Butuh waktu 30 menit untuknya sampai di gedung apartemen milik dia dan suaminya, ia meluncur ke parkiran bawah gedung dan terdiam beberapa saat.
Sarah yang kalut hanya bisa mencengkram erat kemudi, kepalanya tertunduk dengan napas tercekat hebat. Lama Sarah merenunginya, kesalahan besar yang tak mungkin dibeberkannya tetapi, bagaimana bisa?!
Ada batu besar yang menghimpit dadanya, menekan tulang-tulang rusuk sampai terasa nyeri dan membuat napasnya sangat berat. Seseorang pernah mengatakan bahwa setiap orang pasti menyimpan rahasia. Entah itu memalukan, menyedihkan, atau terlalu membahagiakan untuk diumbar. Katanya, rahasialah yang menjadikan manusia adalah manusia. Atau manusialah yang menjadikan rahasia tetap rahasia. Sarah lupa mana yang benar. Dan sekarang dirinya pun ikut memiliki rahasia tergila.
Napasnya yang terhempas keras perlahan kembali normal, dinihari mendekati subuh membuat parkiran itu sangat sepi, ia menaruh rahasianya di sini, saat ini. Pikirannya kalut memikirkan resiko kalau Nandra mengetahuinya, biar. Biarkan saja saat ini dirinya menaruh harapan semu soal dosanya. Dosa mencoreng kertas kesetiaannya.
BRAKK!! Sarah menutup pintu mobil dengan kuat, sekaligus memberikan tenaga untuk kesiapan hatinya.
Tuk! Tuk! Tuk! Suara heels dari sandalnya menggema saat berbenturan dengan keramik menuju lift, ia menekan lantai 22 dimana unitnya berada. Dengan napas panjang mempersiapkan diri setidaknya ada waktu untuk mengatur kebohongannya.
Ting! Sampai sudah.
Kaki melangkah dengan tak gentar dengan wajah piasnya semakin terasa saat pasokan okisgen tiba-tiba menipis sepanjang dia menempelkan kartu di pintu unit mereka.
Cklek! Gelap.
Sarah mendesah lega dengan dugaan suaminya, Nandra sedang tertidur. Tak mungkin setelah lelah bekerja akan begadang hanya menungguinya.
Ctek! Sontak ruangan menjadi terang, iris coklat Sarah membesar dengan degupan jantungnya yang menggila, berdebar kencang sampai membuatnya tak nyaman, spontan sistem eksresi kulitnya memproses keringat dingin dengan cepat.
"Dari mana?" Suara dingin menyergap area pendengaran Sarah, ia bahkan mematung dengan Nandra yang berdiri di hadapannya dengan wajah datar dan tangan yang bersedekap.
"Ha-habis ngumpul ba-bareng temen," cicitnya.
Tangannya yang menggantung meremas sisi roknya.
"Apa kamu lupa sudah punya suami sampai tak memberi kabar? Ponsel kamu juga nggak aktif." Tandas Nandra sambil menatap penuh selidik istrinya yang pias.
"Hpnya… mati…" Napas Sarah tercekat, mencoba menahan kebohongannya yang sudah ia coba pendam.
"Jangan sampai itu terjadi lagi."
Nandra berbalik dan masuk ke kamar. Pintu yang berdebam membuat Sarah meluruh seketika. Lemas melandanya, tenaganya terserap banyak saat harus menjawab pertanyaan sidak dari Argan. Nandra sangat dingin saat marah membuatnya menjadi tersangka di ruang persidangan.
"Hah… hah…" Napas Sarah terhembus kencang dengan perasaannya yang lega, seolah batu besar itu hancur seketika.
Air matanya berada di pelupuk matanya sudah, matanya terasa perih dengan bibir bergetar, ia akan gila saat ini juga.
Perlahan, tangan Sarah mencari penyangga di laci sampingnya. ia mencoba berdiri dengan kaki yang tak mampu menopang dan tubuhnya goyah. Segera dilepasnya dengan kasar bajunya sampai ia tak memakai sehelai pakaianpun. Dilemparnya baju itu ke tempat sampah. Amarahnya seketika memuncak mengingat seringai yang diberikan Hyun Gi padanya, menantangnya dan akan jadi ancaman untuk pernikahan dirinya dan Argan.
Apa yang dimau laki-laki itu sampai-sampai meniduri dirinya yang sudah bersuami?!
Sarah tak habis pikir karenanya. Terlalu mengenaskan untuknya sekarang yang mengkhianati suaminya.
