Setelah Husna pulas, keharuan Faris menyebabkan ia tidak dapat berkata-kata. Mata pemuda itu pun berkaca kaca. Ia menyadari dirinya sedang ada di dalam kereta, duduk di samping putri bungsu Kyainya. Ia baru saja meninggalkan pesantren. Ia dalam perjalanan pulang. Inilah hidup, tidak ada yang tetap selamanya. Ia tidak mungkin terus tinggal dipesantren jadi santri sepanjang hayatnya. Matahari terus berputar pada garis edarnya. Bumi berputar pada porosnya. Siang dan malam datang dan pergi secara bergantian. Ia teringat nasihat Kyai Shaliah dalam salah satu pengajiannya. “Anak-anak muridku, dalam perjalanan mengarungi kehidupan dunia ini jadilah kalian orang-orang yang penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti seorang Musafir yang sangat rindu untuk segera bertemu keluarganya. Orang yang didera rindu untuk segera pulang, itu berbeda dengan orang yang tidak merasa rindu. Orang yang didera rasa rindu, tidak akan membuang waktunya dijalan, ia ingin cepat-cepat sampai untuk bertemu keluarganya. Bertemu dengan orang yang dicintainya. Sebaliknya, orang yang tidak merasa rindu, mungkin dia mampir di satu tempat dan berlama-lama di situ, sehingga banyak waktu yang terbuang sia-sia. Di dunia ini kita seperti Musaffir. Dunia ini bukan tujuan kita. Tujuan kita adalah Allah. Kita harus memiliki rasa rindu yang mendalam kepada Allah. Dan Allah akan membalas kerinduan itu dengan kehangatan kasih dan ridha-Nya yang tiada bandingannya.”