webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · Urban
Not enough ratings
124 Chs

Benar-Benar Terlihat Lain

Regina masih berusaha menormalnya detak jantungnya bahkan setelah bermenit-menit berlalu sejak Adhinatha masuk ke kamar mandi. Kerja jantungnya masih berdetak terlalu cepat saat melihat Adhi dengan tampilan tidak seperti biasanya.

Yang benar saja, kaus dalaman dan celana kolor pendek paha? Astaga, Regina masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.

Berusaha mengalihkan pikirannya, Regina memilih menggunakan sedikit riasan agar wajahnya tidak terlalu polos, juga menyisir rambutnya rapi, memasang jepitan bertaburan batu permata sebagai pemanis surai hitam gelapnya. Dia sudah selesai merias diri saat pintu kamar mandi terbuka menampakkan Adhinatha hanya dengan lilitan handuk menggantung di pinggulnya.

'Apa-apaan ini?' batin Regina memaki.

"Kamu terlalu percaya diri atau bagaimana? Kenapa tidak berpakaian di walk in closet saja, sih?"

Adhinatha melenggang santai menuju koper kecilnya. "Aku lupa bawa pakaian ganti." Pria itu berucap dengan wajah polos tanpa beban.

"Kamu bisa meminta tolong, bukan?"

"Kamu mau mengambilkannya?" balas Adhi dengan alis terangkat. Belum sempat Regina menjawab, pria itu sudah berucap lagi. "Bahkan setelah menikah nanti, aku tidak ingin mewajibkanmu untuk mengurusi kebutuhanku dengan melakukan hal-hal semacam itu. Jadi, kenapa melakukannya bahkan saat status kita baru tunangan, huh?"

"Maksudnya?" Regina masih tidak mengerti dengan kalimat Adhinatha yang terdengar mengandung makna tersirat.

"Menyiapkan pakaian pasangannya. Kamu tidak perlu melakukan itu, baik sekarang ataupun nanti setelah sudah menjadi istriku."

Regina tersedak ludahnya sendiri. "Aku cuma menawarkan bantuan mengambilkanmu pakaian.Kenapa kamu berpikir sampai sejauh itu, sih?" Tidak habis pikir dengan Adhi yang terlalu jauh ke depan itu, Regina hanya geleng-geleng kepalanya.

"Dan kenapa juga kamu masih berdiri di situ, sih, Di? Mau pakai baju di sini?" tanya Regina kesal.

Mendengar nada gemas dan kesal dari cara Regina bicara, seketika timbul ide jahil di kepala Adhinatha.

"Boleh juga. Toh kita akan resmi jadi suami istri, bukan? Jadi … kenapa tidak aku pakai baju di sini?"

"Heh? Kamu tidak dengar apa yang aku bilang tadi? Di kamar mandi!" Adhi senang melihat bagaimana raut wanita itu terlihat panik.

"Terlalu merepotkan. Di sini saja." Menyembunyikan senyum miringnya, Adhi benar-benar perlu usaha keras untuk tidak tertawa.

Regina membuang napas kasar. Berbicara dengan Adhinatha benar-benar selalu bisa menguras emosi yang biasanya tertidur dengan damai di dalam dirinya. Adhinatha memang tidak pernah membiarkan dia jadi wanita anggun yang sabar. Tidak pernah sekalipun.

Berdiri dengan gerakan sangat cepat, Regina menatap Adhi sepersekian detik. "Aku t-tunggu di luar. Cepatlah bersiap."

"Tidak mau melihatku pakai baju? Tubuhku ini … pemandangan yang indah, lho?"

Dan pria itu langsung tergelak begitu mendengar penolakan bernada kesal yang sangat kentara itu. Tawanya lepas, begitu ceria tanpa beban. Gelak tawanya baru mulai surut setelah wanita itu menghilang dari balik pintu meninggalkan debaman pelan.

Geleng-geleng kepala, Adhi mulai mengenakan pakaian yang dia ambil dari dalam kopernya. Pilihannya jatuh pada sweater berwarna caramel yang dipadukan dengan celana jeans panjang sampai di atas mata kaki. Rambutnya dibiarkan sedikit berantakan tanpa gel rambut dan hanya disisir dengan jemari. Menyemprotkan parfum, pria itu pun keluar dari kamar dan mendapati Regina sedang mengobrol dengan laki-laki.

"Dhi, kenalkan, ini Eza. Teman baikku, yang menikah besok."

Eza tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Adhi. "Adhinatha."

