webnovel

Tersinggung

Dara mematut diri di cermin dan merapikan hijab. Lalu dia bergegas keluar kamar dan berpapasan dengan Dewa di depan.

"Kamu mau ke mana?" tanya Dewa saat melihat istrinya sudah berganti pakaian. Mata lelaki itu menjelajah tubuh sang istri yang tmapak begitu cantik karena berdandan.

"Aku mau ke pasar, Mas. Mau beli sayur. Di kulkas cuma ada lauk," jawab Dara.

"Mas anter, mau?" tawar Dewa. Sebagai pengantin baru, rasanya dia ingin berduaan dengan istrinya.

"Gak usah. Aku pergi sama Bibik. Cia juga mau ikut," tolak Dara halus.

Sejak pagi mereka sudah merencanakan ini. Bibik sengaja datang lebih awal dan berjanji akan memberitahu Dara di mana saja toko yang menjadi langganan saat berbelanja. Wanita itu tentu saja begitu antusias mendengarnya, sehingga setelah Subuh, dia langsung bersiap-siap.

"Ciara gak usah pergi. Kan dia baru sembuh. Kamu sama Bibik aja berdua," cegah Dewa.

Dara tertegun beberapa saat, lalu menimbang-nimbang. Dia sudah berjanji tadi dan anak itu begitu girang. Jika mereka membatalkan rencana untuk membawanya, bisa-bisa Ciara akan kecewa.

"Kasian Ciara, Mas. Lagian aku cuma bentar. Kalau dapat sayur yang dicari, kami langsung pulang."

Dara tak tega saat melihat Ciara memohon tadi. Wanita itu juga sudah menolak keinginan putrinya dengan halus, tetapi anak itu merajuk dan menekuk bibir. Akhirnya dia luluh dan mengizinkan.

"Jadi Mas sendirian di rumah?"

"Kami sebentar aja, kok. Itu di kulkas isinya makanan instan semua. Masa' Cia makannya nugget sama sosis terus. Kurang bagus untuk pertumbuhan," jelas Dara. Makanan siap saji memang disukai anak-anak dan praktis. Namun, jika dikonsumsi terlalu berlebihan tidak bagus juga buat kesehatan.

"Siap Bu Guru!" ucap Dewa iseng.

"Kalau gitu aku jalan dulu," pamitnya.

"Kalian naik apa?" tanya Dewa penasaran. Tidak ada angkot yang melintasi perumahan ini. Ada juga di jalan besar. Cukup jauh jika mereka harus berjalan kaki ke depan.

"Pake' motor aja. Aku pinjem, ya." Dara mengambil dompet kecil miliknya yang terletak di meja dan menyelipkan di saku celana.

Melihat itu, Dewa membuka dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. Lelaki itu menyerahkannya kepada Dara dan berkata, "Ini buat kamu belanja."

Dara mengambil pemberian itu dengan ragu-ragu lalu memasukkannya ke dalam dompet.

"Makasih, Mas."

"Beli makanan apa aja yang kalian suka. Kalau aku, apa aja doyan," lanjut Dewa.

Dara tersentak untuk beberapa saat. Pantas saja jika Laura sangat sayang kepada Dewa. Lelaki ini sungguh baik hati dan bertanggung jawab. Apakah dia beruntung bersuamikan Dewa sekalipun pernikahan ini hanya sandiwara? Entahlah, wanita itu tak mau terlalu cepat menilai.

"Oke. Kalau gitu aku pergi dulu," katanya berpamitan.

Dewa mengulurkan tangan. Dara terdiam sesaat lalu meraih lengan lelaki itu dan mencium punggung tangannya.

Tanda bakti kepada suami. Kata-kata ibunya saat akad nikah kembali terngiang. Mulai sekarang Dara akan membiasakan diri untuk itu.

"Hati-hati. Nanti mas transfer uang bulanan," ucap Dewa saat menyerahkan kunci motor.

"Buat apa?" Dara menerimanya lalu menyelipkan kunci itu di saku yang lain.

"Buat jajan kamu."

"Gak usah, Mas. Kita kan cuma pura-pura."

Ucapan Dara tadi membuat Dewa terdiam. Entah mengapa dia tak ingin pernikahan ini hanya sebatas status. Lelaki itu berharap mereka bisa menjalani kehidupan normal seperti pasangan yang lain. Apalagi melihat istrinya yang cukup telaten mengurus Ciara, walaupun tak sama seperti Laura dulu.

"Kamu kan istri aku. Sudah kewajiban aku buat nafkahin, mau pernikahan kita ini pura-pura atau gak," ucap lelaki itu dengan tenang.

"Tapi aku jadi gak enak. Soalnya aku gak bisa ngurusin Mas kayak istri yang lain," kata Dara.

Dewa tahu apa maksud dari ucapan istrinya tadi.

"Itu udah jadi kesepakatan kita di awal, kan?"

Dara mengangguk dengan yakin.

"Tapi kalau mau dikasih juga boleh," ucap Dewa sembari menatap istrinya lekat.

Jantung Dara berdetak hebat. Jika menyinggung soal ini, lebih baik dia berpura-pura tak mengerti.

Wanita itu balas menatap suaminya dengan hati yang gamang. Lagi-lagi mengabaikan apa yang diucapkan Dewa. Dia tak mau membahas itu lebih lanjut.

