Hari telah berganti hari. Beberapa pekan pun telah terlewati. Tapi semua itu terasa berjalan lambat bagi Ratri. Usia kandungan Ratri pun semakin menua mendekati hari perkiraan lahirnya. Dan kejadian-kejadian misteri yang selalu menyertainya membuat dia semakin gelisah dan semakin membuat celah di pikirannya.
Haruskah aku menerima tawaran Simbok untuk menebus kesalahanku dengan melaksanakan kembali tradisi bancakan dan sesajen? Apakah semua gangguan lelembut tersebut akan berakhir dengan cara itu?
Ratri kembali teringat pada Nenek Bongkok yang mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Dia meminta dirinya! Ratri semakin takut karena menduga lelembut itu akan mencari tumbal atau akan mencelakainya jika dia tidak mau memberikan sesajen padanya.
Tapi bagiku sesajen itu akan membuatku tergantung terus pada lelembut dan mengesampingkan kekuasaan Gusti Alloh. Hal ini bertentangan dengan prinsip dan keyakinan hidupku selama ini. Ratri berada di persimpangan logikanya.
***
Akhir pekan ini Ratri minta ijin istirahat sehari dari pekerjaan mengajarnya. Dia duduk termangu sendiri di kursi ruang makan. Di depannya terdapat gelas yang masih berisi susu hangat. Dipegangnya gelas tersebut. Dipandanginya dan seteguk demi seteguk diminumnya sambil menghela nafas panjang untuk meredam rasa gelisahnya.
"Simbok perhatikan dari tadi kamu sepertinya gelisah terus. Ada apa, Nduk?" tanya Mbok Sum. Ratri tetap diam dan hanya memandang Simboknya sambil mencoba sedikit tersenyum.
"Apa ada masalah dengan kandunganmu?" lanjut Mbok Sum. Ratri hanya menggeleng.
Pandangannya kembali menatap gelasnya yang masih tersisa susu hangat setengahnya. Kedua tangannya memegang gelas itu dan perlahan-lahan memutarnya. Pikirannya pun ikut berputar. Dia ragu apakah harus menceritakan kegelisahan hatinya selama ini pada simboknya. Tentang kejadian misteri yang telah dialaminya juga keraguan tentang bancakan dan sesajen yang harus ditepatinya.
"Ayo, Nduk, cerita pada Simbok. Mungkin Simbok dapat membantumu," bujuk Mbok Sum sambil mendekat ke samping Ratri dan memegang pundak kanannya.
Ratri menoleh dan menatap Mbok Sum dalam-dalam. Mereka beradu pandang cukup lama seolah-olah ingin mengetahui isi hati masing-masing. Ratri merasakan ada keanehan dalam tatapan mata Mbok Sum. Hatinya menjadi gelisah dan anak dalam kandungannya ikut bergerak-gerak seakan ikut merasakan kegelisahan hati ibunya. Ratri memegang perutnya dan membelai lembut untuk menenangkannya.
Anakku ... kenapa kamu, Nak? Apakah kamu juga merasakan kegelisahan ibumu? Ratri mengalihkan pandangan matanya ke bawah sambil memandangi perut besarnya.
Dia teringat kejadian waktu di kelas dan di kamarnya saat terdengar bunyi senandung seorang anak perempuan. Saat ini anak dalam kandungannya juga bergerak-gerak seperti waktu itu. Ratri tak habis mengerti mengapa tatapan mata Mbok Sum memberikan pengaruh yang sama pada anak dalam kandungannya.
Anak kecil dan Nenek Bongkok itu lelembut, sedangkan Simbok manusia biasa seperti diriku. Aku merasa memang ada yang tidak wajar pada diri Simbok. Dia membenarkan apa yang menjadi kecurigaan suaminya. Kembali Ratri memandangi wajah Mbok Sum yang masih terlihat awet muda dan cantik.
"Mbok, apakah ibu juga secantik Simbok?"
Mbok Sum tersenyum. "Ibumu lebih cantik, seperti kamu, Nduk. Bukan seperti Simbok." Mbok Sum mengambil kursi kemudian duduk di dekat Ratri.
"Kalau aku seperti ibu ... berarti ibu seperti Simbok." Ratri memegang kedua tangan Mbok Sum sambil tersenyum. Mbok Sum hanya diam sambil memandangi Ratri. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Tapi Ratri tidak begitu memperhatikannya bahasa tubuh Simboknya.
"Mbok, aku kangen sama ibu. Kenapa begitu cepat meninggalkanku. Aku lupa-lupa ingat wajahnya." Ratri menghela napas panjang.
"Lha iya, waktu ibumu meninggal kamu seumuran Ayu." Pandangan mata Mbok Sum menerawang jauh mengingat-ingat kenangan bersama ibunya Ratri.
"Simbok juga jadi kangen sama anaknya Mbakyu Semi itu." Tanpa sadar Mbok Sum menyebut nama nenek kandung Ratri yang selama ini disembunyikannya. Ratri pun terkejut mendengarnya tetapi tetap berusaha untuk tenang.
Mbakyu Semi? Simbok menyebut ibu sebagai anak dari Mbakyu Semi bukan anak dari Simbok? Ratri berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya.
Siapakah sebenarnya Simbok? Kenapa ayah tidak pernah cerita tentang Simbok? Ratri menatap dalam-dalam Mbok Sum seolah-olah ingin mengurai dan menelusuri kembali ingatan-ingatan Mbok Sum tentang ibunya.
"Nduk," kata Mbok Sum kembali memandang Ratri, "gimana, kamu sanggup to melaksanakan janjimu untuk melanjutkan bancakan dan sesajen yang telah lama Simbok lakukan?" Ratri masih diam dan tetap menatap mata Mbok Sum. Kembali anak dalam kandungannya bergerak-gerak. Dia teringat pada Nenek Bongkok yang akan meminta dirinya.
