Hening beberapa saat setelah Christian keluar dari ruang baca. Ruangan yang sejuk itu terasa panas bagi Haruna. Melihat wajah penuh wibawa yang duduk di hadapannya. Siapa pun akan merasakan hal yang sama jika berada di posisi Haruna saat ini.
"Ekhem, Haruna, kan?"
"Iya, Tuan," jawabnya dengan gugup.
"Heh, Kakek sudah bilang, panggil Kakek saja."
"Iya, Kek."
Senyum kembali terbit di bibir Edi. Suasana mulai mencair saat mereka mulai mengobrol. Edi menanyakan latar belakang keluarga Haruna. Tidak tampak rasa benci sedikitpun di wajah Edi. Justru ia tersenyum saat Haruna menceritakan kehidupannya bersama keluarganya. Gadis yang mandiri dan bersahaja itu telah mencuri perhatian Edi.
"Haruna, tinggal di rumah Tristan?" tanya Edi dengan hati-hati.
"Iya, Kek. Terpaksa," jawab Haruna.
Ia mengernyit mendengar kata terpaksa yang terlontar dari bibir pink Haruna. Ekspresi Edi membuat Haruna segera meralat ucapannya. Ia khawatir kalau kakek memarahi Tristan, yang tentunya akan berimbas padanya juga.
"Maksudnya, itu … Haruna jadi asisten pribadi, Kek," ralatnya.
"Levi juga asisten pribadi Tristan, tapi tidak tinggal di rumahnya. Apa kalian punya hubungan spesial?" Edi bertanya dengan senyuman, seakan sedang menggoda Haruna. Membuat Haruna gugup, resah, dan takut. Ia hanya berniat bersandiwara saja dengan Tristan. Kekhawatirannya membuat keringat dingin menetes di dahinya.
"Kenapa gugup? Ayo, katakan pada Kakek!" Nada interogasi lembut itu tetap membuatnya takut.
"Tidak, Kek. Hanya asisten," jawabnya dengan suara bergetar.
"Sayang sekali. Padahal Kakek sangat berharap Haruna mau jadi cucu menantu Kakek."
Helaan napas berat terdengar mengusik cuping telinga Haruna. Perasaan tak nyaman itu mengganggu hatinya. Wajahnya kusut, mengguratkan rasa kecewa di hati Edi.
Di balik pintu, Christian pun tersenyum mendengar jawaban Haruna. Setidaknya, masih belum terlambat untuknya mengejar cinta Haruna. Gadis berparas manis yang mempesona itu telah menarik hati kedua bersaudara keluarga Izham.
Seorang wanita menatap sinis ke arah pintu ruang baca. Dia adalah ibu dari dua bersaudara itu. Tampaknya ia tidak menyukai kehadiran Haruna di tengah keluarga Izham.
"Aku tidak akan membiarkan dia menjadi menantuku. Jangan mimpi!" ucapnya sinis.
***
"Apa yang Kakek bicarakan?"
"Tuan Edi mengajak Nona Haruna bicara di ruang baca. Menurut pelayan yang kita tempatkan di sana, Tuan Christ juga dilarang masuk dan hanya berdiri di depan pintu," jawab Levi dari ujung telepon.
Ia menutup telepon dan berbaring di ranjangnya. Menanti kepulangan Haruna dengan rasa resah dan gelisah. Menanti untuk bertanya apa yang kakeknya bicarakan.
"Kakek … tidak mungkin akan menyuruh Haruna pergi dariku, kan?" gumamnya.
Embusan angin menerpa tirai kamarnya, menyingkapkan kain yang menghalangi pandangan Tristan. Ia keluar, melangkah ke balkon. Menengadah ke langit, menatap ribuan bintang yang bertaburan menghias awan hitam tanpa cahaya bulan.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang rumah Tristan. Haruna terlihat keluar dari dalam mobil. Tristan yang sejak tadi menunggunya segera berlari menuruni anak tangga dan menyambut Haruna di ujung tangga.
"Kamu sudah pulang? Apa yang Kakek katakan? Apa kamu bertemu Kak Chris?" Tristan memberondong Haruna dengan pertanyaan. Rasa penasaran Tristan semakin memuncak karena Haruna tidak kunjung menjawabnya.
"Aku lelah. Bisakah aku istirahat sekarang?" Wajah Haruna memang terlihat sangat lelah. Tristan mengangguk pelan. Meski ia masih penasaran, tetapi ia tidak mau membuat Haruna semakin lelah.
