webnovel

Tujuhbelas

Troy terus mengurung diri di kamar. Tidak makan, tidak minum ataupun melakukan kegiatan lainnya. Bahkan kamar dikunci. Benar-benar tidak ada aktifitas dari dalam kamar.

Fenita dengan setia menunggu Troy keluar. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang dia tahu, dirinya khawatir dengan keadaan Troy. Ditambah lagi luka yang terlihat di wajah. Mungkin tidak hanya di wajahnya, di sekujur tubuhnya.

Tengah malam ini, Fenita memutuskan untuk tidur di ruang tengah. Dia melakukan itu agar dapat dengan cepat mengetahui kalau Troy keluar dari kamar. Dan benar saja, Troy keluar dari kamar malam itu.

Diam dan pura-pura tidur, Fenita tidak bergerak. Dan hal mengejutkan itu terjadi.

Troy tiba-tiba saja menjatuhkan dirinya, duduk di sofa tempat Fenita merebahkan tubuhnya. Setelah keheningan yang lama, Troy mendekati Fenita. Bau alkohol menyengat saat Troy mendekatkan tubuhnya ke tubuh Fenita. Beberapa menit sebelum Troy mengangkat tubuhnya dan kembali menegak minuman yang ada di gelasnya.

Astaga, bikin kaget aja. Hampir aja jantungnya copot.

"Kamu tidur?" suara Troy terdengar serak.

Fenita masih saja terdiam. Tidak bergerak maupun bersuara.

"Kenapa kamu mau nikah sama laki-laki brengsek ini? Kamu tahu kalau aku hanya mencintai satu perempuan aja. Belle, cuma dia yang aku cintai. Jangan harap kamu bisa menggantikan posisi Belle dihatiku."

Setelah omongannya yang panjang lebar itu, Troy kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Fenita.

Ya Tuhan, kenapa dia begini disaat mabuk?!

"Apa kamu tahu, dua tahun lebih aku nyariin dia, semua usaha aku kerahkan buat nyari keberadaan dia. Tapi apa balasannya sekarang? Dia malah nikah sama laki-laki lain. Bahkan dia hamil sama laki-laki itu."

Kembali hening. Fenita perlahan membuka matanya, mengintip apa yang dilakukan Troy. Baru setengah jalan membuka matanya, Fenita kembali menutup matanya.

"Apa ini balasannya karena aku manfaatin kamu? Apa kamu mengutuk agar aku nggak bisa bersatu sama Belle? Apa kamu diam-diam berdoa ke Tuhan supaya aku menderita?"

Terdengar suara Troy tercekat. Tubuhnya bergetar.

Troy menangis?

Hening kembali menyergap. Saat akan membuka mata, Fenita terkejut saat mendapati dirinya tidak bisa bergerak. Troy ambruk di sofa dan menindih tubuhnya.

"Troy?" Fenita memanggil nama itu.

Beberapa kali dipanggil, sang empunya nama tidak bereaksi. Bahkan setelah beberapa saat Fenita berusaha membangunkan, Troy masih tak bergeming. Lalu suara napas yang teratur seolah mengisyaratkan bahwa Troy sudah jatuh dalam tidurnya.

Setelah berusaha untuk keluar dari kungkungan tubuh Troy, Fenita tetap saja tidak berhasil. Yang ada, posisi Troy sekarang berada tepat di depannya dengan lengan yang melingkari pinggang Fenita.

Pada akhirnya, Fenita pasrah.

Nggak akan terjadi apa-apa. Dia akan segera sadar sebentar lagi. Fenita berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

...

Matahari pagi memancarkan sinarnya, memberi kehangatan untuk semua makhluk bumi. Tak terkecuali Fenita yang entah sejak kapan tertidur dalam pelukan Troy. Sesekali berusaha membangunkan Troy.

