webnovel

Hampa

Sudah seminggu, Anggun murung dan mengunci diri di kamarnya. Ia membuat jadwal keartisannya berantakan. Banyak kontrak pekerjaan yang ia mangkir. Terpaksa papanya lah yang harus membayar pinalti karena pembatalan kontrak kerja.

"Anggun … papa rasa, kamu sudah besar dan tahu mana yang menjadi tanggung jawabmu. Rasa sedihmu tak bisa dijadikan alasan untuk mangkir dari setiap kontrak kerja. Mamamu pasti akan sedih melihatmu seperti ini. Life must go on, sweatheart … "ucap papa Adhy, datar.

Suasana meja makan selalu datar semenjak kepergian mama Anggun. Namun tidak pagi ini. Anggun ikut bersantap sarapan bersama papanya. Sudah dua hari ke belakang, Anggun mau bergabung makan satu meja dengan papanya. Sebelumnya, Anggun sama sekali tak mau makan. Berkat bujukan Frans, akhirnya Anggun mau keluar dari kamarnya.

"Sayang … sudah tiga kontrak kerja yang kamu batalkan dan papa harus membayar pinalti itu semua. Bahkan kamu juga tak melanjutkan perjuangan mamamu menjadi penyanyi terkenal di ibukota. Jadwal kontesmu juga kamu lalui begitu saja. Apa yang ada di pikiranmu, sayang? Kamu tidak bisa terus menerus terpuruk," tanya papa Adhy lagi.

Anggun hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya. Seolah ucapan papanya hanya sebatas angin lalu yang melewati kedua telinganya.

"Baiklah … papa tidak bisa terus menerus memaksamu untuk mengambil kontrak kerja yang akan datang, papa masih mentolerir kesedihanmu hingga seminggu ke depan. Tapi papa harap kamu segera mengambil sikap dewasa dan bertanggung jawab atas semua komitmen yang sudah dibuat. Ingat ini, Anggun! Ada banyak orang yang tak seberuntung kamu dalam hal karir," ucap papa Adhy.

Papa Adhy menyeruput cangkir kopinya hingga tandas. "Oh iya, jam sebelas siang papa harus terbang ke Jogja. Mungkin papa akan berada di sana selama lima hari. Semua keperluanmu akan diurus oleh bibi Imah dan Frans, kamu tinggal bilang saja. Oke, papa berangkat ke kantor sekarang, ya … " papa Adhy lantas bangkit dari duduknya dan mendekati putri semata wayangnya lalu mencium pucuk kepalanya sebelum beranjak pergi.

Tuan Adhyaksa adalah sosok laki-laki yang pekerja keras. Baginya waktu adalah segalanya. Tak pernah sekalipun ia melewatkan berbagai peluang yang datang sehingga perusahaannya berkembang pesat. Di awal, perusahaannya hanya menaungi hitungan jari para model, tapi karena ketekunannya dan kecermatannya dalam melihat kesempatan, kini ia telah memiliki ratusan talent model dan artis. Anggun bisa saja, ia terbitkan sebagai artis papan atas ibukota tanpa bersusah payah, tapi bagi papa Adhyaksa pengalaman adalah guru yang terbaik untuk membentuk kesuksesan seseorang. Oleh Karena itu, Anggun harus merasakan dulu bagaimana menjadi artis dari level bawah.

Anggun melepas sendok garpunya kasar hingga bunyi "klang" akibat benturan sendok besi dengan piringpun terdengar nyaring. Ia mendorong piringnya ke tengah meja.

"Bosan … " gumamnya.

Ia lantas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Semua icon media social ia jelajahi. Tak ada yang membuatnya terhibur. Lalu ia menekan tombol panggilan. Nama Shasha- lah yang terpilih untuk ia hubungi.

Dering sambungan masih terus terlantun dari ponsel Anggun.

"Ck … gak diangkat. Ke mana sih nih anak?!" keluhnya.

Anggun mencoba menghubungi kembali tapi masih saja tak diangkat oleh si pemilik nomor.

"Sebaiknya aku langsung saja ke rumahnya," gumamnya lantas bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya.

***

"Mau ke mana Nona?" tanya seorang wanita paruh baya sopan.

Anggun sudah berdandan rapi dan cantik. Ia bahkan sudah menenteng kunci mobil di jarinya.

"Aku mau pergi ke rumah Shasha, bi. Mungkin pulang larut malam," ujar Anggun santai sambil melengos melewati wanita paruh baya di hadapannya yang tak lain adalah asisten rumah tangga di keluarga Adhyaksa.

