"Dokter ... Dokter ... tolong!" Bunda Delima memompa nafasnya yang tersenggal-senggal lepas berjalan setengah lari di tepian lorong rumah sakit.
Hingga sampai di depan pintu ruangan private dari seorang pria yang paling di pentingkan di tempat itu, Bunda Delima pun tetap menormalkan nafasnya.
Bunda Delima hendak berusaha berkomunikasi dengan sosok pria yang berseragam putih dengan perawakan tinggi tegap yang di sebut oleh banyak orang sebagai Dokternya.
"Tenang dulu, Bu. Ada apa?" tanya pria yang sudah tidak muda namun tidak juga tua itu. Dia hanya memajang wajah sopan dan santun penuh dengan wibawa.
"Ini Dokter, tolong bantu saya, Cucu saya dokter." Bunda Delima masih sulit melontarkan kalimat dengan lugas, pasalnya kepanikan dari hatinya lebih mendominasi dirinya sendiri hingga Dokter hanya bisa mengangguk faham.
Sebelum Dokter itu bergegas pergi ke kamar pasien, ia menyambar stetoskop yang tergeletak di atas meja kejayaannya, tak lupa dia mengikat kencang masker juga sarung tangan karet yang selalu ia pakai untuk aplikasi kesehatan.
"Ayo ikut saya dokter!" Rasanya Bunda Delima sudah ingin menarik pria itu dan membawanya ke ruangan Julia.
Bunda Delima yang memiliki sifat tidak tegaan, tak mau membuat cucu dan anaknya menunggu lama, hingga ia berjalan bersama Dokter dengan langkah yang cukup di percepat. Sepanjang lorong menuju ruangan Julia, Dokter melambai tangan pada beberapa suster di tempat itu, sebagai bentuk perintah pasti agar ia di dampingi. Percis seperti panglima yang sedang di kawal para kawanan pengamannya.
Mereka berjalan membelah lorong rumah sakit yang lumayan sedang ramai pengunjung.
"Di sini ruangannya Dokter," ucap salah satu perawat yang bertanggung jawab atas pasien itu.
Sesampainya Dokter di ruangan itu, Ridwan sontak bangkit dari tempat duduknya, dan mempersilahkan dengan sigap pada Dokter itu untuk memeriksakan kesehatan putrinya.
Wanita kecil yang berwajah pucat dan tubuh lemas di atas ranjang masih terlentang kaku. Namun wajahnya seakan bercahaya mengedar senyum tipis sambil terpejam membuat Ridwan yakin kalau Tiara mengalami peningkatan dalam kesehatannya.
Dokter segera mengeluarkan alat-alat kerjanya dan menempelkan stetoskop miliknya ke dasar dada Julia. Beberapa ritual Dokter yang tidak dimengerti oleh Ridwan dan Bundanya membuat keduanya gugup saling berpegang tangan.
"Gimana putri saya Dok?" tanya Ridwan setelah Dokter menurunkan stetoskopnya dan melilitkan di balik tengkuk bahunya.
Melihat gerakan-gerakan kecil yang diperlihatkan oleh Julia, meyakinkan Ridwan kalau putrinya akan membaik setelah beberapa hari tak sadarkan diri. Namun beberapa detik melihat raut wajah sang Dokter sangat muram, akhirnya keyakinan Ridwan kembali pupus Ridwan pun bisa menangkap jawaban yang akan terlontar dari pria berjubah putih itu.
"Maaf Pak, sepertinya putri anda harus di rawat lebih intensif, keadaanya semakin menurun," jawab Dokter dengan sedikit kecewa dan berat hati menyampaikan semuanya pada sosok Ridwan yang sudah berada di ambang pasrah.
Kepala Ridwan menunduk lemas.
Ridwan menghela nafas dalam lalu memejam sesaat menahan agar air mata itu tidak menetes di dasar pipinya.
"Apa yang harus kita lakukan Dok?"
"Ada beberapa alat yang harus di pasang pada tubuh putri anda untuk memberikan asupan gizi melewati alat tersebut. Kami juga akan memindahkan ruangan Julia ke tempat yang lebih komplit alat-alatnya."
"Dok, pokoknya, berikan yang terbaik untuk Julia, berapapun biayanya akan aku bayar asal anak saya sehat kembali seperti semula, Dok!" Ridwan meraih tangan Dokter itu, dan memelas memohon dengan sangat pada pria itu.
Perlahan dokter itu merasa sedikit iba dengan genggaman seorang pria yang bertitelkan seorang Papa tersebut, Dokter melepas pelan tangannya, lalu mengelus pundak Ridwan berusaha menenangkan.