"Mbok, apa ada lelembut lain selain ular tunggon?" tanya Ratri mengalihkan pertanyaan Mbok Sum.
"Memangnya kenapa, Nduk? Kamu diganggu lelembut lagi? Itu karena kamu tidak mau menuruti kata-kata Simbok!" Mbok Sum menatap tajam pada Ratri.
Ratri hanya bisa mengangguk pelan karena menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di perutnya. Pandangan mata Mbok Sum seperti memberikan sugesti mistis pada Ratri. Hingga kandungannya terasa sakit kembali seperti ada sesuatu yang melilit pada perutnya. Lilitan itu semakin kencang sehingga semakin terasa sakitnya. Rasa ragu dan rasa takut akan kejadian-kejadian mistis yang telah menimpanya membuat Ratri tidak bisa berpikir logis kembali. Apa yang dilihat di hadapannya menjadi sebuah halusinasi luar biasa yang menguasai pikirannya. Ular tunggon itu kembali muncul dan terlihat melilit di perutnya. Dan bayangan Nenek Bongkok berulang kali silih berganti menjelma pada diri Mbok Sum.
"Kamu harus ikut Simbok dan menyerahkan bayimu padaku!" Tiba-tiba suara Mbok Sum berubah serak dan berat seperti suara Nenek Bongkok. Ratri begitu terkejut mendengar perubahan suara itu. Dia berusaha keras melawan halusinasi yang telah membelenggu pikirannya.
"Mbok, apa yang telah terjadi padamu? Apakah bayiku akan dijadikan tumbal? Bukankah Simbok telah membuat bancakan dan memberi sesajen untuk baurekso?" Ratri sedikit menggeser kursinya ke belakang sambil memegangi perutnya.
"Kamu sendiri yang harus membuatnya dan memberikan sesajen itu! Karena itu kesalahanmu sendiri," kata Mbok Sum dengan suara aslinya.
"Kamu harus datang padaku membawa bayimu! Kamu harus datang ...!" Suara Nenek Bongkok kembali terdengar dari mulut Mbok Sum.
Ratri semakin merasakan sakit pada perutnya. Dia berusaha melawan halusinasi yang mencengkeram pikirannya. Dengan sekuat tenaga Ratri menolak sugesti dari Nenek Bongkok tersebut.
"Pergi kau, Nenek Bongok! Jangan ganggu aku dan bayiku!" Ratri memberanikan dirinya menatap tajam kedua mata Mbok Sum.
Terjadi adu pandang mata di antara keduanya. Aura mereka bertemu dan saling menyerang. Mbok Sum yang menjelma menjadi Nenek Bongkok berusaha memasukkan sugestinya pada Ratri. Rasa takut kembali menyelimuti jiwa Ratri. Dalam pikirannya hanya terbayang satu cara untuk mengakhiri dilema ini.
Aku akan mengakhiri semua ini. Aku akan menerima syarat yang diajukan oleh Mbok Sum. Aku harus melaksanakan ritual bancakan dan sesajen seperti yang telah dilakukan oleh Simbok.
Keyakinan dalam dirinya semakin melemah dan pikirannya hampir saja dikuasai oleh sugesti dari Mbok Sum. Di saat seperti itu tiba-tiba Ratri kembali merasakan gerakan bayi di perutnya. Gerakan-gerakan itu seperti berusaha melepaskan ikatan yang melilit perut Ratri.
Anakku ... Duh Gusti Alloh beri hambamu ini kekuatan.
Ratri merasa ikatan yang melilit perutnya semakin melemah. Dan gerakan bayinya seolah-olah mengirimkan getaran halus untuk memperkuat keyakinan Ratri. Keyakinan akan kekuatan dari Gusti Alloh telah memperkuat aura pada tubuh Ratri. Perlahan tapi pasti rasa takut dalam jiwanya luruh.
Getaran-getaran halus itu perlahan menjalar ke atas. Melewati dada, leher dan sampai di kepala Ratri. Matanya terasa sedikit panas dan terpancar cahaya lembut kuning keemasan. Pandangan matanya menjadi tajam dan meluncurlah cahaya itu bagaikan sepasang pisau belati menusuk kedua bola mata Nenek Bongkok. Nenek Bongkok tersentak dan mengerang kesakitan. Kemudian perlahan-lahan bayangan Nenek Bongkok menghilang dari wajah Mbok Sum.
"Gimana, Nduk? Kamu harus membuat bancakan sendiri agar tidak diganggu lagi oleh lelembut." Suara lembut Mbok Sum menyadarkan Ratri kembali dari halusinasi mistisnya.
"Simbok! Nenek bongkok! Lelembut itu datang dalam wujud seorang nenek bertubuh bongkok," kata Ratri gugup sambil memegang kedua tangan simboknya.
Mbok Sum menatap Ratri dalam-dalam. Dahinya terlihat berkerut mendengar Ratri menyebut lelembut Nenek Bongkok. Raut wajahnya berubah. Terpancar kegelisahan dari dalam hati Mbok Sum.
"Nduk, turuti saja permintaan Simbok, ya. Supaya lelembut-lelembut itu tidak mengganggumu lagi," pinta Mbok Sum.
"Sama saja, Mbok. Ada atau tidak ada bancakan dan sesajen itu, lelembut tetap akan menggangguku," kata Ratri pelan.
Ratri dan Mbok Sum kembali saling bertatap mata. Sepertinya mereka masih tidak bisa sependapat tentang masalah tersebut. Dan Ratri mulai menyadari adanya sosok yang lain dalam diri Mbok Sum. Sosok yang selama ini selalu memaksanya untuk melaksanakan ritual bancakan dan sesajen.
*****