Dan akhirnya yang berusaha dibangunkan membuka matanya. Wajah Troy tepat berada di leher Fenita, sehingga setiap tarikan dan hembusan nafasnya terdengar oleh Fenita. Tak hanya itu, Troy dengan jelas bisa mencium bau parfum Fenita ysng unik. Percampuran antara buah-buahan yang menyegarkan dan juga bau lembut yang mrnyegarkan. Sungguh menenangkan.

Mendapati dirinya tidur di sofa bersama dengan Fenita, Troy terkejut dan hampir jatuh. Untung saja Fenita dengan sigap menarik Troy agar tidak terjatuh. Bisa dipastikan dia akan membentur meja kalau terjatuh.

"Maaf." kata Troy sambil bangkit.

Terlihat Fenita bernapas lega setelah Troy meninggalkan tubuhnya. Fenita hanya menganggukkan kepalanya.

"Aku ke kamar mandi dulu." lalu Troy meninggalkan Fenita yang masih terduduk di sofa.

"Shit! Troy kamu gila. Seharusnya kamu bisa mengontrol diri kamu. Bisa-bisanya kamu melakukan hal murahan itu dengan perempuan lain." Troy hanya bisa mengutuk dirinya sendiri begitu masuk ke kamar mandi.

Untuk menjernihkan pikirannya, Troy mandi dengan air dingin. Berharap dinginnya air yang membasuh tubuhnya bisa membuat Troy berpikir dengan tenang.

Untuk beberapa saat tubuh dan pikirannya tenang. Tapi untuk beberapa saat, otak Troy secara otomatis mengingat-ingat wangi parfum Fenita ysng tercium olehnya. Sekonyong-konyongnya, Troy berusaha mencari percamaan antara parfum Fenita dengan parfum Belle. Hampir mirip.

Begitu keluar kamar, Troy disambut dengan harumnya sarapan. Suara kerucuk perut tak dapat dihindarkan lagi.

"Ayo sarapan dulu." terlihat Fenita sedang menyajikan sarapan.

Besarnya godaan dan semakin nyaringnya suara perut Troy membuat dirinya mendekat kearah meja makan. Disana ada sup jagung kesukaannya dan omelet telur. Agak menyimpang, tapi Troy tidak keberatan menghabiskan sarapannya.

Berapa hari dia tidak makan? Rasanya piring yang ada dihadapannya selalu kosong dengan cepat. Tanpa malu, dia meminta Fenita untuk mengisi piring kosongnya, lagi dan lagi.

Akhirnya hanya tersisa kuah sup yang ada di mangkok. Kemana sisanya? Sudah berjalan dengan rapih menuju perut Troy. Dia kini merasa kenyang dan sedikit bahagia.

Iya, orang yang patah hati memang harus banyak makan, karena meratapi kisah cintanya juga memerlukan tenaga. Apalagi pura-pura bahagia.

"Boleh aku mengobati lukanya?" Fenita bertanya, hati-hati.

Sejenak Troy memikirkan tawaran itu. Dia harus terlihat baik saat kembali ke Indonesia. Oh, dan juga Nyonya Darren tidak boleh tahu tentang apa yang terjadi disini. Pada akhirnya dia menyetujui ide Fenita.

Keduanya lalu pindah ke sofa yang ada di depan televisi. Begitu menyadari apa yang telah terjadi diatas sofa itu, keduanya langsung canggung. Namun dengan segala profesionalisme Fenita, dia tetap mengobati luka yang ada di wajah Troy dengan tenang.

"Jangan sampai Mama tahu tentsng kejadian hari ini." kata Troy lirih.

Fenita hanya menganggukkan kepalanya.

Terkadang Troy tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh perempuan yang ada di depannya ini. Semuanya serba tak terduga. Tapi terkadang dia sangat mudah untuk ditebak. Hanya dengan melihat matanya saja, dia bisa tau apa yang dipikirkan perempuan yang kini menjadi istrinya itu.

Beberapa kali Troy merintih kesakitan saat Fenita terlalu menekan lukanya. Dengan segera Fenita menjauhkan tangannya dari wajah Troy dan menghentikan proses pengobatan.