"Baiklah, saya akan melakukan yang terbaik untuk putri anda, dan selebihnya tolong bantu kami para tim medis dalam bentuk doa ya!"
"Baiklah dokter, terimakasih sebelumnya."
Di bantu Bunda Delima, kedua pundak Ridwan yang lemah itu di bangkitkan kembali. Ridwan sedikit menghempaskan kepalanya yang terasa lunglai di pundak sang Bunda.
Melihat blankar Julia di geret keluar dari ruangannya, batin Ridwan benar tak tega. Bagaimana bisa tega saat melihat wajah putrinya yang terpejam rapat terlihat pasrah.
'Sayang, ayah akan selalu ada di samping kamu nak.' Batin Ridwan terus bergemuruh semakin sulit untuk menegarkan dirinya sendiri.
"Mas? Ada apa ini? Julia mau di bawa kemana Mas?" Detik dimana Angela yang baru saja datang melihat cemas ke arah Julia yang terus digeret pergi dari ruangan itu.
Bunda Delima hanya bisa melihat diam, menatap mantan menantunya nampak gusar seperti hilang akal.
Tangan Angela meraih tangan Ridwan yang benar-benar lemas sekali. Wanita Yang selalu bergaya mewah itu menggoyahkan tubuh Ridwan yang nampak seperti patung.
"Mas Ridwan, jawab dong! Julia mau di bawa kemana?"
Tak tahan melihat keadaan memilukan itu, Bunda Delima keluar dari ruangan yang sudah kosong itu, dia pergi mengekor dari para pasukan paramedis yang beriringan menggiring blankar Julia.
Tersisa Ridwan dan Angela di ruang kosong dengan blankar yang sudah tak tersisa itu.
Angela tak bisa diam sebelum ia mendapat jawaban langsung dari mulut Ridwan. Lalu terus menarik tangan Ridwan sekuat tenaga.
"Mas! Jangan diam saja, ada apa dengan Julia?"
"Julia ... semakin drop," jawab Ridwan singkat dengan mata masih kosong memikirkan keadaan mereka Yang semakin amburadul.
Angela sontak layu, wanita yang selalu angkuh dan tinggi hati itu baru pertama kalinya terlihat lemas. Lutut Angela tiba-tiba terasa lebih lemas dari biasanya saat mendapat kabar buruk itu.
Tiba-tiba banyak bayangan sebelumnya datang pada pikiran Angela yang membuat dirinya merasa bersalah sepenuhnya.
"Ini semua salah aku, Mas." Angela yang lemas tak kuat berdiri duduk dengan bertumpu pada tangannya di bibir blankar itu. "Aku memang salah Mas. Maafkan aku, aku mohon maafkan aku!" Seketika tangis Angela pecah, dan tak ada wajah angkuh yang sebelumnya dari wajah Angela saat ini.
Hanya kesedihan yang nampak dari muka Angela saat ini.
"Maksud kamu apa, Angela? Aku sama sekali tidak mengerti."
Manik mata Angela kian berkaca-kaca, saat ia menyadari segala kesalahannya, Angela langsung tersungkur di hadapan Ridwan membuat mata kening Ridwan mengernyit heran.
"Maafkan aku Mas. Maafkan semua kesalahanku, aku memang bodoh. Jadi, kemarin- kemarin sebenarnya Julia aku kunci di gudang belakang. Aku hanya ingin memberikan pelajaran saja buat Julia agar dia tidak manja dan jadi penurut Mas. Aku ... aku ...," Angela tidak bisa melanjutkan kembali kalimat-kalimatnya saat melihat Ridwan semakin membelalakan kedua bola matanya.
Perlahan demi perlahan Ridwan semakin terlihat marah dengan pipi memerah dan seolah mengeluarkan api di telinganya.
"Apa kamu bilang? Julia dikunci di gudang? Di mana otak kamu Angela!"
Suara Ridwan menggema di ruangan itu, ia tak menyangka kalau ibu kandung Julia sendiri yang memulai penyakitnya semakin parah.
Ridwan meremas tangannya, ingin sekali menampar pipi Angela yang nampak depan wajahnya.
"Sssh, dasar wanita nggak punya rasa!" Nada bicara Ridwan semakin menggelegar, namun ia menghempaskan tangannya yang hendak menampar mantan istrinya itu. " Setan apa yang merasuki pikiran kamu Angela?" Lanjut Ridwan masih belum terima.
Ia yang tahu kalau Julia di kunci di gudang belakang rumah Angela, malu merasa sesak didadanya merasa kalau dirinyalah yang tengah di kunci saat itu.
"Ma-maafkan aku Mas."