Belum juga langkah Anggun melewati pintu depan rumahnya, tiba-tiba saja Frans datang dari arah luar. Hampir saja mereka bertabrakan jika saja Frans tak gesit menghindar.

"Mau ke mana, Anggun?" tanya Frans spontan. Ia memindai dandanan Anggun dari atas rambut hingga bawah.

Anggun mengenakan kaos pendek dengan model "hole" yang menampakkan bahu mulusnya berwarna putih dan celana jeans sobek di lututnya. Rambut panjangnya ia gulung ke atas menggunakan kuncir rambut warna hitam. Dandanan yang sangat sederhana dengan tas selempang kecil di bahunya dan sepatu kets warna hitam kesukaannya tapi mampu memukau mata Frans.

'Cakep bener, dah!' batin Frans memuji kesempurnaan dari kecantikan Anggun.

"Aku mau hang out sama Shasha," sahut Anggun singkat.

"Biar aku antar, kamu ya?" ujar Frans menawarkan diri pada Anggun.

"Gak usah! Aku bawa mobil sendiri!" tukasnya pongah sambil memamerkan kunci mobil di depan wajah Frans lalu melengos melewati Frans.

Frans dibiarkan berdiri tak bergerak. Jika Anggun sudah berkehendak, maka tak ada lagi yang bisa membujuknya bahkan papanya sendiri. Anggun lantas menyalakan tombol alarm pada kunci yang ia pegang hingga bunyi "tiin" dari mobilnya menyala.

***

Frans menatap gambar seorang gadis kecil di ponselnya lekat-lekat. Gadis berkuncir dua dengan memakai dres warna warni nampak sangat bahagia di sebuah pesta ulang tahun. Krim kue ulang tahun yang mencoreng wajahnya tak membuat wajah cantiknya berkurang.

"My little girl … " gumam Frans pelan.

Jam di dinding ruang tamu berdentang sebanyak sebelas kali. Jam sebelas malam. Ia masih menunggu Anggun pulang. Raut wajah Frans lantas berubah menjadi sangat cemas.

"Anggun pergi ke mana? Jam segini, belum juga pulang. Mana hapenya kagak aktif. Udah ditelponin dari tadi tapi belum nyambung juga," gumam Frans dengan logat Betawinya yang kadang keluar saat sedang ngomong sendirian.

Tiba-tiba saja telepon rumah berdering. Langsung saja Frans bergegas mengangkat telpon yang terletak di ruang tengah.

"Halo?" sapa Frans.

" … "

"Oke, tunggu di sana aku segera berangkat sekarang." Frans meletakkan gagang telepon dengan gusar.

Frans langsung menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja ruang tamu. Langkah panjang dan cepat ia lakukan bahkan sedikit berlari ke luar rumah. Seolah takut terjadi sesuatu pada Anggun.

"Semoga, aku tak terlambat," lirinya sambil menyalakan mesin mobil.

"Anggun … kamu ngapain sih pergi ke tempat itu. Belum dua puluh empat jam di tinggal papamu ke luar kota, malah udah bikin ulah. Bisa diamuk tuan Adhyaksa kalau kayak gini. Mampus gue!" umpat Frans.

Tangannya sibuk memutar balikkan setir. Padangannya tajam mengarah ke luar kaca mobil. Kakinya bergantian menginjak pedal gas dan rem. Mobilnya melaju bak tengah dikejar oleh hantu. Bahkan berulangkali tubuhnya harus terlonjak dari kursi lantaran melompati polisi tidur dan jalanan yang rusak.

"Yaelah! Ini jalanan kok kagak ada bagus-bagusnya dah," maki Frans kesal.

Malam hari di ibu kota tak membuat laju mobil Frans ngebut. Justri semakin malam, ibukota malah sangat terasa hiruk pikuknya. Banyak manusia yang berkeliaran saat malam mencari rejeki dengan menjajakan serba-serbi makanan khas malam hari, hingga tak ketinggalan juga mereka yang mencari hiburan dan kesenangan.

Jalanan yang di lalui oleh Frans adalah jalan pintas untuk menjemput Anggun agar lebi cepat sampai. Tadi yang menelpon adalah Shasha yang mengatakan bahwa saat ini Anggun tengah "hangover" akibat berlebihan mengonsumsi minuman beralkohol. Frans sangat syok, karena sepanjang ia bekerja di keluarga tuan Adhyaksa, Anggun tak pernah sekalipun mengenal dengan minuman keras atau sejenisnya.

"Semoga Anggun kagak nape-nape." lirih Frans.