Sudah satu minggu mereka menikah, dan selama itu juga Dara berada di kamar Ciara. Alasan wanita itu tetap sama, kasihan putrinya jika tidur sendirian sekalipun sudah sembuh. Itu membuat Dewa diam-diam menyimpan rasa kesal. Putrinya juga bersikap demikian, lebih senang jika ditemani oleh Dara dari pada dirinya.
Sudah satu minggu ini juga Dara mempelajari kebiasaan keluarga barunya. Dari Dewa yang suka menyimpan handuk basah di kasur, meletakkan tas kerja atau ponsel di sembarang tempat, juga menarik baju acak-acakan dari lemari. Hingga wanita itu bergumam bahwa rasanya semua laki-laki memang begitu.
Satu hal lagi yang Dara kurang suka adalah Ciara selalu dituruti semua keinginannya, sehingga menjadi sangat manja. Apa pun yang anak itu minta untuk jajan, maka Dewa akan langsung membelikan, tak peduli itu baik untuk kesehatan atau tidak. Alhasil, hari ini dia mengeluh sakit gigi.
"Tadi beli apa waktu jalan sama Papa?" tanya Dara.
Ciara memandang Dara dengan sedikit takut, padahal mamanya hanya bertanya, bukan memarahi.
"Ngggg. Itu, Ma--"
"Jawab Mama. Biar Mama tau apa penyebab sakitnya. Apa kamu mau ke dokter aja buat periksa?"
Dara bertanya dengan hati-hati. Selain manja, perasaan Ciara juga sangat sensitif, sehingga anak itu gampang merajuk atau menangis.
"Itu tadi beli ... gulali. Sama es krim," jawab Ciara jujur. Dua jajanan itu memang kesukaannya sejak dulu. Hanya saja baru sekarang terasa sakitnya.
"Oh, oke." Dara menarik napas panjang dan berpikir apa dulu mendiang Laura juga bersikap sama dengan Dewa. Jika iya, maka kebiasaan ini sulit untuk diubah.
"Sini mama lihat," pinta Dara lembut.
Ciara membuka mulut dengan lebar, kemudian pasrah saat Dara mulai memeriksa. Anak itu bahkan memejamkan mata karena ketakutan.
"Ada apa?"
Dewa tiba-tiba saja datang. Sejak tadi dia menunggu Dara keluar kamar untuk berbincang mengenai beberapa hal. Namun, karena lama menunggu akhirnya lelaki itu memutuskan untuk menyusul ke kamar Ciara. Ini hari Sabtu. Jadi sebelum hari Senin masuk kerja kembali karena cuti sudah selesai, tadi dia mengajak Ciara jalan-jalan.
"Cia sakit gigi. Tadi jajan sembarangan, ya?" tanya Dara.
"Jajan kayak biasa. Beli es krim," jawab Dewa.
"Beli gulali juga, kan? Udah tau giginya bolong kenapa malah dikasih," kata Dara sambil menatap Dewa dengan kesal.
Dewa menjadi salah tingkah. Ternyata sifat asli Dara mulai kelihatan. Dia pikir istrinya ini lembut karena wajahnya sangat ayu. Ternyata diam-diam wanita itu galak.
"Cuma beli satu, tapi Cia makan setengah. Sisanya Mas yang abisin," kata Dewa membela diri. Dia tidak berbohong, memang itu kenyataannya.
Mata cantik Dara melirik ke arah jam di dinding yang jarumnya menunjukkan angka tiga sore. Sepertinya masih ada waktu jika dia berencana membawa Ciara periksa ke dokter gigi. Wanita itu tak mau memberikan obat secara sembarangan kepada putrinya, sekalipun dia tahu sejenis anti nyeri yang boleh digunakan pada anak-anak.
"Kita ke dokter aja, Mas. Ini dia ngeluh sakit terus. Aku kompres aja dulu pipinya sebentar. Sama kumur dengan air garam," kata Dara memberikan solusi.
"Boleh juga. Dokter praktik juga habis Magrib baru buka. Nanti kita salat jama'ah dulu baru jalan," usul Dewa.
Dara mengangguk lalu berjalan ke dapur dan mengambil es batu. Dia juga memasukkan sesendok garam ke dalam segelas air. Ciara menuruti apa saja yang diminta oleh mamanya. Dewa juga ikut membantu mengambil gelas yang disodorkan, padahal sengaja ingin memegang tangan istrinya.
"Awas gelasnya jatuh!" ucap Dara setengah berteriak saat Dewa merampas gelas itu.
"Kamu ini, sentuhan sama suami aja takut. Kayak kita bukan mahram," gerutu Dewa. Rasanya dia harus mencari cara agar Dara kembali ke kamarnya. Mungkin dengan berpura-pura sakit sehingga bsia mendapatkan perhatian istrinya. Masa' Ciara saja yang dimanja, dia juga mau.
"Mas megangnya kayak gitu. Nanti airnya tumpah," jawab Dara.
"Kalau tumpah tinggal dibersihkan. Gak usah repot. Suami lebih penting. Sudah tidur sendirian, pegang tangan juga dilarang," gerutu Dewa lagi.
