webnovel

Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian)

(Warning 18+ dengan potensi 21+, terdapat unsur kekerasan, sadistik dan juga beberapa adegan dewasa) Genap setahun Maureen berada dalam keadaan antara hidup dan mati. Kecelakaan yang dialaminya setahun silam juga merenggut nyawa ibunda tercintanya. Kini, iapun terbaring koma tanpa tahu kapan ia bisa kembali melihat indahnya dunia. Genap setahun juga Rizaldy, akrab disapa Aldy, seorang by-stander di geng SMA Caius Ballad, menjaga Maureen yang terbaring koma di rumah sakit. Keseharian Aldy yang berubah membuatnya dijuluki bad boy insyaf oleh teman-teman tongkrongannya. Aldy belum pernah mengenal Maureen, walaupun ia telah menjadi kakak angkatnya, tepat setelah orangtua Maureen bercerai empat tahun lalu dan ia diadopsi oleh ayah Maureen dari dalam sel tahanan penjara remaja. Pikirannya selalu menerka, apakah Maureen bisa menerimanya sebagai seorang kakak? Mungkin bukan itu. Apakah Aldy mampu menjadi seorang kakak untuk Maureen? Dan apa yang terjadi, jika Heri, orang yang mengadopsi Aldy ternyata adalah seorang pemimpin dari sebuah organisasi mafia terkejam?

Eazy_Hard · วัยรุ่น
Not enough ratings
235 Chs

40. Ciuman Tak Sengaja Aldy Dengan Maureen

Maureen masih terdiam di tempatnya berada. Hingga Aldy terlihat dari ujung lorong berjalan menghampirinya. Ekspresi yang Aldy tunjukkan tak seperti biasanya. Itu bukanlah ekspresi yang pernah dilihat Maureen sebelumnya.

Bahkan itu bukanlah ekspresi ketika Aldy menghajar orang yang menghinanya di kelas.

Maureen tak pernah melihat ekspresi yang sedang Aldy tunjukan saat ini. Itu adalah ekspresi saat Aldy dipenuhi dengan hasrat membunuh.

Aldy kini sudah berdiri di hadapan Maureen, ia menggenggam pergelangan tangan Maureen dan membawanya keluar. Setelah mereka berdua duduk di mobil sport yang Aldy gunakan untuk menantar Heri ke rumah sakit itu, suasana menjadi hening. Bahkan Maureen tak kepikiran untuk mengucapkan sepatah kata sedikitpun.

"Sementara … " ucap Aldy tanpa melihat ke arahnya. Pandangannya lurus ke depan. Dari suaranya, Maureen bisa merasakan bahwa Aldy seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat membebaninya. "Lo bisa gak, cari tempat lain selain di rumah?"

"Maksudnya?" tanya Maureen.

Aldy terdiam sejenak. "Mungkin, lo bisa tinggal di rumahnya temenlo untuk sementara."

Maureen yang mendengar hal itu mengerutkan keningnya. "Temen? Siapa? Jean? Kenapa malah nyuruh aku tinggal sama dia? Terus, sebenernya apa yang terjadi sama papah?"

"Papah diculik."

Tentu saja. Mendengar hal itu, Maureen merasa sangat terkejut, hingga tubuhnya serasa tak memiliki tenaga lagi, bahkan hanya untuk tetap sadar.

"Mereka gak mau ngelibatin polisi, tapi mereka juga gak minta tebusan. Mereka cuman mau gue dateng ke tempat yang mereka mau."

"Kenapa gak lapor polisi? Apa jangan-jangan Kak Aldy mau ke sana?"

Aldy yang tadinya hanya berbicara sambil terus melihat kosong ke depan, kini mengarahkan pandangannya pada Maureen yang duduk di sebelahnya. "Dari cara mereka bergerak, mereka bukan penculik biasa. Dan juga, karena mereka gak minta tebusan dan malah nyuruh gue yang dateng ke sana, itu bisa berarti satu hal. Kemungkinan, ada orang yang punya dendam sama gue di masa lalu, dan jadiin papah sebagai sandera."

"Aku gak mau Kak Aldy pergi! Gak! Aku gak mau!"

Aldy meraih kedua bahu Maureen. "Itu baru sebatas kemungkinan. Tapi kalo emang bener begitu, berarti gue emang orang yang harus bertanggung jawab di sini."

"Tapi kenapa harus Kak Aldy? Kenapa semuanya harus Kak Aldy tanggung sendiri? Aku gak mau Kak Aldy ngerasain hal itu lagi!"

"Lagi?" tanya Aldy, masih menatap lurus mata Maureen yang sudah berlinang air mata.

Tubuh Maureen bergetar hebat. "Aku … Aku tau apa yang Kak Aldy alami selama ini. Aku baca semuanya dari buku hariannya Kak Aldy yang ada di lemari. Aku tau, semua yang Kak Aldy lakuin buat aku … Aku gak mau, Kak Aldy jadi orang yang nanggung semuanya sendirian lagi!"

Aldy melepaskan bahu Maureen dan memundurkan tubuhnya.

