2 Bocah Pemulung

7 tahun yang lalu …

Hujan deras masih saja mengguyur pinggiran kota Jakarta. Langit nampak gelap gulita meski baru saja pukul 4 sore hari. Sesekali cahaya kilat menerangi cakrawala diiringi suara gemuruh guntur saling bersahutan. Seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun tengah mengacak-acak tempat sampah di sebuah komplek perumahan. Baju yang menempel di badannya sudah basah kuyup oleh guyuran hujan. Meski begitu, hujan tak membuat surut semangatnya mencari sesuatu di bak sampah.

"Cari apa dek?" tanya seorang bapak. Bocah itu seketika menghentikan kegiatannya dan menoleh ke sumber suara.

Seorang bapak bertubuh tegap dan berdandan necis layaknya seorang pejabat perlente. Si bocah memindai penampilan si bapak dari atas rambut sampai ke bawah. Ia menduga bahwa bapak itu pastilah orang kaya. 'Jam tangan itu pasti mahal,' batinnya.

"Aku nyari sisa kemasan plastik minuman pak," jawabnya sambil menyeka air hujan yang mengucur dari dahinya.

"Botol plastik? Buat apa?" tanya si bapak antusias.

"Ya, buat dijual dong, pak!" tukasnya tak kalah antusias.

"Kamu gak kedinginan hujan-hujanan? Nanti sakit loh," ujar si bapak.

"Udah biasa, pak! Selow ... " ucapnya pongah.

"Kamu masih sekolah?" tanya bapak itu lagi sambil menyodorkan payungnya agar si bocah tak kehujanan.

"Aku gak sekolah, pak. Gak ada uang," terangnya polos. Kali ini kegiatannya terhenti total karena si bapak mengajak si bocah bernaung di bawah salah satu teras rumah yang belum berpenghuni.

"Kamu tinggal dengan siapa?" tanya bapak itu penasaran.

"Aku sendirian, pak." Nampak raut sedih di wajahnya ketika menjawab.

"Loh kok sendirian? Memangnya orang tuamu ke mana?" tanya si bapak antusias.

"Aku gak pernah tau bapakku dari aku kecil. Ibuku kemarin meninggal karena sakit," ujar si bocah.

"Maaf ya, dek. Bapak malah jadi membuatmu sedih. Oh, iya. Rumahmu di mana? Jauhkah?" tanya si bapak penasaran.

"Gak terlalu jauh. Palingan jalan bentar juga sampai," jawabnya. Tangannya sambil mengisyaratkan jalan menuju rumahnya.

"Boleh bapak ikut pulang ke rumahmu?" tanya si bapak memastikan bahwa si bocah berkata jujur.

Si bocah nampak berpikir. Ia ragu menjawab pertanyaan si bapak.

"Boleh sih ... eh tapi, emangnya bapak mau ngapain ke rumahku? Rumahku jelek," jelasnya malu-malu.

"Enggak ada apa-apa. Bapak cuma mau mampir saja. Kebetulan bapak juga sedang menunggu jemputan sopir bapak, jadi boleh 'kan bapak mampir ke rumahmu?" tanya si bapak.

"Boleh aja sih, yuk!" ajaknya penuh semangat.

Si bocah berjalan di depan memandu si bapak dengan penuh sukacita. Ia merasa senang karena ada orang yang ingin mampir ke rumah kumuhnya. Saking senangnya, ia tak memedulikan guyuran air hujan di atas kepalanya. Ia bahkan menolak tawaran payung dari si bapak.

Hanya butuh waktu sepuluh menit berjalan kaki, akhirnya mereka tiba di pinggiran sebuah sungai kecil atau lebi tepatnya disebut dengan kali. Di sana nampak beberapa rumah kumuh tak layak huni bertengger di pinggiran kali kecil. Salah satunya adalah milik bocah itu.

"Nah, kita udah sampai, pak!" ujar si bocah sumringah sambil mempersilakan si bapak masuk ke dalam gubuknya.

Si bapak nampak mengedarkan pandangannya ke sekitar area sungai. Rumah yang dikatakan oleh bocah itu ternyata bukanlah sebuah rumah yang terbentuk dari semen dan bata layaknya tembok-tembok pada umumnya, melainkan kayu-kayu yang diikat dengan tali tambang bahkan triplek yang sudah usang dengan alas masih tanah. Beruntung, atapnya masih menggunakan genteng sehingga air hujan tak langsung mengguyur penghuni bangunan itu. Meski begitu, masih ada titik-titik air hujan yang menerobos masuk dari sela-sela tumpukan genteng yang tak rapat.

"Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?" tanya si bapak setelah mencari tempat nyaman untuk duduk.

"Entahlah ... dari aku kecil, aku sudah ada di tempat ini. Aku gak tau tempat lahirku di mana," celotehnya.