Dara bergumam mendengarnya. Bukannya ini memang kesepakatan mereka. Atau ... jangan-jangan Dewa malah ingin mengingkari janji?
"Tolong Mas bawain ini semua ke dapur. Aku masih mau ngelonin Cia. Ngantuk kayaknya ini," ucap Dara sembari menyerahkan nampan tempat membawa gelas dan mangkuk es batu.
"Cia aja dikelonin. Papanya kapan?" gerutu Dewa.
Suara Dewa pelan sekali, tetapi sayup-sayup masih terdengar oleh Dara. Wanita itu hanya bisa menggeleng melihat tingkah suaminya. Jika situasinya begini, rasanya dia ingin cepat-cepat masuk kerja daripada mengurus dua orang manja di rumah ini.
"Cia bobok dulu, ya. Mama mau beresin yang lain. Cia cepat sembuh, nanti kan mau masuk sekolah lagi," bujuknya.
"Gimana Cia mau sekolah kalau sakit gigi?"
"Nanti habis Magrib kita ke dokter periksa. Kan dikasih obat tuh, mana tau sembuh," bujuk Dara lagi.
"Cia takut."
"Jangan takut, kan ada mama yang nemenin. Papa juga."
"Mama jangan pergi, ya. Jangan tinggalin Cia kayak Mama Laura."
Hati Dara perih saat mendengarnya. Betapa mereka sangat menyayangi mendiang Laura. Dewa yang masih suka menyebutkan beberapa kebiasaan adiknya. Kadang-kadang wanita itu merasa bahwa dia hanya menjadi bayang-bayang di rumah ini.
"Iya. Mama gak akan pergi."
Dara kembali merasakan perih dalam hatinya. Namun, bukankah hal itu yang selama ini dia diinginkan? Dia juga telah meneguhkan diri untuk tidak bermain hati selama menjalani pernikahan ini.
"Janji?"
"Janji!" Dua jari kelingking mereka bertautan sebagai tanda sepakat, disertai dengan senyuman manis yang melengkung dari bibir Ciara.
"Kamu tutup mata dulu. Nanti Mama bangunin kalau kita udah mau pergi."
Ciara mengangguk, lalu mulai memejamkan mata. Nyeri di giginya sudah mulai berkurang, tetapi dia tetap akan ikut ke dokter gigi. Dara menutup pintu dan melangkah keluar. Dia merasa lapar karena sejak tadi sibuk mengurus ini itu sehingga lupa makan. Bibik akan libur setiap hari Minggu atau tanggal merah. Jadi, seharian dia memasak di dapur dan membersihkan rumah.
Saat hendak menuju dapur, tiba-tiba saja Dara mendengar sesuatu.
"Aduh, aduh!"
Dara berhenti di depan kamar Dewa saat mendengar rintihan. Dia berpura-pura cuek, tetapi suara itu terdengar lebih kencang. Kaki kecilnya melangkah mendekat ke arah daun pintu yang setengah terbuka, lalu lanjut menguping.
"Aduh ... sakit banget."
Dara tertegun karena itu suara rintihan Dewa. Wanita itu bergumam dan bertanya-tanya apa yang terjadi kepada suaminya. Tadi sewaktu di kamar Ciara, lelaki itu terlihat baik-baik saja. Lalu, kenapa sekarang malah kesakitan.
Merasa penasaran, Dara membuka pintu itu lebih lebar lalu terkejut saat melihat Dewa terbaring di kasur sambil memegang perut.
"Kenapa, Mas?"
Dewa membuka sedikit mata lalu berpura-pura mengaduh lagi. "Perut Mas melilit banget. Gak tau kenapa."
"Masuk angin? Atau mules?" tanya Dara lagi.
Dewa menjawab itu dengan gelengan.
"Terus?" Dara duduk di pinggir ranjang dan menatap suaminya dengan kebingungan. Seharian ini, kenapa semua orang rumah serentak sakit.
"Coba kamu lihat," ucap Dewa sembari menunjuk perutnya.
Tanpa curiga Dara mendekat dan membuka kaus Dewa lalu mengusap perut suaminya dengan pelan. Sama seperti saat dia mengusap pipi Ciara yang sedikit bengkak.
"Masih sakit?"
"Huum," jawab Dewa manja.
"Mas ini kayak cewek datang bulan aja, mules-mules gak jelas," gerutu Dara kesal karena sejak tadi sakitnya belum hilang.
Dewa mengulum senyum. Lalu, ketika Dara melihat wajahnya, lelaki itu berpura-pura kesakitan lagi.
"Aku ambilkan minyak gosok. Kali aja sembuh." Dara hendak beranjak saat tiba-tiba saja tangannya dipegang lembut.
"Gak usah. Diginiin aja udah enakan, kok."
"Yaudah kalau gitu, Mas tiduran aja. Nanti pas mau berangkat aku bangunin. Cia juga lagi tidur."
"Tapi kamu temenin, ya?" pinta Dewa dengan wajah memelas.
"Kok gitu?" tanya Dara heran.
"Nanti perut Mas sakit lagi," jawab Dewa beralasan.
Dara melotot mendengar itu. Belum sempat dia menjawab, dengan cepat Dewa meraih dagunya, kemudian menyentuh bibirnya dengan lembut.