"Lo baca semuanya?"

Maureen tak menjawab dan memilih untuk menangis sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Aldy pun menyalakan mesin mobil dan melajukannya. Tak ada percakapan apapun selama beberapa menit. Hingga mereka berhenti di bawah lampu merah yang berada di persimpangan jalan raya. Keadaan lalu lintas sangat sepi, kendaraan yang berhenti di sana bisa dihitung dengan jari. Langit pun masih sangat gelap.

"Bisa gue minta sesuatu?" tanya Aldy dengan pandangan yang masih fokus ke jalan. Maureen tak menjawabnya, masih sedikit terisak dalam diam. "Gue minta, lo percaya sama gue kali ini aja. Gue janji, bakal bawa papah pulang dan selesain semuanya."

Maureen tak mengatakan apapun. Bukan karena ia tak bisa, tapi ia tak mau. Gadis itu benar-benar tak tahu lagi bagaimana membujuk Aldy agar tidak pergi. Bukannya ia tak peduli dengan kondisi ayahnya sendiri, namun jika Maureen memikirkan hal terburuk yang bisa saja terjadi, ia tak ingin kehilangan siapapun lagi.

Ia tak ingin kehilangan ayahnya.

Dan juga, ia tak ingin kehilangan Aldy.

Meski Aldy belum lama masuk ke dalam hidupnya, namun keberadaan Aldy sudah sangat berarti bagi Maureen.

Aldy menghentikan mobilnya di dalam garasi. "Kemasin barang-barang lo, gue anter ke rumahnya Jean. Nanti gue yang izin sama orangtuanya."

"Jean gak tinggal sama orangtuanya … hiks … dia tinggal sendiri di apartment."

Aldy terdiam sejenak. Mungkin dirinya dipenuhi hasrat ingin membantai siapa saja yang mengganggu hidupnya sekarang. Namun, mendengar isak tangisan Maureen, membuat Aldy merasa lemah dan entah mengapa seluruh amarah itu tergeser dengan kepedihan di hatinya.

Aldy kembali menatap Maureen. Namun kali ini, bola matanya juga ikut berlinang air mata. Maureen yang melihat hal itu, semakin ingin menangis.

"Reen … tolong … kali ini aja, lo percaya sama gue. Gue gak akan ninggalin lo, apapun yang terjadi nanti. Bisa, gue minta lo percaya sama gue? Bisa?"

Napas berat Aldy membuat Maureen tersadar. Aldy bersungguh-sungguh dengan yang ia katakan. Tidak, sebenarnya sedari tadi Aldy tak pernah main-main dengan apapun yang ia katakan. Namun kali ini, Aldy benar-benar terlihat frustasi, seakan tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan.

Ia bukan frustasi karena Heri yang diculik.

Aldy, lelaki itu frustasi karena ia tak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan Maureen bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Janji, kalo Kak Aldy gak bakal ninggalin Maureen apapun yang terjadi?" tanya Maureen untuk memastikan.

Aldy mengangguk mengiyakan pertanyaan itu. Dan ia juga melepas kalung yang biasa ia pakai. Kalung bertali hitam yang menggantung koin kecil berwarna perak dengan ukiran huruf 'M' di tengahnya itu pun dikalungkan di leher Maureen. "Mungkin terkesan norak, tapi gue bakal ambil lagi kalung ini. Sampe gue balik, jaga kalung ini baik-baik."

Keadaan menjadi hening sejenang.

Hingga,

Cuppp …

Sebuah kecupan mendarat sekilas di bibir Aldy.

Keduanya sama-sama membulatkan mata mereka. Awalnya, Aldy ingin mengecup kening Maureen, dan Maureen ingin mengecup kening Aldy. Namun Maureen salah perhitungan, dan gerakan mereka yang bersamaan dalam jarak sedekat itu, membuat keduanya gagal menghindari ciuman yang tak disengaja itu.

Maureen meninggalkan mobil dan hampir berlari menuju ke dalam rumah untuk mengemasi barang-barangnya.

Aldy masih terdiam. Ibu jari dan jari telunjuknya mengusap bibirnya sendiri. Jantungnya berdebar kencang.

"Gue … ciuman sama Maureen?" tanyanya pada dirinya sendiri dengan penuh rasa tak percaya.

Tanpa ia sadari, Maureen telah kembali membawa kopernya.

Waktu berlalu terlalu cepat karena Aldy terlarut dalam lamunannya.

Mereka berdua diam membisu. Sama-sama memikirkan apa yang baru saja terjadi beberapa saat lalu.

Bahkan Aldy sampai lupa bahwa ia akan menghadapi bahaya yang belum ia ketahui pasti saat ia pergi ke tempat Heri berada nanti. Yang ada di pikirannya adalah, ciuman pertamanya dengan Maureen.

Meski terjadi tanpa disengaja, namun bibir mereka berdua benar-benar bertemu.

Dan hal sesederhana itu, bahkan bisa membuat seorang Rizaldy Pradipta, by-stander dari Caius Ballad yang dikenal sebagai orang yang tak tersentuh di sekolah itu kebingungan di depan seorang gadis.