Ia mengenakan kaus dengan asal dan berbaring di sofa dengan meringkuk kedinginan sementara dirinya tak berani untuk tidur di samping Argan. Dalam sekejap ia merasa ada jarak karena ulah Hyun Gi, pemuda yang bahkan tak dikenalnya itu.
Kali itu, tidurnya sangat tak nyenyak, asap kabut tebal masuk ke dalam mimpinya sampai Sarah harus membalik tubuhnya berkali-kali karena tubuhnya merasa sangat panas, padalah AC ruangan sudah di titik maksimu terdingin.
Paginya Nandra keheranan melihat Sarah tertidur di sofa, ia menghembuskan napasnya dengan pelan, semalam marahnya menjadikan istrinya takut dan berakhir meringkuk di sofa.
Baru kali ini Sarah tak mengabarinya, bisa jadi memang karena istrinya itu lupa.
Nandra mengernyit saat melihat potongan baju tersungkur di bak sampah, itukan baju istrinya?
Ia mengernyit kebingungan, namun ia berlalu segera membuat sarapan tanpa merasa curiga pada istrinya sedikitpun.
Nandra memang terbiasa memasakkan sarapan untuk istrinya, dapat dikatakan istrinya payah soal dapur dan sangat bekerja keras sampai-sampai kelelahan, ia harus membujuk istrinya untuk berhenti mungkin.
Ponsel Nandra berdering, ia mengernyit melihat panggilan tersebut diprivatisasi. Nomor tersembunyi. Bahkan saat diangkat pun tidak ada suaranya. Dengan cepat Nandra menutup panggilan tersebut.
"Jahil amat sih!" dengusnya dengan kesal.
Aroma masakan sudah menyeruak ke indra penciuman milik Sarah, gadis itu terbangun setelah satu jam ia bisa tertidur dengan mimpi buruk yang menghantuinya.
Sarah terhenyak melihat punggung tegap Nandra di dapur, bagaimana bisa Nandra bersikap biasa-biasa saja setelah ia mengkhianatinya?
Nandra bersiul-siul memasak makanannya dengan santai, Sarah mengusap air matanya yang menetes, ia perlahan melangkah dan tangannya melingkari perut rata Argan.
"Loh? Udah bangun?" tanya Nandra dengan nada lembut.
"Heum…" Sarah tak berminat untuk panjang lebar mengucapkan selamat pagi.
Wajahnya ditempelkan di punggung tegap Nandra yang terasa hangat. Tiba-tiba air matanya kembali menetes dan tak bisa ditahannya sampai membasahi kemeja Argan.
"Maafkan aku…" seloroh Sarah dengan suara serak.
Nandra terhenyak, ia menegang mendengar kata maaf dari bibir istrinya. Ia tersenyum maklum, mungkin Sarah merasa bersalah, padahal kata maaf itu adalah maaf untuk suatu pengkhianatannya yang Sarah sendiri tak menyadarinya.
Isak tangis Sarah semakin membesar, membuat Nandra menghentikan sesi masak memasaknya, setelah dirasa punggungnya basah. Istrinya menangis dengan airmata penyebab banjir lokal.
Ia berbalik melihat wajah jelek Sarah yang menangis, hidung dan mata memerah dan jangan lupakan ingusnya yang saling berbalapan keluar bersama air mata yang mengalir.
"Ssst… I am not angry anymore, be calm darl…" bujuk Nandra sembari menarik lembut kepala Sarah dan menempelkannya di dadanya.
Mendengar kata-kata Nandra semakin membuat paku-paku rasa bersalah menancap kencang di dadanya. Sarah menangis meraung karenanya, katakana saja dia anak kecil oleh Argan, namun pria itu tak tahu apa yang sedang ditutupinya sampai-sampai tangisnya pecah.
Nandra malah tertawa mendengar tangisan Sarah yang semakin lama semakin mereda dan tergugu.
"Kamu pasti capek ya? Istirahat gih, ga usah kerja dulu," saran Nandra sambil menuntun Sarah duduk di sofa mereka.
Sarah yang masih sesenggukan tak bisa membalas ucapan Argan. Suaminya itu terlalu lembut untuk disakiti, Nandra yang sering mengalah dan Nandra yang sering menghiburnya saat ia lelah, bagaimana bisa ia mengkhianatinya.
Nandra kembali menyiapkan sarapan untuk mereka berdua sementara Sarah sedang meredakan tangisannya.