webnovel

Amarah Aditya

Apartemen Aditya ternyata berada di paling atas gedung alias penthouse. Raissa dan Peni yang tidak pernah memasuki penthouse manapun ternganga melihatnya. Elevator menuju apartemen ini hanya satu. Tidak digabung dengan penghuni yang lain. "Besar banget, ada berapa kamar ini?" tanya Raissa. "Ada 4 kamar. Pilih mana saja yang kalian suka." kata Aditya. Peni, Asya dan Raissa langsung menjelajahi apartemen itu dan memilih kamar masing-masing. "Kamu di kamar utama saja Sa." kata Asya. "Benar? assiikk!" kata Raissa. "Ya iyalah, masa salah satu dari kami yang menempati kamar utama, ini kan apartemen pacarmu!" kata Peni, " Eh tapi aku mau loh tinggal disini terus.. enak banget. Sering-sering aja calon mertuamu ngancam Sa, enak kita tinggal disini heheheh.." kata Peni. "Hush .. apaan sih Peni." kata Asya. "Ngomong-ngomong Mas, Liza boleh tahu kan kalau kami pindah kesini?" tanya Raissa. "Baiklah, hanya Liza dan Bram ya.. karena kalau Liza tahu Bram juga pasti tahu." kata Aditya. "Briptu Agus juga boleh dong Pak!" rengek Peni. "Untuk apa dia tahu, nanti dia mengejar-ngejar Raissa terus!" kata Aditya dengan ketus. "Nanti saya pawangnya deh pak! soalnya kami suka ngobrol lewat telepon pak, kadang-kadang saya juga suka minta ditraktir makan sama dia. Nanti saya bilang apa kalau dia mau jemput saya?" tanya Peni. "Sebenarnya si Briptu ini ngejar siapa sih? Raissa atau Peni?" tanya Alex bingung. "Ish.. dokter ini, ga usah diperjelas lah.. sakit hatiku!" kata Peni lalu melangkah pergi masuk ke kamarnya sambil menghentakkan kaki. Asya hanya memelototi Alex sambil berkacak pinggang. "Apa salahku?" tanya Alex semakin bingung, sedangkan Aditya dan Raissa hanya menertawakan mereka. "Ah sudahlah kamu ini, nanti kuceritain!" kata Asya kesal. Tiba-tiba Peni keluar kamar sambil membawa ponselnya yang berdering tanpa diangkat. "Lihat..lihat!! Briptu Agusku menelepon! tuh kan!! aku bilang apa dong?" tanya Peni setengah panik. "Ya sudah, boleh bilang Briptu Agus kalau kalian pindah sementara kemari sampai si topi biru tertangkap. Demi keamanan kalian! ingat Pen! jangan bilang apa-apa soal ibuku!! Dan cukup ya.. hanya segitu saja yang boleh tahu tempat sementara kalian disini! mengerti?" kata Aditya akhirnya menyerah. Peni langsung sumringah dan cepat-cepat mengangkat telepon, "Haloo Abaangg.. ya.. yah.. oh kami sedang tidak di rusun... jadi begini .." ucapan Peni semakin sayup ketika gadis itu memilih untuk berbicara di kamarnya. Aditya berkacak pinggang sambil memegang keningnya seolah pusing. "Gapapa ya Mas, Peni lagi usaha keras menarik perhatian si Briptu. Tampaknya usahanya mulai membuahkan hasil." kata Raissa. "Baiklah, tapi aku serius, jangan ada lagi orang yang tahu ya sayang?" kata Aditya. "Oke Mas, kami akan tutup mulut, iya kan Sya?" kata Raissa. "Iya" jawabnya.