Haruna melangkah menaiki deretan anak tangga menuju kamarnya. Memang ia kelelahan, tetapi ia bahagia karena ia mengobrol dengan Edi di ruang baca hingga berjam-jam. Membicarakan hal-hal ringan seperti masa muda kakek, masa kecil Tristan dan Christian. Haruna juga makan malam bersama di rumah Tristan. Izham, ayah Tristan, terlihat biasa saja menatap Haruna yang makan satu meja dengan keluarganya. Namun, ibunya Tristan menunjukkan sikap kurang suka.
***
Malam semakin larut, tetapi Tristan masih terjaga. Pelayan yang ditugaskan untuk melaporkan keadaan di rumah sama sekali tidak mengetahui apapun. Tristan tidak sabar menunggu besok. Ia mengendap masuk ke kamar Haruna.
Helaan napas pelan dan teratur membuat Tristan yakin, Haruna sudah tertidur. Tristan ingat sewaktu kecil dulu, ia sering bertanya pada Christian saat kakaknya itu tertidur. Ada beberapa orang yang akan menjawab saat ditanya, walau dalam keadaan tidur. Christian adalah salah satunya. Tristan ingin mencoba melakukan hal yang sama pada Haruna.
Perlahan ia naik ke ranjang dan menatap wajah Haruna yang terlihat begitu damai. Tristan menyingkapkan anak rambut yang menghalangi wajah Haruna. Dengan suara setengah berbisik, Tristan mencoba bertanya.
"Haruna!"
"Em."
"Apa yang Kakek bicarakan?"
"Tidak ada yang aneh. Kami hanya membicarakan masa kecilmu," jawab Haruna seperti orang mengigau. Tristan percaya, orang yang berbicara sambil tidur, mereka akan menjawab jujur saat ditanya.
Senyum pun terbit di bibir kissable Tristan. Kegundahan yang membuatnya sulit tidur, perlahan menghilang. Tristan membisikkan sesuatu dengan lembut di cuping telinga Haruna.
"Apa aku, boleh tidur di sini?"
"Hem." Haruna menjawab singkat dalam keadaan tidak sadar. Ia telah larut di alam mimpi yang dalam. Perlahan ia menggeser tubuhnya dan membiarkan Tristan berbaring di sampingnya. Tristan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera masuk ke dalam selimut dan berbaring di ranjang yang sama.
"Aku hanya akan tidur, tidak lebih. Percayalah!" Tristan berbisik kembali. Namun, jantung Tristan berpacu cepat saat Haruna berbalik menghadap ke arahnya.
Deg! Deg! Deg!
Belum sempat debaran di dadanya berhenti, sudah terjadi hal lainnya. Haruna merapatkan tubuhnya ke tubuh Tristan. Tangannya melingkar sempurna di pinggang Tristan. Seakan yang dipeluknya adalah bantal guling.
"Hei! Aku sudah berjanji hanya ingin tidur, tapi kalau kamu seperti ini aku …. Kau tahu kan, kalau aku ini singa. Apa kau ingin membangunkan singa yang tertidur?" Gumam Tristan. Ia merasakan hasratnya mulai bangkit, tetapi ia menahannya sekuat hati.
Sungguh siksaan yang sangat berat saat lelaki harus menahan hasrat. Tristan tidak pernah menahan hasratnya pada perempuan saat dirinya ingin. Namun, demi Haruna, Tristan rela tersiksa.
***
"Akhhh!" Teriakan kencang di pagi hari itu seakan hendak meruntuhkan rumah. Tristan merasa terganggu dan akhirnya bangun lalu duduk sambil mengucek mata.
"Ada apa, Sayang?" tanya Tristan dengan wajah tanpa dosa.
"Ada apa kamu bilang? Masih berpura-pura bodoh dan bertanya ada apa? Kamu ngapain tidur di ranjangku dan … dan memelukku?"
"Aku kan sudah minta izin, Sayang. Kamu juga kasih izin," jawabnya seraya menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Bohong! Gak mungkin!" ucap Haruna tidak percaya.
"Kamu gak percaya? Aku punya bukti, nih! Aku tahu, kamu tidak akan percaya, jadi aku merekam ucapanmu."
Haruna mengambil ponsel Tristan dan mendengar pembicaraan mereka dengan mata membelalak. Itu sungguh suaranya, Haruna menutup mulutnya dan segera turun dari ranjang. Ia masih tidak percaya kalau ialah yang memberi izin pada Tristan untuk tidur seranjang.
***
HAI readers, kasih author dukungan ya.
Kalian terbaik, i love you semua ^-^