webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · สมัยใหม่
Not enough ratings
124 Chs

Seperti Kerasukan

"Miss me, huh?"

***

Regina masih tidak habis pikir dengan keberadaan pria yang kini sudah berbaring di ranjangnya dengan wajah tanpa dosa. Setelah mengabaikannya satu pekan ini, pria itu tiba-tiba saja datang tanpa memberi kabar dan masuk ke kamarnya tanpa dipersilahkan.

Membuang napas kasar, Regina akhirnya masuk kembali ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Ditatapnya pria yang masih terlentang nyaman di ranjang yang tadi dia tempati selama beberapa menit untuk tidur.

"Jadi? Apa maksudnya dengan kedatanganmu ke tempat ini?" tanya Regina masih berdiri dengan lengan dilipat di depan dada.

Tidak ada jawaban. Pria itu malah asyik memejamkan mata.

"Adhi!" Regina berteriak gemas ingin sekali menjambak rambut pria itu sampai botak.

"Aku lelah sekali, Regina. Tidak bisakah beri aku waktu untuk istirahat barang sebentar?"

"Keluar!" perintah wanita itu dengan intonasi yang rendah tapi terdengar tidak ingin dibantah. Mendengarnya, Adhinatha akhirnya membuat matanya dan menatap tunangannya yang masih menatapnya tajam.

"Aku ke sini karena kamu yang minta, ingat?"Alisnya terangkat, mengernyit heran.

Dan Regina lebih heran lagi mendengar jawaban itu. "Kamu bahkan mengabaikan pesan-pesan yang aku kirimkan. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran dan datang ke sini?" tanya Regina lagi terlihat masih belum puas dengan jawaban Adhinatha.

"Seingatku kamu sendiri yang meminta untuk bekerja sama agar kita terlihat seperti pasangan harmonis, iya 'kan?"

"Yang aku tanyakan kenapa pesanku tidak satupun kamu balas."

"Aku membacanya. Aku mengerti maksud pesanmu. Aku setuju dan tidak ada yang perlu aku tanyakan atau konfirmasi. Jadi, bukankah tidak masalah kalau tidak aku balas?"

Regina benar-benar kehilangan kata-kata. Pria ini, entah apa kata yang pantas untuk menyebutnya. Yang jelas Adhinatha sukses membuat Regina geleng-geleng kepala.

Regina berjalan mengitari ranjang guna meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Dicarinya nomornya Eza dan dia langsung mendial nomor itu.

"Za? Kira-kira masih ada kamar kosong tidak, ya? Ini Adhi tiba-tiba menyusul ke sini. Apa? Kamarnya sudah penuh? Tidak ada satupun yang tersisa? Gila saja, sembarangan idemu itu. Ya sudah iya, biar dia tidur dengan adikku saja. Iya, terima kasih ya, Win.Oke."

Pandangannya kembali pada pria yang kini sudah berjalan ke arah balkon dan membukanya. Regina menghela napas, berjalan menyusul pria itu yang sudah sepenuhnya berdiri di luar.

"Tidak ada kamar kosong untukmu. Kalau tidur dengan adikku Darwin, tidak masalah, bukan?" Adhi mengangguk saja, kembali menatap pada hutan pinus yang mengelilingi bangunan vila itu.

"Di sini udaranya segar sekali."

"Namanya juga hutan," timpal Regina asal. Wanita itu mengambil duduk di kursi yang terbuat dari rotan. Entah mengapa, dia justru bertahan di sana alih-alih masuk ke dalam. Padahal udara sore menjelang malam itu kian dingin.

"Besok acaranya pagi, jam Sembilan. Kamu tahu, bukan?"

Adhinatha mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan pepohonan yangtamakbegitu teduh itu.

"Jangan ada kesiangan bangun atau sebagainya, mengerti?"

Pria itu mengangguk lagi menanggapi kalimat Regina.

Regina mengambil ponselnya yang kembali berdering karena panggilan telepon. Rupanya Eza lagi-lagi meneleponnya entah untuk apa lagi kali ini.

"Ya, Za? Kenapa lagi?" Regina menatap Adhinatha —tampak tengah menimbang, lalu kembali mengobrol dengan Eza yang rupanya menawari makan malam di halaman belakang sembari barbeque an.

Panggilan berakhir, kembali ditatapnya Adhi dengan raut ragu apakah harus mengajak Adhi untuk makan bersama yang lainnya atau delivery saja?