"Baiklah, ayo kita makan, setelah itu aku harus ke kantor." kata Aditya. Akhirnya mereka semua makan siang bersama, termasuk Peni setelah menyudahi percakapannya dengan Briptu Agus. Setelah selesai makan merekapun melanjutkan acara berbenah dan bersih-bersih rumah. sedangkan Aditya menelepon Bu Tari. "Bu Tari, apa Marisa masuk kantor hari ini?" tanya Aditya. "Masuk tapi sehabis makan siang pak, ada urusan keluarga yang mendesak pagi ini jadi baru datang siang. Ada yang bisa dibantu pak?" tanya Bu Tari. "Ada, begitu dia masuk suruh dia persiapkan berkas proyek MCU di pabrik pakan ternak yang di Tangerang, saya mau tahu apa yang membuatnya kacau kemarin. Suruh dia menghadap saya!" kata Aditya tegas. "Oh itu saya bisa bantu pak, jadi.." ucap Bu Tari cepat ingin melindungi anak buahnya. "Jangan melindungi dia terus Bu Tari, anak itu harus belajar! suruh dia menghadap begitu saya tiba di kantor nanti! titik!!" lalu Aditya menutup teleponnya. "Memangnya Marisa mengacau?" tanya Raissa. "Tau rasa kau kena marah Marisa!!!" kata Peni penuh dendam. "Mengacau tapi tidak terlalu fatal, aku hanya ingin berbicara pribadi dengan dia, mengorek informasi tentang ibu. Tapi kalau tiba-tiba kupanggil lalu berbicara lama di kantor tertutup apalagi kalau ujungnya pakai acara tangisan pasti akan jadi gosip, dengan begini panggung sandiwara sudah siap." kata Aditya.

"Hahaha, pintar, tapi sedih juga.. sepertinya semakin diatas posisi kita semakin harus menjaga sikap ya?" kata Raissa sambil merenung. "Menjaga sikap, wibawa, nama baik keluarga, nama baik perusahaan, dan lain sebagainya. Siap-siaplah kalian yang akan bergabung dengan keluarga besar Bhagaskara, aku mau jadi istrinya Briptu Agus saja." kata Peni sambil tertawa senang. "Hei, jadi istri polisi kau kira gampang? Sama saja harus jaim juga! Harus berperilaku baik, menjadi contoh bagi masyarakat sekitar, berguna bagi Nusa dan bangsa, membanggakan negara!" kata Raissa. "Belum lagi khawatir setiap hari, suami pulang apa tidak, selamat atau tidak!" tambah Asya mengompori. "wah iya juga ya? tidak kalah susahnya dengan memasuki keluarga Bhagaskara Heheheh.." kata Peni cengengesan. "Baiklah, aku berangkat, sampai nanti malam ya Sa, aku akan mampir kesini sebelum pulang." kata Aditya. "Hati-hati di jalan Mas! Semangat!!" kata Raissa. "Hajar si Marisa!" kata Peni. Asya dan Alex hanya geleng-geleng kepala dengan komentar Peni, Aditya hanya tersenyum lalu ia pun berangkat ke kantor.

Marisa melangkah menuju menuju meja kerjanya di departemen Marketing klinik Bhagaskara Medika. Hatinya tidak tenang, ia memang tidak pernah akrab dengan Raissa, malah cenderung tidak menyukainya sejak pertamakali bertemu, kini Marisa mengerti mengapa ia tidak menyukai gadis itu, dari awal alam bawah sadarnya sudah tahu kalau Raissa akan menjadi saingannya. Dari dulu seperti itu, kalau ada karyawan yang menyukai Aditya, Marisa pasti tidak menyukainya tapi tidak pernah merasa terancam karena Aditya sendiri yang pasti akan membereskannya, seperti Cinta, salah satu perawat yang akhirnya memilih mengundurkan diri, lalu Liza, tapi dalam kasus Liza, ia menemukan pujaan hati yang lain. Beda dengan Raissa, instingnya langsung tidak menyukainya, Raissa pandai bersandiwara rupanya. Ia sama sekali tidak melihat tanda-tanda kalau Raissa menjalin hubungan dengan Aditya. Dan tiba-tiba, Ibunya Aditya memberitahunya kalau mereka berdua terlibat hubungan asmara. Marisa geram dan merasa dirinya dikalahkan. Walaupun begitu, bukan gayanya untuk membunuh seseorang. Ia suka melihat lawannya sengsara, tapi