Tak sedikit pun bisa ia mengenyahkan bayangan mencekam yang ia alami di tengah gelapnya kebun kopi. Nyaris saja dua iblis jahat yang tidak bernurani memerkosa dirinya. Ia sudah bisa membayangkan kalau itu benar-benar terjadi. Sungguh beruntung, pertolongan Allah melalui kakaknya datang di saat yang tepat. Sesaat berikutnya setelah kejadian itu merupakan kondisi yang sangat nyaman melegakan, yaitu saat ia dibonceng kakaknya pulang.
Hujan masih turun. Suara guntur sesekali terdengar. Siti keluar dari kamarnya, hendak mengecek kondisi Kakek Mihun. Rumah neneknya dan rumah Kakek Mihun bersebelahan. Lorong yang memisahkan dua rumah itu sudah diberi atap dan dinding, jadi dua rumah itu seperti menyatu. Siti melewati dapur, lorong yang sudah diberi atap, lalu masuk ke dapur rumah Nenek Husna. Kamar Kakek Mihun masih terang. Pintunya pun terbuka. Dari kegelapan dapur, Siti bisa melihat Faris sedang memijit kaki Kakek Mihun. Lelaki itu tampak seperti sedang bercerita pada kakeknya.
"Alhamdulillah Kek, selama di pesantren, Faris sudah khatam beberapa kitab. Utamanya adalah kitab yang menjadi bahan pengajian Kyai Shaliah. Benar kata Kakek dulu, beliau adalah seorang kyai yang sangat ikhlas. Terakhir, sebelum pulang, Faris mengkhatamkan kitab Tanwirul Qulub. Itu kitab tentang fiqih dan tawasuf sekaligus. Alhamdulillah, Faris dapat sanadnya kitab itu, Kek, dari Kyai Shaliah sampai ke penulisnya. Faris juga sudah khatam kitab Fathul Muin. Alhamdulillah. Oh ya Kek, Faris juga dikuliahkan oleh Kyai Shaliah, dan saat ini sedang menulis skripsi. Faris juga sudah KKN. Jika skripsinya selesai, maka Faris akan diwisuda menjadi sarjana, Kek. Tapi bukan sarjana agama. Faris kuliah di Fakultas Pendidikan, Jurusan Pendidikan Ekonomi. Ya, sebenarnya Faris ingin jurusan Syariah, tapi saat itu kampus yang menyediakan beasiswa adalah kampus swasta umum. Ketika Kyai Shaliah menawarkan pada beberapa santri senior dan khadim, semuanya pada menolak, kecuali Faris. Mohon doanya Kek, agar ilmunya nanti bermanfaat." Siti kembali ke dapurnya. Gadis itu memasak air panas dan menggoreng pisang. Ia lalu menyeduh kopi. Setelah itu ia meletakkan sepiring pisang goreng panas dan secangkir kopi di atas nampan, lalu membawanya ke kamar Kakek Mihun. Faris agak kaget melihat Siti datang. "Uda tidak tidur, ya?" "Nunggu shubuh sekalian."
"Ini untuk hangat-hangat badan, Uda. Tahunya masih panas.
"Terima kasih."
Siti lalu mengambil kursi dan duduk di dekat kepala Kakek Mihun. Faris masih memijit kaki kakeknya. Siti memijit bagian tangan.
"Dicicipi tahu gorengnya, Uda, nanti keburu dingin!"
"Iya."
Faris mencomot satu dan melahapnya pelan.
"Enak."
"Alhamdulillah."
"Kamu tidak tidur?"
"Biasanya jam segini memang Siti sudah bangun. Bahkan bisa lebih awal." |
"Menyiapkan dagangan?"
"lya. Siti buat tahu goreng, bakwan, dan tempe goreng. Habis salat Shubuh Siti jual di pasar pagi."
"Jalan kaki.?"
"Tidak. Biasanya diantar Lika."
"Lika putrinya Pak Slamet?"
"Iya." ,
"Karena Uda sudah pulang, nanti biar Uda yang antar jika kau perlu diantar. Tapi Uda berharap kamu tidak usah repot-repot jualan, biar uda nanti yang repot."
"Kita repot bersama-sama saja, saling membantu. Siti berharap kedatangan Uda ini menjadi wasilah kesembuhan Kakek Mihun. Entah bagaimana caranya."
"Semoga Allah memberikan kesembuhan."
"Aamiin."