"Pilihanmu bagus juga mengadakan pernikahan di sini."

Alis Eza terangkat mendengar pujian itu. Kepalanya otomatis menoleh sekilas pada Regina, lalu terkekeh pelan menanggapi pujian Adhi. Eza ingat jelas ucapan Regina yang memintanya jangan terlalu berekspektasi pada Adhi. Eza ingat sekali Regina bilang Adhi pribadi yang dingin, kaku, dan tidak menyenangkan. Jadi, apa artinya pujian yang terdengar tulus barusan?

"Kamu suka pegunungan rupanya," sahut Eza membuat Adhi tersenyum lebar.

"Mengunjungi tempat dengan suasana sejuk dan udara segar seperti ini, rasanya seperti kembali ke rumah. Menentramkan sekali."

"Aku punya list tempat-tempat semacam ini. Kalau kamu mau, aku bisa membaginya denganmu. Aku jamin tempatnya indah dan sejuk. Kamu bisa ke sana dengan Regina." Seketika keduanya saling bertatapan, hingga sekian detik sampai Regina membuang muka terlebih dahulu lalu berdehem keras.

"Aku lapar sekali. Makanan sudah siap, Za?" Regina berusaha mengalihkan obrolan.

"Oh iya. Makan malam sudah siap. Ayo, aku tunjukkan tempatnya."

Keduanya berjalan beriringan mengikuti Eza yang sudah berjalan memimpin. Obrolan Eza dan Adhi mengalir begitu natural. Bahkan Regina yakin, kalau orang asing yang melihat ini, pasti akan berpikiran yang temannya Eza itu Adhi, sedangkan Regina pasangan Adhi yang pendiam dan tidak pandai bergaul.

Mereka akhirnya sampai di halaman belakang yang sudah ramai dengan orang-orang yang sibuk bercengkrama membentuk gerombolan-gerombolan, mengobrol dengan hangat, dengan menyantap makanan mereka yang berupa daging panggang dan beberapa kudapan lainnya. Adhi tebak di sana ada dua puluhan orang.

"Semua ini teman-teman dekatmu?" tanya Adhi walau sudah yakin kalau jawabannya adalah iya.

"Begitulah. Walau sebenarnya aku ingin mengundang semua temanku. Sayangnya kapasitas budgetku dan penginapan tidak sebanyak itu. Jadi aku undang yang benar-benar close friend," terang Eza membuat Adhi mengangguk mengerti.

"Oh, iya, kalian makanlah. Di sana, di perapian itu memang ada petugas yang memasakkan untuk kita semua. Jadi kalian bisa meminta padanya." Penjelasan Eza membuat Regina dan Adhi kompak mengangguk.

"Aku mau menyapa yang lain dulu. Tidak masalah, bukan?"

Regina menggeleng pelan dengan senyum tulusnya. "Pergilah. Kami mengerti, kok. Kamu juga perlu menyapa yang lain."

Adhi mengangguk setuju dengan kalimat Regina, membuat perasaan tidak enak di dada Eza kian sirna. Mengangguk sekali lagi, pria dengan turtle neck hitam itu pun berjalan menyatu dengan gerombolan-gerombolan itu.

"Aku suka tempat ini. Sangat homey dan nyaman. Membangun beberapa villa atau penginapan di daerah sini sepertinya ide yang bagus. Bagaimana menurutmu?"

Regina memutar mata malas. "Bisa tidak jangan memikirkan uang terus-menerus? Kita sedang di acara temanku. Astagaa." Regina benar-benar tidak habis pikir dengan tunangannya itu. Jadi, sedari tadi mengobrol soal villa dengan Eza adalah cara pria itu riset? Benar-benar soal uang.

"Apa masalahnya? Inspirasi bisa datang kapan saja, bukan? Dan ide itu muncul sekarang, jadi kenapa tidak sekalian dipikirkan? Ini namanya memaksimalkan peluang." Adhi tersenyum seraya menatap sekeliling.

"Lebih baik kita makan. Kamu kelaparan sejak tadi, bukan? Biar aku ambilkan."

Saat wanita itu melangkah, Adhinatha menahan lengannya. Regina mengangkat alis sedikit kebingungan melihat Adhi yang tumben sekali melakukan skinship dengannya.

"Kamu tega meninggalkanku sendiri di tempat asing ini?" Pria itu nampak kesal. "Kita pergi sama-sama."

Pergi sama-sama sih pergi sama-sama. Tapi tangannya tidak usah gandeng-gandeng, bisa 'kan?