tidak sampai menghilangkan nyawa. Sekarang ia bingung, kalau ia lapor polisipun nyawanya juga akan terancam. Tapi kalau ada apa-apa dirinya juga tidak mau dituduh antek-antek pembunuh. Marisa berjalan dengan agak linglung. "Marisa!!" seru Bu Tari saat melihat Marisa. "Eh iya Bu? ada apa?" tanya Marisa kaget. "Cepat ambil berkas-berkas kontrak MCU di pabrik pakan ternak kemarin. Pak Aditya ingin bertemu denganmu membahas kekacauan kemarin! kamu ini.. sudah betapa kali aku bilangin jangan teledor! selalu saja ada yang kurang."Kata Bu Tari. "Tapi itu bukan salah saya seorang Bu! operasionalnya juga lelet, kewalahan gitu! terus dengan pihak pabriknya juga ada miskomunikasi tentang ketersediaan tempat." kata Marisa membela diri. "Ya Itu, harusnya kamu sudah cek ulang sebelum hari pelaksanaan dong Mar. Sekarang aku sudah tidak bisa melindungimu lagi. Bapak mintanya kamu ngadep sendirian. Sabar aja sama pak Aditya. Iya-iya aja. Terus usahakan yang terbaik ya!" kata Bu Tari. "Baik Bu!" kata Marisa lesu, lalu ia menoleh pada dua sahabatnya di kantor, Lira dan Eki yang melongo menatap Marisa. "Ehhmm.. semangat Mar!" kata Lira bingung mau ngomong apa. Eki hanya mengacungkan tangan tanda agar Marisa tetap berjuang. "Duuhh.. apes amat sih!!" keluh Marisa lalu berbalik menuju ruang Aditya . Marisa melewati meja Bu Ade. "Siang Bu, saya diminta bertemu dengan Pak Aditya siang ini, Bapak sedang sibuk tidak ya Bu?" tanya Marisa pada Bu Ade, ia agak segan dengan ibu satu ini sehingga selalu menjaga sikap dengan Bu Ade. "Bisa Marisa, sudah ditunggu, silahkan masuk" kata Bu Ade formal dan datar. Marisa mengangguk lalu berjalan dengan lambat ke pintu ruangan Pak Aditya.

Tok..tok..tok.. " Masuk" jawab Aditya.

Marisa memutar kenop pintu dan masuk keruangan Aditya. "Tutup!" kata Aditya ketus tanpa mengalihkan pandangan dari kertas kertas yang dibacanya. Marisa menuruti. "Duduk!" perintah Aditya. Marisa menuruti sambil memegangi berkas-berkas proyek kemarin. Mungkin ada 10 menit Marisa dicuekin oleh Aditya. "Duuhh.. untung ganteng, lumayan bisa ngeliatin gratis.. tapi ada apa sih kok aku didiemin gini? apa dia udah tau rencana ibunya ya? tapi tidak mungkin ada yang tahu! Siapa yang kasih tahu? Apa orangtua Raissa langsung mengadu pada Aditya? Duuh mereka tidak takut apa sama Tante Dewi?" pikir Marisa kesal, ia mulai tidak bisa diam. "Ehm.. ini berkas-berkas yang bapak minta!" akhirnya Maris tidak tahan didiamkan. "Berisik kamu! sudah tahu apa kesalahan kamu?!" tanya Aditya sambil terus sibuk memeriksa kertas-kertas didepannya dan sekali-kali mengetik email di laptopnya. "Eemm, apa ya Pak? saya sudah berusaha semampu saya, bukan salah saya kalau operasionalnya lelet, lalu ada miskomunikasi di pihak pabrik!" kata Marisa membela diri. "Tapi kamu penanggung jawabnya, kesalahan sekecil apapun adalah tanggung jawabmu!" kata Aditya sambil menunjuk Marisa dengan bolpoin. "Itu tidak adil pak!!" kata Marisa sengit. "Mau tahu apalagi yang tidak adil? Membantu memisahkan hubungan asmara orang lain! Meneror orangtua pihak perempuan dengan mendatangi rumahnya padahal izin ke atasan ada urusan keluarga mendesak? Apalagi yang kamu lakukan untuk ibu saya? dikasih apa kamu sama dia? dibayar berapa?Jawab!!" bentak Aditya sambil menggebrak meja. Marisa sampai terlonjak kaget dari tempat duduknya. "Mati aku!! gawat nih.. ya sudah lah sudah kepalang tanggung!! mati sekalian aja dah!!" pikir Marisa. "Ayo jawab!! kenapa melamun? Heh!!!" Sekali lagi Aditya memukul meja. "Sudah sepantasnya Tante Dewi bersikap seperti itu! Raissa