webnovel

Kejujuran-kejujuran mulai terungkap. AQ

"Kamu pikir dengan mengucap kata maaf semua selesai?Kamu memang sudah gila Angela."

Mata Ridwan mendelik hebat ke arah Angela. Lalu tak sanggup lagi menatap wajah wanita itu hingga Ridwan yang menahan nafsunya lekas pergi untuk meninggalkan wanita itu.

"Mas! Mas Ridwan tunggu!" Angela berusaha meraih tangan Ridwan dari belakang hingga tubuhnya hampir terseret kuatnya tenaga Ridwan yang sedang terlampau marah.

"Lepas!"

Ridwan menghempaskan tangannya dengan nafas terengah-engah. Hatinya mulai terasa terbakar dan belum ada alasan untuknya memadamkan amarah itu.

"Tapi, Mas. Aku bisa jelaskan semuanya."

Sekejap Ridwan menarik nafasnya saat belum

sampai di bibir pintu. Ia menoleh kembali ke arah Angela dan masih mau mendengar hal apa lagi yang dirahasiakan oleh mantan istrinya itu.

"Jadi apa lagi yang mau kamu jelaskan hah?" Sentak Ridwan semakin jelas dengan kemarahannya.

Angela mulai menekan salivanya dengan sangat kasar. Bahkan, dia tangannya mulai bergetar, namun sepahit apapun resikonya, Angela sadar kalau dia harus memperjelas urusan semuanya.

"Mas, sebenarnya aku cemburu sama kehidupan Mas yang lebih maju ketika kita sudah bercerai. Aku melihat kalian sangat bahagia tanpaku, dan kecewaku semakin memuncak saat melihat kamu ingin menikah dengan Tiara. Mas, aku juga punya hati nurani dan ingin merasakan kebahagiaan juga kehangatan sebuah keluarga. Meski aku tahu kalau hubungan kita sudah tidak bisa di perbaiki, aku masih ingin berhubungan baik dengan kalian. Aku ... aku menumpahkan semua kekesalanku sama Julia. Aku memang bodoh." Angela mengurai semuanya sambil mencengkram poni rambut di atas keningnya dengan kasar. "Maafin aku Mas. Maaf!" Lanjut ingkar Angela melemahkan tubuhnya di atas lantai.

"Astaga, Angela. Kenapa kamu tidak bilang semua dari sebelumnya? Aku tidak bisa memperbaiki hubungan kita, tapi setidaknya kita bisa jadi keluarga. Hingga bukan anak anak kita yang jadi korbannya." Ridwan pun ikut tersadar jika ia sedikit memberi luang kekeluargaan untuk Angela, mungkin wanita di hadapannya itu tidak akan sekejam itu.

Dan jika Ridwan bisa sedikit menghargai Angela, mungkin Julia tidak akan jadi korban kedua belah pihak. Ridwan ikut tertunduk menyadari kesalahannya juga.

Ia menyetarakan dirinya dengan posisi Angela yang terduduk lemah.

"Aku sudah mengerti semuanya Tiara. Aku sadar akan segalanya, maafkan aku juga karena aku tidak pernah bisa memahami kamu sebagai wanita. Saat ini, kita harus benar-benar fokus pada kesehatan Julia, anak kita," ungkap Ridwan dengan ragu meletakan telapak tangannya di atas pundak Angela yang sudah lama sekali tidak ia sentuh.

"Benar kata kamu Mas. Sekarang ini, kita harus fokus pada Julia." Angela mengibas air matanya, lalu keduanya seolah bangkit dari kesedihan dan pilu yang ada setelah kejujuran pahit itu dibuka oleh Angela seutuhnya.

"Julia, betul ayo kita pergi ke ruangan Julia saat ini."

Mereka bergegas pergi bersama-sama dengan hilangnya rasa emosi dari keduanya.

Saat ini kondisi Julia lebih utama dari segalanya.

"Bagaimana keadaan anak saya Dok?" tanya Ridwan yang berdiri tegak dengan Angela di samping pintu, Dokter yang hendak keluar dari ruangan rawat Julia ikut terjeda dengan kedatangan kedua orang di hadapannya itu.

Pria bertubuh tinggi besar itu menghela nafas dan berat sekali harus memberikan opsi pada orang tua pasien.

"Mau tidak mau kita harus melakukan Biopsi yaitu pengangkatan benjolan yang ada di belakang telinga anak ini."