"Aku pergi dulu. Kalau kesiangan, sayur segarnya pada habis."

Dara berjalan keluar dan mendapati mereka sudah menunggu di depan. Ciara asyik bercerita, sementara Bibik mendengarkannya sambil ikut berkomentar. Melihat Dara muncul, anak itu berbinar senang.

"Mama. Ayo, kita pergi sekarang," ajak Ciara sembari memeluk Dara dengan manja.

Dara membalas pelukan putrinya dengan lembut. Lalu, wanita itu menggendong tubuh mungil putrinya untuk naik ke motor. Ciara besorak kegirangan karena mendapatkan perlakuan seperti itu. Ternyata mama barunya sangat baik hati.

Begitu semua sudah siap, Dara menghidupkan mesin dan membawa motor dengan pelan.

Bibik yang memberitahukan arah karena dia belum begitu hafal dengan daerah perumahan sekitar sini.

Tanpa mereka sadari, sejak berangkat tadi, diam-diam Dewa mengintip dari balik jendela dan mengulum senyum.

***

Tergesa-gesa, mereka memasuki rumah. Ciara tampak terbaring lemah di dalam gendongan Dara, sementara bibik membawa barang belanjaan ke belakang.

"Cia kenapa?" tanya Dewa saat melihat tubuh putrinya diletakkan di ranjang dan wajah si mungil itu terlihat pucat dengan bibir gemetar.

"Badannya panas," jawab Dara.

"Kok bisa? Tadi pas pergi baik-baik aja."

"Mungkin kecapean, Mas." jawab Dara.

Dengan cekatan Dara membuka baju Ciara dan menggantinya dengan yang baru. Dia mengambil termometer dan mengecek suhu tubuh putrinya. Lalu, mereka terkejut saat melihat panasnya cukup tinggi, tiga puluh sembilan derajat.

"Aduh, panas banget," lirihnya.

"Tadi kan aku udah bilang, dia gak usah dibawa. Kamu sih gak mau dengerin," tegur Dewa.

Dara menoleh ke arah suaminya dan kembali mengurus Ciara.

"Lain kali kalau dikasih tau itu kamu dengerin. Kayak Laura itu nurut sama aku," lanjut Dewa sambil memandang putrinya dengan cemas.

Hati Dara bergolak mendengarnya. Kenapa mereka harus dibandingkan?

"Kalau belum reda juga, nanti kita bawa ke dokter anak," lanjut Dewa.

Lagi-lagi Dara tak menanggapi ucapan Dewa dan tetap mengurus Ciara. Lalu, suara ketukan di pintu mengalihkan pembicaraan mereka.

"Permisi, Nyonya. Ini obatnya." Bibik menyerahkan satu botol Paracetamol sirup juga segelas air.

Dengan sabar Dara membantu Ciara duduk untuk meminum obatnya.

"Anak pintar," ucap Dara sembari mengusap kepala putrinya dengan lembut.

"Papa." Ciara memeluk Dewa dengan erat, yang dibalas lelaki itu dengan pelukan hangat.

"Cia kan baru sembuh. Terus habis jadi pengantin. Jadinya masih capek. Harusnya gak usah keluar dulu. Di rumah aja," nasihat Dewa. Memberikan pengertian kepada anak-anak memang gampang-gampang susah. Namun, jika orang tua sabar, maka mereka akan mengerti.

"Huum," jawab anak itu. Dia menatap mama dan papanya secara bergantian dengan perasaan bersalah.

"Cia rebahan lagi, ya. Bibik lagi bikin bubur. Sementara ini main di rumah dulu. Nanti kalau udah sehat lagi kita jalan-jalan," bujuk Dara.

Ciara mengangguk lalu kembali berbaring dan memejamkan mata.

"Makasih ya," ucap Dewa tulus.

Sayangnya, Dara susah terlanjur tersinggung karena ucapannya tadi. Tanpa menoleh ke arah sang suami, dia langsung keluar membantu Bibik memasak di dapur. Dewa bertanya dalam hati apa yang tadi telah diucapkannya sehingga raut wajah istrinya berubah seperti itu. Lalu dia teringat, tadi sempat menyebut nama Laura dan mungkin itu penyebabnya.

Hingga Ciara tertidur, Dewa masih berada di kamar putrinya. Saat melihat Dara masuk ke kamar, dia segera menyusul.

"Kamu masak apa?" tanya Dewa berbasa-basi karena tahu harus berkata apa.

"Liat aja nanti di dapur. Bentar lagi masak." Dara hendak keluar kamar saat tangannya dicekal dengan lembut.

"Kamu marah?"

"Marah kenapa?" Dara balik bertanya.

"Kata-kata aku tadi," jawab Dewa cepat.

"Yang mana?"

"Maaf aku gak bermaksud bandingin kamu sama dia."

Dewa tak mau menyebut nama Laura lagi di depan Dara. Sekalipun mereka bersaudara kandung, wanita memang tak suka jika dibandingkan dengan yang lain.

"Aku mau lanjut masak dulu."

"Yaudah, aku juga mau ngeliat email," kata Dewa.

"Oh iya, Mas. Malam ini aku tidur di kamar Cia. Takut badannya panas lagi," pamit Dara.

Dara membuka pintu dan menghilang dari pandangan. Meninggalkan Dewa yang tertegun dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.