tidak pantas untuk bapak!!" teriak Marisa. Untungnya ruangan Aditya kedap suara, kalau tidak pasti sudah banyak yang ingin menonton drama mereka. "Terus? siapa yang pantas? Kamu?! Ngaca dulu sana!!! Siapa kamu?? menangani satu proyek saja amburadul begini?!" balas Aditya berapi-api. "Ya!!! saya lebih pantas dari Raissa, fisik saya oke, saya lulusan luar negeri, dari keluarga golongan atas, semua keluarga saya kaya!! Ayah saya, paman saya, semuanya direktur.." ucapan Marisa langsung dipotong oleh Aditya, "Ya,ya,ya.. mau menunjukan kualitas unggulan? kamu ini terdengar seperti mau melelang sapi tau tidak Marisa? saya tidak butuh sapi saat ini!!! Dan asal kamu tahu, Raissa jauh lebih baik dari kamu dilihat darimanapun. Tapi memang sulit membandingkan Raissa dengan sapi.. beda kelasnya.. maaf saya tidak adil padamu soal itu, tapi.. apa yang adil di dunia ini?" kata Aditya. "Kamu jahat!! kata Marisa mulai menitikkan air mata. "Baru tahu?" balas Aditya. "Begini! Sekarang juga katakan apa rencana ibuku yang kamu tahu terhadap Raissa? cepat katakan!!!" kata Aditya. Marisa teringat ancaman Dewi. Ia langsung ketakutan dan menggelengkan kepala. Aditya melihat sinar ketakutan dimata Marisa. Ia langsung menebak kalau Marisa diancam ibunya. "Dengar ya Marisa, ibuku mungkin mengancam akan membunuhmu.. tapi menurutku itu adalah bentuk belas kasihan ibuku padamu! kalau aku tidak akan membunuhmu,.. aku akan membuatmu menderita!! Kamu tidak akan bisa resign dari kantor ini. Aku akan membuatmu mempunyai hutang di kantor ini yang harus kamu lunasi seumur hidupmu atau kamu membusuk dipenjara. Bukan itu saja, aku akan merusak semua bisnis keluargamu sehingga keluargamu yang kamu banggakan itu akan tidak mempunyai uang sepeserpun untuk menolongmu. Dan jabatanmu disini akan kuturunkan, jangan harap upahmu naik, lupakan bonus!" Ancam Aditya. "Kau lebih kejam dari ibumu!" seru Marisa marah dan ketakutan. "Aku belajar dari ahlinya, guru kencing berdiri, murid kencing berlari! Katakan rencana ibuku dan kau akan aman!" seru Aditya kembali menggebrak meja. "Tapi...tapi..."Marisa masih merasa ragu. "Dengar Marisa, sepertinya kamu masih menyayangi nyawamu. Kalau kamu masih belum bicara juga, aku tetap akan bilang pada ibuku kalau kau yang melaporkan padaku, sehingga ibuku tetap akan membunuhmu juga.. dan bukan hanya sampai disitu saja, keluargamu juga akan kuhancurkan. Bagaimana pilihanmu?" kata Aditya dengan nada rendah. "Jangan ganggu keluargaku, mereka tidak bersalah!!" pekik Marisa. "Semua ada ditanganmu Marisa!" seru Aditya. Marisa malah menangis tersedu-sedu. "Gadis manja! air matamu tidak akan membuatku berubah pikiran!!" pikir Aditya. Hampir dua puluh menit berlalu tapi mereka tidak maju kemana-mana. Aditya mulai frustasi mencoba membuat Marisa bicara. Sedangkan Marisa merasa hancur, hatinya sakit, reputasinya rusak Dimata Aditya, apapun yang ia lakukan tak akan mengembalikan citranya di depan pujaan hatinya itu. Harapan untuk bersanding dengan Aditya pupus sudah. Marisa tidak ingin dicap sebagai orang jahat. Entah bagaimana kini ia terperangkap dalam peran orang jahat bersama Dewi ibu Aditya. Aditya berdiri dan berjalan ke tepi jendela. Ia mengingat ketika gadis itu interview. Aditya sudah tidak ingin merekrutnya. Marisa mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi dan sesuai, tetapi perilakunya minus di mata Aditya. Bu Tari lah yang membela Marisa. Bu Tari mengatakan kalau Marisa bisa diarahkan, dia masih punya hati nurani. "Hati nurani, baiklah.. itu yang akan kumanfaatkan!" pikir Aditya.