"Oh iya ... sampai lupa. Kenalin, nama bapak Adhyaksa," ujarnya sambil menyodorkan tangan kanan ke depan wajah si bocah.

"Eh, iya ya ... sampai lupa kenalan. Namaku Prandi," ucapnya sambil menyambut tangan si bapak.

"Prandi? Nama yang unik, tapi sulit kuingat," gumam si bapak.

"Apa pak? Tadi bapak bilang apa?" tanya si bocah sambil mendekatkan telinganya pada si bapak. Suara titik-titik air hujan yang jatuh di atas seng rumah si bocah membuat suara gaduh di antara mereka.

"Oh, tidak apa-apa. Bapak hanya bergumam biasa saja. Oh iya, ini kartu nama bapak. Kamu simpan baik-baik ya ... " ujar si bapak sambil menyodorkan selembar kartu nama yang ia ambil dari saku kemejanya.

Si bocah menerima dengan raut wajah bingung. 'Buat apa'an ini kartu?' batinnya.

Cukup akrab mereka mengobrol hingga nada pesan dari ponsel si bapa berbunyi. Ia lantas membuka ponsel layar sentuh itu. Si bocah nampak kagum melihat benda canggih yang dimainkan oleh si bapak. Hingga decakan kagum tak bisa ia tahan.

"Baiklah, kalau begitu ... bapak pamit dulu. Lain waktu bapak mampir ke sini lagi," ujar si bapak setelah membaca notif yang masuk di ponselnya.

"Oh, iya pak. Terima kasih udah mampir ke rumahku. Hati-hati, pak" serunya sambil mengantarkan si bapak ke luar dari gubuk miliknya lalu melambaikan tangan setelah si bapak agak menjauh.

***

Seminggu setelah pertemuannya dengan bapak gagah itu. Prandi melakukan aktivitas kesehariannya seperti biasa. Pagi hari mengantarkan pesanan koran ke beberapa rumah langganannya dan sore hari mencari sisa-sisa botol plastik di tempat-tempat sampah yang ia lewati untuk disetorkan pada pengepul yang kemudian ditukar menjadi lembaran rupiah receh. Uang yang ia kumpulkan untuk biaya makannya sehari-hari. Tak lupa ia sisihkan juga untuk menabung. Entahlah tabungannya untuk apa, yang pasti ia ingin punya uang banyak.

"Pran! Pran! Woi! Ada yang nyari elu, noh!" suara lantang dari teman sepermainan Prandi mengejutkan Prandi yang tengah meletakkan karung berisi sampah plastik hasil ia kumpulkan seharian.

"Halo, Fran ... " ucap seseorang yang suaranya sudah pernah ia dengar di telinganya.

Prandi menoleh ke sumber suara. Rupanya si baak yang seminggu lalu mampir ke rumahnya, datang mengunjunginya lagi.

"Eh, pak Adhy ... " senyum bahagia langsung mengembang menghiasi wajahnya.

"Mari masuk pak ... " ajaknya sopan.

"Gak usah. Biar di luar saja," tampik si bapak lembut.

"Ada perlu apa ya, pak? Apa ada barang bapak yang ketinggalan di rumah saya?" tanya Prandi bingung.

Bapak itu terdiam cukup lama. Prandi semakin kebingungan pasalnya si bapak tak juga menjawab pertanyaannya.

"Apa aku punya salah sama bapak?" tanyanya lagi. Prandi mencoba mengingat-ingat lagi kejadian terakhirnya bertemu dengan pak Adhyaksa.

'Kayaknya aku gak punya salah, deh.' batinnya meyakinkan diri.

Setelah cukup lama hening. Akhirnya pak Adhyaksa melontarkan kalimat yang membuat si bocah tercengang.

"Yang bener, pak?! Aku mau!" serunya kegirangan.

"Iya, kamu bisa ikut denganku dan bekerja denganku. Tapi kamu tidak tinggal di dalam rumahku karena aku punya anak perempuan. Oh, ya dan satu lagi. Mulai hari ini, namamu adalah Frans."

Pak Adhyaksa menjelaskan tujuannya berkunjung kedua kalinya ke tempat tinggal Prandi adalah untuk mengambilnya sebagai penjaga sekaligus teman bermain untuk anak perempuannya. Pak Adhyaksa sebenarnya sudah memantau Prandi jauh sebelum pertemuannya saat hujan seminggu yang lalu. Ia menganggap Prandi sudah lulus penilaiannya sebagai bodyguard Anggun.

"Kamu bisa membawa benda yang menurutmu sangat penting saja. Untuk apakaian dan lainnya, sudah disediakan di tempat barumu nanti," terang pak Adhy saat Prandi mengemasi barang-barangnya.

Prandi akhirnya hanya membawa toples plastik berisi uang tabungan hasil dari menukar sampah plastik dan upah mengantarkan koran.

avataravatar
Next chapter