan kadang keluar negeri. Dengan tinggal di kota, kami jadi lebih dekat dengan terminal, stasiun, dan bandara.

Saat bandara hendak dipindah ke desa, sebenarnya ayah cukup senang karena rumah kakek bisa digunakannya untuk transit. Namun ternyata malah turut mau digusur.

Setelah keluarga kami, paman dan bibi yang lain juga pindah dari desa itu. Hanya ada beberapa yang tinggal di sana untuk bertani atau melaut. Dan hasil laut selatan Jawa pun tak seberapa. Masih kalah jauh dari laut utaranya.

Alhasil, tinggal paman Permadi dan istrinya yang menemani kakek dan nenek di rumah itu.

Waktu aku kelas satu SMP, kakek meninggal dunia. Aku sangat sedih karena tak bisa menemani hari-hari terakhirnya.

Beberapa tahun kemudian, nenek juga meninggal dunia. Di susul oleh nenek kedua. Dan akhirnya rumah itu hanya ditempati oleh paman Permadi dan istrinya bersama Cintya dan Rio.

Saat pemerintah menetapkan lokasi bandara baru, mereka dipaksa untuk pindah. Paman-paman yang mendirikan rumah di sekitar sana telah menjual tanah dan sawah mereka. Hanya paman Permadi yang menolak. Katanya dulu ia diberi amanah oleh kakek untuk menjaga dan merawat rumah dan tanah warisan leluhurnya itu.

Anggota keluarga besar pun terpecah pendapatnya. Ada yang mendukung untuk menjual tanah dan rumah.  Dan ada yang tidak.

Ayah dan ibuku sendiri mendorong agar mereka pindah. Kata ayah, rumah itu bisa dibongkar dan dibangun kembali di tempat lain untuk mempertahankan kelestariannya. Namun paman Permadi tak mendengarkan kata-kata yang tak sependapat dengannya.

Aku sendiri pada awalnya tak terlalu peduli dengan persoalan ini. Mengurus diri sendiri saja susah! Masih jadi beban orangtua. Sudah empat tahun lulus sarjana, tapi masih saja menganggur. Jomblo pula!

Lalu datanglah berita mengagetkan itu. Paman Permadi dan istrinya meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Kami sangat syok. Apalagi bagi Cintya dan Rio. Tak terbayang anak seumur itu ditinggal mati orangtuanya.

Anggota keluarga besar menawari mereka untuk tinggal di rumah masing-masing. Ayah dan ibuku pun bersikeras ingin merawat mereka. Mengajak mereka tinggal dan bersekolah di kota.

Namun mereka menolak. Katanya ingin melanjutkan perjuangan orangtuanya. Tetap tinggal di rumah itu untuk merawat dan menjaganya. Mungkin mereka memang mewarisi kekerasan hati ayah dan ibunya.

Aku juga seumuran Rio sewaktu meninggalkan rumah itu. Kelas lima SD. Dan tak seperti aku, anak itu bersikeras tak mau pergi dari sana.

Setelah melalui rapat keluarga yang cukup panjang, akhirnya diputuskan aku – yang masih seorang pengangguran, untuk merawat Cintya dan Rio.

Ketika kau seorang pengangguran, kau layak diberi tugas apa saja. Namun entah kenapa, gaji selalu saja menghindarimu.

Aku pun pindah ke desa beberapa hari yang lalu. Para anggota keluarga menyisipiku dengan berbagai misi. Seperti halnya NICA Belanda yang membonceng Inggris untuk menyisipkan misi rahasia setelah Jepang pergi.

Ada yang memberiku misi untuk membujuk Cintya dan Rio agar mau pergi dari rumah itu dan menjualnya. Dan ada yang menyuruhku untuk mempertahankannya.

Sedangkan sertifikat tanah dan rumah sendiri masih atas nama Paman Permadi. Pengurusannya cukup rumit. Terlalu berbelit untuk kuceritakan di sini.

Aku pun dilanda dilema. Entah misi mana yang harus kuturuti. Sebenarnya aku tak terlalu peduli Cintya dan Rio mau pindah atau tidak. Mau ada bandara atau tidak! Aku sudah lama tak acuh pada rumah itu. Cari duit sendiri pun susah! Jomblo lagi!

(Sempat terpikir olehku untuk melaut. Aku senang makan ikan, cumi-cumi, kepiting dan kerang. Namun aku sering mabuk laut! Sungguh aneh untuk orang yang terlahir di seperti ini. Dulu waktu kecil, aku hanya sesekali diajak mancing dari tepi pantai oleh paman-paman dan saudara-saudara.)

Dan begitu tiba di rumah itu, berbagai kenangan indah bersama kakek nenek menyeruak dalam ingatanku. Ah, tiap tahun aku mudik kemari. Bahkan terkadang saat musim liburan atau ada acara hajatan keluarga.

Namun kenapa kali ini terasa begitu sentimentil? Seolah rumah ini menyambutku dengan hangat. Dengan kerinduan yang lama terpendam.

Kulihat Rio begitu mirip denganku waktu kecil. Sangat aktif, antusias dan pintar.

Aku selalu juara satu dulu sewaktu masih SD. Selalu menjadi ketua kelas dan murid teladan. Entah kenapa, sekarang pengangguran. Jomblo pula!

Dan Cintya, ia begitu cantik! Sepupu manisku itu telah tumbuh menjadi seorang gadis matang. Kelas dua SMP!

Ia begitu senang saat menyambutku. Gadis yang baru mekar di usianya itu.

"Terimakasih banyak, Mas," sambutnya memelukku, "Mas Rian mau tinggal bersama kami!"

Aku tak bisa berkata-kata dan balas memeluk serta mengusap-usap rambutnya. Aku tahu ia pasti masih berkabung. Belum ada seminggu kematian orang tua mereka.

Dan sedihnya, tak ada tradisi tahlilan serta kenduri untuk memperingati kematian mereka di rumah ini. Bagaimana mau kenduri jika tak ada orang lagi di desa ini selain mereka berdua.

(Keluarga besar hanya mengadakan acara kenduri di kota untuk memperingati tiga hari dan tujuh hari kematian mereka.)

"Kalian jangan khawatir," balasku dengan mata berkaca-kaca, "ada aku di sini!"

Rio pun turut memelukku. Dan dimulailah hari-hariku di rumah itu. Seolah memutar kembali waktu ke masa lalu. Masa lalu yang kini hendak digusur.

****