"Marisa.." panggilan yang lembut dari Aditya membuat Marisa mendongak dan menghentikan tangisnya. Ia melihat Aditya mendekatinya dan berbicara lembut padanya. "Dengar.. aku tahu sebenarnya kau adalah wanita yang baik.. maka Lakukanlah apa yang benar." kata Aditya lirih sambil menatap Marisa lekat. Jantung Marisa berpacu, ia kembali menatap Aditya dengan air mta masih mengalir. "Kau tahu? waktu kau interview dulu, aku sudah ingin mencoretmu dari daftar kandidat, tapi kau tahu siapa yang membelamu?" tanya Aditya lembut. Marisa menggeleng. "Bu Tari! Tahu apa yang dia bilang? Dia bilang kau masih punya hati nurani, tidak seperti kebanyakan gadis kaya dan manja yang ingin melamar kemari. Buktikan padaku bahwa Bu Tari benar Marisa! Apakah bu Tari benar?" Tanya Aditya masih dengan nada lembut. Tak lama kemudian Marisa meleleh. "Ma.. maafkan aku Aditya, aku..aku tidak tahu setan apa yang merasuki.. aku membantu ibumu mencari tahu alamat Raissa.. perjalanan itu tidak membuahkan hasil, orangtua Raissa tidak termakan suap ibumu. Diperjalanan pulang, ibumu menelepon seseorang yang bernama Roy untuk mencari pembunuh bayaran. Setahuku dari apa yang kudengar, si pembunuh meminta waktu tiga hari untuk persiapannya. Sudah hanya itu saja yang kutahu. Lalu ibumu mengancamku kalau sampai ada orang lain yang tahu. Tolong aku Aditya!" Marisa ingin memeluk Aditya, tetapi Aditya bergerak dan kembali duduk dibelakang mejanya. Wajahnya kembali tak terbaca. "Jangan khawatir, aku akan menghentikan ibuku. Terimakasih karena kau telah mengambil langkah yang benar Marisa. Sekarang kau boleh kembali bekerja, bilang saja kau habis dimarahi habis-habisan karena proyekmu amburadul." kata Aditya. "Tapi bagaimana dengan nyawaku bila ibumu tahu.." tanya Marisa. "Tenang saja, masalah ini akan selesai bahkan sebelum pembunuh itu siap beraksi! Terimakasih atas waktumu Marisa, sekarang tinggalkan aku sendiri, masih banyak yang harus kukerjakan." kata Aditya mengusir Marisa. Marisa bangkit berdiri linglung dan merasa diperdaya. "Marisa!" seru Aditya. Marisa berbalik berharap Aditya kembali berlaku lembut padanya. "Jangan pernah panggil nama depanku lagi. Kamu bukan orang yang dekat denganku, kamu adalah anak buahku. Pergunakan panggilan yang pas!" kata Aditya. Muka Marisa memerah. "Baik Pak, permisi!" lalu Marissa buru-buru keluar dan berlari ke mejanya dimana ia menangis tersedu-sedu disana. Lira dan Eki yang mengira Marisa habis dimarahi hanya bisa menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkannya.