webnovel

Rumah Leluhur

Aku harus pindah ke rumah kakek-nenekku di desa untuk merawat kedua sepupuku yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Namun di sana aku menghadapi masalah besar. Rumah itu hendak digusur untuk perluasan Bandara. Kami bersikeras mempertahankan tanah dan rumah warisan leluhur tersebut. Dan itu tidaklah mudah. Kami selalu mendapatkan tekanan agar segera pergi dari sana. Di saat pertentangan sengit terjadi antara kami dan pemerintah, tiba-tiba saja rumah itu hidup!

cahyonarayana · Fantasy
Not enough ratings
9 Chs

Senjata Pusaka

Dan di rumah itulah sekarang aku tinggal. Kuamat-amati rumah kuno itu. Masih terjaga kebersihan dan keutuhannya. Pintar benar paman Permadi merawatnya.

Kenangan masa kecil pun bangkit kembali. Aku ingat kamarku yang hanya terbuat dari sekat-sekat kayu yang sempit. Dulu aku sekamar dengan adikku. Karena begitu banyaknya penghuni, maka kami harus mengirit kamar.

Dan deretan kamar itu sekarang sebagian masih dipertahankan. Untuk berjaga-jaga jika ada saudara yang datang untuk menginap.

Seperti susunan rumah Jawa kuno. Kamar-kamar terletak di bagian tengah. Bagian depan bernama 'Kuncung'. Mirip teras, tapi bukan. Biasa digunakan untuk pertemuan atau kenduri.

Semula bagian itu terbuka. Lalu kakek memodifikasinya menjadi tertutup oleh pintu-pintu kaca yang indah. Selera kakek ternyata juga cukup tinggi. Tak kalah dengan arsitek modern.

Jaman dulu, di 'Kuncung' sering digunakan untuk berjudi jika ada kelahiran bayi atau hajatan lain; seperti sunatan. Tradisi yang telah lama punah.

Bagian belakangnya adalah 'Pendapa'. Berbentuk joglo dan berfungsi sebagai ruang tamu utama. Juga untuk menggelar berbagai macam pertunjukan.

Dulu, sering digunakan untuk pertunjukkan tari, wayang orang atau wayang kulit. Yah, dulu berbagai acara tradisi itu kerap digelar di rumah ini. Bahkan kadang acara malam tirakatan untuk memperingati hari kemerdekaan.

Rumah ini dahulu adalah pusat kebudayaan, politik dan sosial di desa. Dan betapa ironisnya jika sekarang hendak digusur.

Di belakang joglo utama adalah bagian yang bernama 'Pringgitan'. Di situlah letak ruang keluarga. Di belakangnya untuk untuk kamar-kamar. Dan terdapat pula 'Senthong' yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang berharga.

Sebagian anggota keluarga yang tak mendapat jatah kamar, menempati berbagai ruangan di bagian samping dan depan rumah. Terdapat beberapa kamar di sana. Fungsinya sekaligus untuk mengetahui kedatangan tamu. Dengan kamar tidur di bagian tengah, kadang susah mendengar jika ada tamu atau hal darurat datang dari pintu depan.

Di bagian samping terdapat pula pelataran luas. Biasanya untuk menjemur padi atau hasil panen lainnya. Dan terdapat pula 'Gandhok' yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan hasil panen dan perkakas lainnya.

Bagian belakang digunakan untuk dapur, sumur dan kamar mandi.

Begitulah susunan umum rumah Jawa tempo dulu. Cukup rumit dan tertata. Sama rumitnya dengan tatanan sosial, ritual dan bahasanya.

Bagiku sangat menarik mengingat desain rumah sekarang tak mampu mengatur tata letak cerdas seperti itu. Memiliki dapur di bagian depan rumah adalah pantangan bagi orang Jawa. Namun kebanyakan rumah dan apartemen modern justru melakukannya.

Mereka, yang mengaku orang modern itu, pintar dalam hal arsitektur. Namun tak memahami pengetahuan energi rumah seperti orang jaman dulu.

Rumah sekarang banyak yang sempit. Minimalis, katanya! Dan itu menurutku sangat menyusahkan. Baik bagi pemiliknya maupun bagi para tamu jika ada hajatan atau acara besar.

Tak heran jika orang desa dulu memiliki rumah yang luas-luas. Mungkin agar hati dan pemikiran mereka juga lapang. Tak seperti rumah-rumah sempit di kota yang membikin suasana hati makin terhimpit. Semua serba berdesak-desakan.

Karena itulah aku dulu tak begitu suka pindah ke kota. Lebih nyaman memiliki rumah lapang di desa. Dengan halaman luas dan area desa yang luas. Bebas untuk bermain.

Namun kelemahannya, desa kurang memiliki fasilitas. Di kota mau cari apapun mudah. Di desa, mau fotokopi atau beli sepatu saja jauhnya minta ampun!

Dulu sempat terpikir olehku untuk membuka jasa fotokopi atau toko buku, sepatu dan tas di desa. Untuk memudahkan para pelajar yang membutuhkannya. Aku bahkan pernah bercita-cita mendirikan supermarket di desa!

*

Cintya dan Rio sangat mandiri. Mereka mampu hidup terpencil selama beberapa hari ini dengan berdua saja. Hebat! Seolah telah mampu 'move on' dari kematian orangtua mereka.

Cintya pandai memasak dan mengurus rumah tangga lainnya. Dan Rio pintar membersihkan dan merawat rumah. Sepertinya aku justru lebih manja dari mereka. Entah apakah aku bisa merawat keduanya.

Selain mereka berdua, ada juga beberapa kucing. Mereka setengah liar. Sering makan dan tidur di sini. Namun selebihnya pulang dan pergi sesuka hati. Cintya dan Rio menyukai mereka. Begitu juga denganku. Aku punya lima di kota.

Selain kucing, kakek juga memiliki beberapa burung peliharaan. Kebanyakan burung Perkutut dan Puter. Masih dirawat dengan teliti oleh Paman Permadi. Dan sekarang oleh Rio.

Di belakang rumah juga terdapat beberapa ayam yang dikandangkan. Rio pun terampil merawat dan memberi pakan mereka. Benar-benar dilatih ayahnya barangkali.

Dulu, kakek nenek juga memelihara bebek, angsa dan kalkun. Bahkan juga anjing. Namun sering waktu, mereka tak ada lagi.

Setelah kakek nenek meninggal, sebagian hewan-hewan dibawa oleh paman-paman. Sebagian dijual atau disembelih. Dan ada pula yang dicuri orang.

Anjing kakek kabarnya juga dicuri dan dimakan orang. Yah, di desa dulu masih sering orang memakan anjing. Disebabkan kemiskinan dan sulitnya mencari sumber makanan. Dan sekarang, orang memakan anjing untuk jamu atau memang menggemarinya. Andai saja aku bisa menghentikan mereka.

"Bagus dan gagah, kan?" tanya Rio mengelap tombak-tombak peninggalan kakek.

Yah, kakek kami memiliki beberapa senjata. Tiga buah tombak dan dua bilah pedang yang tersusun rapi di sebuah dudukan senjata.

Mereka ditempatkan di ruang keluarga. Katanya mereka adalah senjata bertuah. Dan orang macam apakah yang memiliki senjata semacam itu?

Kuduga kakek dan kakek buyut bukanlah orang sembarangan. Bukan sekedar orang desa dan orang tani biasa. Petani dan nelayan tak memiliki tombak dan pedang. Yang mereka miliki pacul, bajak, jala, perahu dan berbagai perlengkapan lainnya.

Sebagai seorang lurah, sudah pantas jika kakek buyut memilikinya. Jaman dulu, seorang pejabat adalah seorang ksatria. Bukan orang sipil seperti sekarang.

"Ini tombak Kyai Jaya." Jelas Rio mengambil dan membersihkan tombak yang paling panjang.

Ia punya nama? Aku bahkan tak tahu. Kenapa dulu kakek tak pernah memberitahuku? Dan tentu bukan senjata sembarangan jika memiliki nama. Pasti senjata pusaka.

Aku pun turut mengamat-amati tombak itu dan membantu Rio membersihkannya. Sungguh gagah dan indah. Kayunya sangat kuat dan tak berayap. Entah terbuat dari kayu apa. Dan bilah di bagian ujungnya masih terlihat tajam dan bersih.

Aku jadi teringat pada kisah lama tentang Ki Ageng Mangir. Seorang pejuang desa yang berani melawan ekspansi Mataram.

Dulu ia pemimpin sebuah desa pardikan yang bernama Mangir. Desa pardikan adalah sebuah desa yang diberi otonomi khusus untuk mengatur wilayahnya sendiri. Tak perlu bayar pajak pada pemerintah. Itulah balas jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang berjasa atau guru spiritual.

Seorang Brahmana atau guru spirirual tak boleh ditarik pajak. Raja akan berdosa dan kerajaannya akan hancur jika melakukannya.

Dan bukankah awal mula Mataram baru jugalah wilayah pardikan? Diberikan sebagai hadiah kepada Panembahan Senopati yang telah berhasil mengalahkan Haryo Penangsang.

Desa pardikan Mangir sangat ditakuti Mataram karena penguasanya memiliki senjata ampuh, yaitu Tombak Baru Klinthing. Kehebatan tombak itu membuat Mataram was-was. Kabarnya, ke arah mana pun tombak itu ditujukan dari jauh, pasti di sana akan banyak orang sakit dan mati.

Itulah yang membuat Mataram khawatir hingga mereka menjebak Ki Ageng Mangir. Diutusnya putri keraton untuk menyamar sebagai penari dan memikat hati Ki Ageng. Walaupun bergelar Ki Ageng, namun ia masih berusia muda. Dan ia terpikat oleh kecantikan putri itu.

Mereka akhirnya menikah. Dan akhirnya pejuang desa itu pun dibunuh oleh tipu daya Mataram saat menghadap pada mertuanya.

Yang menarik dari cerita itu, sang putri ternyata benar-benar jatuh cinta pada Ki Ageng. Kabarnya ia tak rela suaminya dibunuh dan kemudian bunuh diri. Ada pula yang mengatakan ia pergi dari Keraton dan berkelana. Menghindari hiruk-pikuk politik.

Sebuah kisah cinta nyata yang indah dari dunia Timur. Mungkin mengalahkan kisah romantis Romeo dan Juliet. Sayang, belum dikemas menjadi film atau pertunjukan yang layak. Atau, setidaknya novel yang manis.

Yang menarik dari kisah itu pula, ternyata para ilmuwan menemukan bahwa di ujung tombak itu terdapat nuklir aktif! Luar biasa! Siapa yang percaya itu? Sebuah senjata yang melebihi jamannya.

Sama anehnya ketika ditemukan radiasi nuklir di puing-puing reruntuhan peradaban kuno di India. Sering dikaitkan dengan senjata-senjata ampuh pada jaman Mahabharata! Bagaimana orang jaman dulu bisa memiliki teknologi sejauh itu? Membuatku tak yakin jika orang sekarang lebih maju dari orang masa lalu.

Bagaimana pula caranya membuat ujung tombak memiliki reaktor nuklir aktif? Ilmuwan sekarang pun masih bertanya-tanya. Sudah begitu pintarkah nenek moyang kita dulu?

"Ayah selalu mengajariku untuk membersihkannya." Lanjut Rio, "Katanya ini harta paling penting peninggalan kakek!"

Nah, mungkinkah ini juga tombak bereraktor nuklir macam milik Ki Ageng Mangir juga?

Sungguh aneh, orang desa terpencil seperti kakek memiliki senjata pusaka! Mungkinkah warisan dari kakek buyut? Apakah dulu desa ini adalah wilayah pardikan juga? Kenapa tak terekam dalam sejarah?

Aku pun turut membantu membersihkan kedua tombak yang lain dan kedua pedang. Bentuk kedua pedang itu pun sangat unik. Khas Jawa. Cukup panjang meski tidak terlalu lebar dan berat. Unjung tajamnya hanya satu sisi. Dan bagian gagangnya sedikit melengkung seperti pada golok atau keris.

Sangat bagus! Entah kenapa jarang diekspos dalam film-film atau komik. Padahal bisa seterkenal pedang Katana atau Excalibur.

Senjata dari nusantara yang banyak diekspos hanyalah keris. Itupun belum bisa dikemas apik dalam sebuah film seperti halnya film Ninja, Samurai atau pendekar-pendekar dari Cina.

"Sayang," lanjut Rio, "kedua keris milik kakek sudah tak ada lagi."

"Kemana?" tanyaku.

"Kata ayah, yang satu dibawa oleh paman dan yang satu lagi oleh paman."

"Begitu?"

"Padahal kata ayah itu juga senjata pusaka! Tak boleh dibawa pergi dari rumah ini!"

"Kenapa?"

"Tak tahu! Kata ayah, setelah kakek meninggal, paman-paman sering berbuat seenaknya! Mengambil ini itu untuk dibawa ke rumah masing-masing!"

"Yah, betul!" sahut Cintya yang datang dari belakang kami. Rupanya ia mendengar percakapan kami. "Termasuk ingin menjual tanah dan rumah ini!"

Aku memandanginya sekilas dan kembali membersihkan pedang.

"Aneh, bukan?" lanjut Cintya, "Sebagai keturunan kakek, mereka malah ingin menjual warisannya!"

"Mereka mungkin hanya ingin yang terbaik!" balasku.

"Termasuk Mas Rian juga?" cecar Cintya, "Mas juga mendukung untuk menjual rumah ini?"

Rio pun turut menantapku curiga. Aku diam saja dan tak tahu harus menjawab apa. Dan aku memang tak tahu harus berbuat apa.

Mempertahankan tanah dan rumah ini dari penggusuran pemerintah sangatlah tak mungkin. Siapa yang berani melawan pemerintah? Kami bukanlah Ki Ageng Mangir yang berani melawan Mataram. Apalagi kami sendirian.

Seisi desa sudah merelakan digusur dan pindah ke tempat lain. Jika saja masih ada mereka, mungkin kami bisa beramai-ramai berdemo. Tapi kami tak punya pendukung.

Atau, mengandalkan tombak pusaka kakek ini kurasa juga tak mungkin. Aku tak yakin senjata ini punya reaktor nuklir seperti halnya Tombak Baru Klinthing. Namun aku juga belum mencobanya sendiri. Barangkali memang punya!

Dan aku juga merasa sayang untuk melepaskan tanah dan rumah ini. Aku rasakan keterikatan batin dan emosional dengan mereka.

Rumah ini sudah berdiri sejak jaman Belanda. Mungkin lebih lama lagi. Sudah memimpin dan jadi pusat kekuasaan desa sejak lama. Haruskah direlakan hanya demi sebuah bandara?

Sungguh, aku tak tahu harus menjawab apa Cintya! Kedua misi yang disisipkan oleh paman-paman saling bertentangan. Aku tak tahu harus mengambil tindakan apa. Yang jelas, aku akan selalu melindungi kalian.

****