webnovel

Penjara Cinta Sang Presdir

[TAMAT] 21+ Harap bijak dalam membaca Vol 1* Haruna Azhar, gadis berusia tiga puluh tahun yang telah dikurung oleh seorang Presdir muda yang arogant. Saat pertama kali Haruna bertemu dengan sang Presdir, Haruna telah menyinggung perasaannya. Rupanya itu adalah awal penderitaan yang akan Haruna hadapi. Demi melindungi keluarganya, Haruna rela menjadi jaminan dan tinggal di rumah sang Presdir. Perlahan-lahan, sang Presdir mulai tertarik dan jatuh cinta. Apa Haruna bisa jatuh cinta pada Presdir? Di saat hatinya terus menerus terluka dan disakiti sang Presdir. Mungkinkah cinta dapat tumbuh di hatinya? Vol 2* vol2* Syahera telah membuka hatinya untuk Rendi. Namun, gadis itu tetap menolak ketika diajak menikah. Apa alasannya bisa diterima oleh Rendi? Di saat hubungannya dengan Rendi bermasalah, cinta pertamanya kembali hadir. Kenandra yang kehilangan ingatan, kembali dengan kenangan yang telah pulih. Ia kembali mengejar cinta Syahera. Siapa yang akan dipilih oleh Syasya untuk menjadi pendamping hidup? Simak ceritanya lengkapnya, masih di sini. Follow Instagram penulis @seka.r214 Facebook Sekar Laveina

Sekar_Laveina_6611 · สมัยใหม่
Not enough ratings
392 Chs

Godaan pagi hari

Mereka duduk di ruang makan. Haruna masih kesal karena semalam Tristan masuk ke kamarnya tanpa izin. Yang lebih membuatnya kesal adalah karena Tristan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Di saat ia tertidur pulas, Tristan meminta izin untuk tidur di sampingnya.

Haruna mengunyah roti itu sambil melirik tajam pada Tristan. Sementara orang yang bersangkutan justru tersenyum geli melihat lirikan Haruna. Membuat gadis itu semakin geram dan memarahinya.

"Berhenti tersenyum dan mengejekku! Dasar menyebalkan!" ucap Haruna sambil mengerucutkan bibirnya.

"Panjang banget tuh bibir! Minta di-kiss ya," goda Tristan.

"Tristaann!" teriak Haruna. Dia kesal sekali digoda oleh Tristan di depan orang banyak. Selain Bu Sin, Yuli, dan dua pelayan lain, di sana juga ada Levi yang sedang berdiri di samping Tristan.

Kemarin Tristan tidak datang ke kantor karena ingin menghadiri pembukaan cafe milik temannya. Meskipun akhirnya, mereka tidak jadi mencicipi makanan di cafe Jef. Namun, Tristan merasa senang, karena kemarin ia baru saja jadian dengan Haruna.

"Aku mau, kamu segera perbaiki pintunya! Aku gak mau kamu masuk sembarangan ke kamarku seperti tadi malam," ucap Haruna dengan ketus. Melihat senyum Bu Sin dan Levi, Haruna semakin malu. Ia pun pergi meninggalkan meja makan. Bu Sin menyusul Haruna ke kamarnya.

"Nanti, tolong kamu siapkan satu set meja kerja di ruanganku!" pinta Tristan.

"Baik, Tuan muda. Kalau saya boleh tahu, untuk siapa?"

"Haruna. Katanya jenuh di rumah terus. Jadi, aku mengizinkannya, tapi harus bekerja sebagai asisten pribadiku di kantor."

"Oh, begitu. Baik, akan saya siapkan, Tuan," jawab Levi. 

Mobil Tristan pun melaju, diikuti mobil pengawal di belakang. Pria arogan itu memang mempunyai banyak musuh karena itu kemanapun dia pergi, para pengawal itu selalu mengikuti dan menjaganya.

***

Vivi melamun di meja makan. Dia sangat mengkhawatirkan kakaknya. Bagaimana jika karena dirinya, Haruna yang menanggung akibatnya. Makanan di piringnya sama sekali belum tersentuh.

"Vi, kamu kenapa, Sayang?"

"Hah? Enggak kok, Ma. Vivi, berangkat duluan. Dah, Mama. Dah, Pa. Ponakan Tante, sun dulu, sini!"

"Emuah, dadah, Tante."

"Dah, Sayang." Vivi pergi bekerja lebih pagi hari ini. Jef mengajaknya untuk berbelanja terlebih dulu. Beberapa bahan makanan di cafe sudah habis. Pembukaan cafe kemarin lumayan ramai dan semua menu makanan yang mereka jual, laku keras.

Di depan gerbang rumah, Christian rupanya sedang menunggu Vivi keluar dari rumah. Vivi mengernyitkan dahi saat melihat Christian. Namun, Vivi ingat kalau kemarin dia meminta tolong pada Christian untuk membantu Haruna. Vivi segera berlari kecil menghampiri Christian. 

"Selamat pagi, Kak Chris," sapa Vivi.

"Selamat pagi, Vi. Kakak antar kamu ke cafe. Sekalian, Kakak ingin bicara sama kamu," jawab Christian. 

Chris membukakan pintu mobil untuk Vivi. Setelah Vivi duduk manis, Christian segera duduk dibalik kemudi dan mobil pun melaju pergi. Dalam perjalanan, Christian mulai menceritakan kejadian kemarin.

"Haruna baik-baik saja. Jadi, kamu tidak perlu khawatir," ucap Christian. Vivi merasa lega mendengar penuturan Christian. Dari kemarin, ia terus saja kepikiran dengan keadaan Haruna. "Kamu … tidak marah pada kakakmu, kan?"

"Tidak. Kakak punya alasan kuat melakukan hal itu, dan aku mengerti kesulitannya. Kak, berhenti!"

Ciitt!

Chris menginjak rem mendadak. Ia lalu mengedarkan pandangannya. Itu bukanlah parkiran cafe, tetapi pasar modern.

"Kenapa kita berhenti di sini?" 

"Kak Jef, menunggu di dalam pasar. Dia meminta tolong ditemani berbelanja. Kakak mau ikut ke dalam?"

"Tidak, terima kasih. Kakak harus ke kantor, bye, Vi." Christian melajukan mobilnya kembali setelah Vivi turun.

Mobil itu telah jauh dari pandangan Vivi. Ia tersenyum lalu masuk ke dalam pasar. Vivi berkeliling mencari toko yang Jef sebutkan dalam pesan singkatnya.

"Di sebelah mana? Kenapa susah sekali alamatnya?" gumam Vivi.  Sudah setengah jam lamanya dia berkeliling di dalam pasar. Ia bingung harus mencari toko itu ke mana lagi. Vivi berdiri mematung di tengah kerumunan orang yang berlalu-lalang. 

Dari arah belakang, ada seorang pria memakai jaket berwarna hitam sedang melangkah ke arahnya. Saat Vivi berbalik, mereka bertabrakan. Vivi terkejut dan memekik.

"Akh! Aduh hati-hati dong kalau jalan!" maki Vivi. Namun, ia segera meralat ucapannya. "Eh, Kak Jef. Aku kira siapa. Maaf," ucap Vivi.

"Aku menunggumu di toko selama satu jam. Tapi, kamu malah diem di sini kaya patung," jawab Jefri.

"Maaf, aku dari tadi sudah keliling-keliling berapa kali putaran buat nyari Kakak. Tapi, belum ketemu juga, makanya Vivi berdiri di sini," ucap Vivi membela diri. 

Jef menghela napas berat. Gadis ini tidak tahu cara memakai GPS atau bagaimana? Pikiran Jefri mengelana, menebak betapa kolotnya pengetahuan Vivi. Saat melamar pekerjaan, Vivi masih mencarinya secara langsung dengan berjalan menyusuri gedung-gedung perkantoran. Padahal sekarang itu sudah jaman online. Mereka lebih sering mencari tenaga kerja lewat internet. Sekarang, di saat tersesat, Vivi tidak tahu cara memanfaatkan GPS.

"Kamu lahir tahun berapa?"

"Ngapain Kakak tanya kayak gitu?" Vivi menatapnya dengan curiga. 

"Karena kamu terlalu ketinggalan jaman. Memangnya tidak tahu kalau kamu tersesat, kamu bisa pake GPS."

"Iya, memang aku ketinggalan jaman. Terus mau Kakak apakan aku? Dipecat? Gak masalah, aku pulang sekarang!" 

Vivi melangkah pergi, tetapi tangannya dicekal Jef. Vivi menarik tangannya dengan kuat. Tenaga Jef yang jauh lebih kuat dari Vivi itu juga tidak mau melepaskannya. Jef menariknya dan Vivi menabrak dada bidang Jef. Vivi terperangkap dalam pelukan Jef.

Deg! Deg!

Jantung keduanya sama-sama berpacu dengan cepat. Mereka tidak bisa membedakan, detak jantung siapa yang lebih cepat karena temponya sama. Kedua tangan Vivi menempel di dada Jef untuk menahan tubuhnya agar tidak menempel di dada Jef. Mata mereka beradu, menatap lurus ke dalam manik mata masing-masing. 

Vivi menatap mata elang yang tegas, manik mata hitam pekat dan mengkilap itu sungguh mempesona. Membuat Vivi tidak bisa mengalihkan tatapannya. Seakan tatapan itu mempunyai daya menghipnotis.

"Bi-sakah, lepas-kan aku sekarang?" Vivi mendorong tubuh Jef perlahan. Ia tidak bisa menahan debaran di dadanya. Jantung rasanya seperti meloncat keluar, saking cepatnya ia berdetak.

Ucapan Vivi membuat Jef sadar dari keterpanaannya. Ia melepaskan pelukannya dan menggaruk kepala yang tidak gatal. Senyum canggung keduanya membuat atmosfer aneh.

"Ikuti aku!" Jef melangkah pergi sambil menyuruh Vivi mengikutinya. Mereka mulai berbelanja. Vivi sangat pandai menawar dan kali ini Jef belanja lebih hemat karena Vivi.

***

"Di sana! Iya, up. Sudah di situ saja! Ini upah kalian, terima kasih," ucap Levi. 

Kursi dan meja untuk Haruna sudah siap. Saat Levi hendak keluar dari ruangan Tristan, Christian masuk ke dalam. Ia menatap kursi dan meja tambahan di ruangan Tristan. Penasaran untuk siapa meja dan kursi itu. Christian bertanya pada Levi.

"Lev, untuk apa meja itu?

"Itu, untuk asisten baru Tuan Tristan." Levi menjawab dengan hati-hati. Namun, sikap Levi yang begitu waspada, Christian pun kembali bertanya. Akan tetapi, jawabannya sama saja, meskipun Christian mendesaknya.