"Eung … Adhi." Akhirnya pria itu menoleh dengan masih belum beranjak sesentipun dari sana. Dia menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas dengan kedua tangan masih bertumpu di sana.

"Ya?"

"Aku mau makan bersama yang lain, di halaman belakang. Semacam barbeque. Kamu … mau di sini saja atau ikut?"

"Aku ikut." Regina sedikit terkejut, tidak menyangka Adhi akan menjawab secepat itu dan pria itu setuju? Regina justru merasa aneh saat Adhi bersikap terlalu kooperatif seperti ini. Bahkan sebelum hari ini, pria itu benar-benar mengabaikannya, bukan? Lantas kenapa sekarang pria itu tiba-tiba jadi penurut sekali? Apa pria itu habis terbentur sesuatu?

Regina menggeleng. Tidak ingin ambil pusing dengan tingkah Adhi.

"Baiklah. Kalau begitu … aku mau siap-siap dulu." Regina masuk ke dalam, mengambil baju ganti dan membawanya ke kamar mandi sekalian bersih-bersih.

***

"Halo, Bu?" Telepon Adhi berbunyi tepat setelah Regina masuk ke kamar mandi.

"Aku sudah di sini. Bukankah aku sudah mengirimkan lokasiku padamu? Juga foto selfeku di tempat ini."

Pria itu menghela napas.

"Iya. Aku mengerti. Aku turuti semua mau ibu, puas? Tapi aku mohon jangan ganggu dia." Adhi mengangguk pelan.

"Aku tutup sekarang. Ya, Bu."

Panggilan itu berakhir menyisakan Adhinatha yang mendesah lelah. Awalnya, dia memang sudah berniat menjadi kooperatif pada Regina.Tapi ibunya tiba-tiba mengabarinya, menyuruhnya datang ke sini dengan mengancam menggunakan sesuatu yang benar-benar berharga baginya. Dan dia jadi merasa berat –terbebani. Langkahnya tidak lagi terasa ringan setelah ancaman itu.

"Tidak bisakah memintaku secara bak-baik tanpa harus mengancam?" Adhi membuang napas marah. Dia beranjam dari tempat itu, berjalan masuk ke dalam dan duduk di ujung ranjang milik Regina.

Dengan sisa kekesalan, dilepasnya kancing di bagian leher kemejanya. Membebaskan rasa sesak yang tiba-tiba terasa begitu mencekik. Rupanya dua kancing tidak mengurangi perasaan yang terasa mencekik itu. Jadi, dia buka kancing-kancing lainnya hingga akhirnya dia lepas kemeja yang seharian ini membalut tubuhnya.

Dia beru merasa lebih baik setelah menanggalkan kemejanya dan menyisakan kaus putih tipis yang menampakkan postur tubuhnya terang-terangan. Bahu lebar, dada bidang tanpa bulu-bulu berlebihan, dan perut yang walau tidak berbentuk kotak-kotak tapi masih cukup rata dengan otot yang masih cukup terlihat.

Rupanya merasa lebih baik saja tidak cukup. Adhi masih merasa badannya lengket dan tidak nyaman. Dia butuh mandi setelah seharian ini berkegiatan. Dan setelah mencium bau badannya sendiri, Adhi benar-benar merasa harus mandi.

Melepas sepatu dan celana kain panjang miliknya, Adhi sudah siap untuk mandi saat pintu kamar mandi terbuka dan Regina muncul di sana.

Wanita itu tersedak ludahnya sendiri melihat penampilan Adhi yang hanya mengenakan kaus tipi dan celana pendek sepaha. Pria ini nyaris telanjang dengan percaya dirnya?

"Jangan di pintu, aku mau masuk ke kamar mandi." Regina maju meninggalkan pintu itu.

"Bisa tidak lepas bajunya di dalam saja. Kenapa lepas di sini, sih?" omel Regina antara terkejut, salah tingkah, juga kesal karena Adhi bersikap seenaknya di kamarnya. Dan lagi, dia heran dengan kenarsisan pria itu memamerkan tubuhnya dibalik balutan kaus tipis semi transparan itu. Mau menggodanya atau bagainya?

"Mau di sini atau di dalam sama saja, bukan? Aku hanya mengefisienkan waktu selagi kamu mandi."

Efisien waktu, kepalamu!