***
Di siang itu, untuk pertama kalinya setelah hampir enam tahun tidak pulang, Faris berkumpul dan sarapan bersama keluarganya. Mereka bersantap siang di ruang tengah rumah Siti, dengan lesehan di lantai beralaskan tikar pandan. Siang itu Nenek Masna dibantu Siti memasak ayam kampung gulai ikan, makanan kesukaan Faris.
Pagi itu, usai memberikan keterangan terkait dua penjahat yang diamankan setelah dihakimi massa di perkebunan kopi di kantor polisi, Faris mengajak Siti untuk belanja di pasar. Ia ingin makan enak bersama hari itu. Selain membeli bahan-bahan untuk memasak ayam, mereka juga membeli bahan untuk membuat pandap. Pandap adalah pepes ikan dengan bungkus daun talas, makanan khas yang juga sangat Faris sukai. Ternyata Siti juga merasakan hal yang sama. Membuat pandap, maka Nenek Sulislah ahlinya.
Semuanya makan dengan lahap. Si kecil Titan paling banyak makannya, sampai tambah tiga kali. Faris senang sekali melihat cara makan bocah kecil yang sangat bergairah itu. Nenek Masna dan Nenek Sulis agak sedikit makannya. Siti menjelaskan, bahwa pagi itu kedua nenek kakak-beradik itu makan dua kali lebih banyak dari hari biasanya.
Usai sarapan, Faris membuka oleh-oleh yang ia bawa. Tampak beberapa jenis makanan khas Bukit Tinggi dari Bang Iqbal dan dari beberapa temannya. Tentu yang paling istimewa adalah bungkusan pemberian Kyai Shaliah yang dipilihkan oleh Bu Nyai. Dengan hati-hati Faris membukanya. Ia menemukan amplop di sana, berisi uang lima ratus ribu. Padahal Kyai sudah memberi amplop berisi uang, saat menitipkan amplop untuk Kyai Buyung dan Kyai Ujang. Ada beberapa pakaian yang masih ada bungkus plastiknya. Di situ sudah ada nama-namanya.
Pertama, satu stel baju koko untuk Titan. Siti langsung membuka bungkus plastiknya dan meminta Titan memakainya. Sedikit kebesaran, tapi boleh dikata pas. Anak kecil itu tampak merasa bahagia sekali. Lalu sepasang gamis dan jilbab untuk Siti. Gadis itu langsung meraih jilbabnya dan memakainya.
"Bagaimana menurut Uda?"
"Kalau pakai jilbab kau tampak lebih cantik." Siti tersipu.
Lalu ada kain batik mega mendung warna biru dongker dan kerudung biru untuk Nenek Masna dan Nenek Sulis. Dua kain itu harus dijahitkan menjadi baju yang pas untuk kakak-beradik itu. Terakhir ada baju koko putih gading untuk Kakek Mihun. Faris terhenyak. Kyai Shaliah membelikan baju koko untuk Kakek Mihun? Apakah kyainya itu tidak tahu kalau Kakek Mihun sedang sakit dan sudah tidak berdaya? Apa gunanya membelikan baju koko untuk kakek yang sudah dua bulan lebih terbaring koma?
Tiba-tiba ia teringat perihal surat Siti dan perihal dirinya yang diminta pulang oleh Kyai Shaliah. Kata-kata Kyai yang sangat menyayanginya itu kembali terngiang.
"Waktumu ngaji dan belajar di pesantren ini sudah khatam. Sudah saatnya kamu pulang ke Singgalang. Keluarga dan masyarakatmu saat ini sangat memerlukan kehadiranmu. Berkemaslah, dan besok pulanglah ke Singgalang!"
Ia bertanya kepada Siti, selain sepucuk surat itu, apakah Siti juga menelepon memberitahukan kondisi Kakek yang sakit kepada Pak Kyai atau pesantren? Siti menjawab tidak. Gadis itu beberapa kali berusaha menelepon ke pesantren tapi tidak bisa. Ia tidak punya akses untuk menghubungi pihak pesantren selain telepon pesantren yang sedang tidak aktif. Karena kegagalannya itu ia akhirnya menulis sebuah surat.
Faris bertanya kembali, apakah mungkin ada orang lain di Pondok Melati yang menghubungi pesantren, memberitahu kalau kakeknya sakit sehingga ia harus pulang? Siti menjawab bahwa ia yakin udak ada orang lain yang ...