Aura mengintimidasi yang biasa dikeluarkan oleh keberadaan seorang Aldy pun seakan hilang entah kemana.

Hanya karena ciuman tak sengaja yang baru saja ia alami.

***

Di depan kamar sebuah apartment dengan nomer 57 di depan pintunya, Maureen dan Aldy berdiri agak berjauhan.

Yap.

Mereka masih merasa agak canggung satu sama lain. Sebelumnya, hal ini tak pernah terjadi, mengingat bagaimana Maureen selalu saja menempel kepada Aldy, dan Aldy yang tak keberatan—malah merasa bahagia—untuk memanjakan Maureen.

Kini, mereka terlihat seperti sepasang anak labil yang tak bisa mengontrol perasaan mereka sendiri.

Setelah menunggu beberapa lama, pintu kamar itu dibuka dari dalam, dan seorang gadis yang mengenakan kaus hingga menutupi sebagian kecil pahanya itu berdiri di hadapan mereka. Rambutnya yang berantakan dan tali bra yang menyembul keluar di bahu kirinya, sepertinya Aldy dan Maureen benar-benar mengganggu tidur seseorang.

"Oh, udah dateng? Masuk dulu … Huaaahhhh."

"Gak usah, gue titip Maureen dulu, ada urusan. Sisanya, lo bisa tanya Maureen."

Jean mengerutkan keningnya, masih dengan wajah sembab khas orang yang terbangun dari tidurnya yang super nyenyak. "Hah? Kak Aldy bilang apa?"

Aldy melangkah pergi meninggalkan Maureen dan Jean. Jean mengarahkan pandangannya ke arah Maureen, namun Maureen juga belum mengatakan apapun.

Jean pun menggelengkan kepalanya melihat sikap Aldy, menarik lengan Maureen dan membawanya masuk lalu kembali menutup pintu kamarnya.

Aldy meneruskan langkahnya menuju lift untuk ke lantai dasar gedung apartment itu. Dan saat ia sudah berada di dalam mobil, Aldy kembali membuka pesan yang ia terima dari nomer yang disembunyikan, yang mengaku sebagai orang yang membawa Heri.

Tepat saat ia ingin membuka lagi pesan singkat itu, ia menerima pesan lain dan mendapat sebuah link. Nomer pengirimnya juga disembunyikan.

Saat ia membuka link tersebut, aplikasi Google Map-nya otomatis terbuka dan menunjukkan sebuah lokasi. Tempatnya lumayan jauh, berada di daerah Jakarta Utara, dekat dengan pelabuhan Tanjung Priok.

Tanpa ragu Aldy melajukan mobil sport yang ia kendarai ke tempat itu. Entah apa yang akan menunggunya di sana, ia hanya memiliki dua priotitas utama.

Pertama, ia harus menyelamatkan Heri.

Dan kedua, ia harus kembali ke Maureen, entah seburuk apapun kondisinya nanti, ia harus kembali ke tempat di mana Maureen berada.

Perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu dilalui Aldy, hingga ia sampai pada tempat yang ditunjukkan di peta elektroniknya.

Sebuah gedung yang terlihat terbengkalai, lumayan jauh dari keramaian dan juga sangat dekat dengan laut.

Aldy turun dari mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke tempat itu. Ia berjalan menyusuri beberapa lorong. Bangunan itu terlihat seperti rusun biasa. Pintu-pintu kamar yang sepertinya dihuni oleh orang-orang biasa, dengan jemuran-jemuran di depan kamar mereka.

Ia menaiki tangga, dan di lantai kelima, suasanya benar-benar berbeda.

Lantai teratas bangunan itu hanya memiliki sebuah pintu. Seakan ruangan di dalamnya sengaja dibangun.

Aldy memutar gagang pintu itu, dan bagian dalamnya adalah sebuah ruangan mewah. Sebuah ruangan yang menempati keseluruhan lantai. Bahkan terdapat sebuah meja panjang yang sepertinya digunakan untuk keperluan meeting.

Namun meja panjang itu telah ditempatkan di sudut ruangan, hanya tersisa satu meja dan sebuah kursi yang sangat mewah.

Siapapun tahu, orang yang duduk di tempat itu adalah pemimpin.

Dan yang duduk di sana saat ini, adalah Heri.

Ya.

Heri Wijaya, ayah kandung Maureen sekaligus orang yang mengadopsi Aldy dari penjara remaja.

Lelaki itu tersenyum lebar kepada Aldy yang berdiri membelakangi pintu masuk.

Dan Heri dikelilingi sekitar sembilan puluh sembilan orang berpakaian setelan jas berwarna hitam yang seragam.

Ruangan yang luas dan mewah itu, benar-benar di luar perkiraan Aldy.

Heri masih menyunggingkan senyuman. "Akhirnya kamu datang, nak."

***

{{ Semoga kalian suka sama ceritanya, jangan lupa vote dan tinggalin komentar yaa :) }}