"Baik Dok. Pokoknya, lakukan yang terbaik."

"Kalau semua keputusan para keluarga sudah bulat, ayo ikut ke ruangan saya!" Ajak dokter itu berjalan dan di buntuti oleh keduanya.

Beberapa kertas berupa pernyataan kesediaan keluarga pasien sudah di siapkan.

Dengan tangan bergetar Ridwan terlihat menguatkan dirinya untuk tetap bersiap siaga untuk proses yang hendak berlangsung.

"Silahkan anda tanda tangan di sini, maka proses Biopsi akan kamu segerakan."

"Mas?" Angela ragu, namun Ridwan mengendikkan pandangannya hingga Angela mulai ikut yakin.

Bagaimanapun juga Julia adalah darah daging Angela hingga ia turut ikut andil dalam keputusan itu.

Keduanya menggoreskan tinta hitam di atas kertas yang di sodorkan oleh Dokter.

Dengan kesiagaan paramedis, semua bergerak cepat untuk melakukan tindakan. Para suster memakai beberapa perangkat untuk melakukan Biopsi.

Sedangkan tak henti Ridwan serta Bunda dan mantan istrinya berkomat-kamit terus berdoa yang terbaik untuk Julia.

"Semoga semuanya lancar, Ridwan."

"Bunda tenang ya. Aku yakin kalau Dokter akan melakukan yang terbaik untuk Julia."

Bunda Delima hanya bisa menganggukkan kepalanya, dan duduk setengah membelakangi Angela yang duduk di sampingnya.

Beberapa alat sudah terpasang, ketegangan mulai bangkit dari semua orang. Suara-suara alat medis mempertegang suasana hingga hari itu menjadi hari yang paling memilukan bagi Ridwan sekeluarga.

Trek.

Dokter menutup pintu rapat dan lampu berwarna kuning di atas pintu mulai menyala tanda proses Biopsi di dalam ruangan tengah dilaksanakan.

Di tempat lain, Tiara nampak duduk diam di depan hamparan danau dengan gelombang yang tenang.

Sesekali ia melempar kerikil kecil ke tengah danau itu hingga ketenangan mulai hancur akibat letupan dari bulir-bulir air yang membuncah.

"Tiara, apa perlu kamu jadi perawan tua?" Ucap Tiara mengeluh atas dirinya sendiri. "Berulang kali kamu memulai hubungan, beberapa kali itu pula kamu merasakan hancur di hatimu. Tuhan, apa aku nggak pantas untuk bahagia?" ungkap Tiara pada dirinya sendiri sambil mendongak melihat awan yang sudah mulai hitam.

"Tuhan merencanakan sesuatu bukan tanpa sebab." Seorang pria dengan suara legam membuat Tiara heran. Tiara sontak mencari asal suara berada.

Lalu dia membolakan matanya setelah ia melihat sosok Candra sudah ada di hadapannya.

"Candra? Kenapa kamu ada di sini?" Heran Tiara yang langsung mengedar pandangan ke semua arah, ia meyakinkan dirinya kalau Candra datang hanya seorang saja.

"Yakinlah, saat kamu ikhlas dengan keadaanmu. Maka Tuhan merencanakan sesuatu yang lebih indah dari sebelumnya." Candra berjalan gagah menghampiri Tiara yang terlihat masih sembab di matanya.

"Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Tiara masih heran saja.

"Tidak penting, dari mana aku tahu semua ini. Yang jelas kamu harus pulang. Kamu tidak boleh menyiksa dirimu sendiri seperti ini."

Tiara kembali membelakangi Candra dan memfokuskan pandangannya pada air yang kembali tenang.

"Rasanya, aku belum mau pulang Cand. Bukannya aku menyiksa diriku seperti ini, tapi kamu tahu sendirikan kalau aku merasa putus asa dengan semua orang yang aku dekati. Bahkan kamu saja tidak bisa jadi pasanganku kan?" Tiara sedikit menyindir hubungan kilas antara Candra dan dirinya.

"Mungkin, kita emang tidak cocok untuk bersama, tapi aku yakin kita cocok untuk berteman." Candra masih berusaha membangkitkan semangat gadis di hadapannya itu.

"Teman? Betul kata kamu Cand. Kita temenan saja ya?!"

Candra menganggukkan kepalanya seraya tersenyum tipis melihat kepolosan dari raut wajah Tiara.