webnovel

Tujuh puluh

Ketika semua orang masih tertidur pulas, Troy sudah memulai aktifitasnya. Jogging pagi membuat pikirannya lebih fresh, juga badannya akan sedikit relaks. Kata dokter, olahraga bisa membuat badannya tenang dan membuat dia bisa tertidur lebih mudah. Tanpa obat. Tapi kalau dipikir-pikir, tidak ada efek yang berarti terhadap tubuhnya. Dia masih saja insomnia bahkan setelah melakukan olahraga. Namun dia tetap bisa tidur beberapa jam tanpa perlu meminum obat.

Setelah mengelilingi kawasan sekitar tempat tinggalnya sekarang, Troy memutuskan untuk kembali dan bersiap untuk berangkat bekerja. Meninggalkan teman-temannya agar mereka bisa menikmati liburan. Nanti, saat dia sudah selesai bekerja, dia akan menyusul rombongannya untuk menikmati waktu libur.

"Kopi?" Alea yang rajin ternyata sudah bangun. Sibuk di dapur. Khas istri idaman.

"Yes, please." jawab Troy. "Aku tinggal mandi bentar."

Menganggukkan kepalanya, Alea lalu melanjutkan kegiatannya. Menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Meski sedang dalam rangka liburan, naluri Alea tetap saja tidak bisa santai. Dia khawatir kalau anaknya akan kelaparan karena belum sarapan. Belum lagi suaminya yang terkadang tak mau kalah dari anaknya. Rasanya Alea mendadak memiliki banyak anak. Timo anaknya, Aaron suaminya, Digta dan Troy adalah anak tambahan.

Tepat sebelum Troy berangkat bekerja, semua anggota sudah bangun.

"Katanya liburan, kok malah kerja sih?" tanya Digta, ketika melihat Troy yang sudah rapi dengan jasnya. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang masih kusut karena baru bangun tidur.

"Ada urusan sebentar. Nanti aku susul." kata Troy. Menghabiskan kopi dan mencomot sandwich buatan Alea. "Aku berangkat."

"Bye, Uncle." suara cempreng Timothy menyahut.

Melihat Timothy membuat Troy teringat akan anaknya dulu. Andai saja dia lebih perhatian kepada Fenita, mungkin anak itu akan seumuran dengan Timo sekarang. Tapi apakah dia akan tetap bersama dengan Fenita? Pertanyaan itu mengganggu pikirannya, mengingat dulu dia sangat membenci istrinya.

Seharian bekerja membuat Troy merasa tenang. Memang beban pikirannya beralih ke pekerjaan, tapi itu lebih baik karena ada hasil yang dia peroleh dari bekerja. Saking sibuknya mengurusi pekerjaan yang ada, Troy sampai lupa makan. Itu sudah menjadi kebiasaan dia sebenarnya, dan bahkan dia akan tetap biasa saja meski tidak makan. Seolah makan hanyalah sebuah formalitas yang harus dia lakukan agar dianggap normal oleh orang lain.

Beruntungnya ada Mr. Khan yang selalu setia mengingatkan Troy untuk mengisi perut. Dengan telatennya Mr. Khan membelikan makan siang untuk sang bos. Karena dia sendiri merasa prihatin dengan apa yang terjadi kepada bosnya. Siapa yang akan tahan menghadapi cobaan yang datang dua kali?

Sayangnya perhatian Mr. Khan tidak mendapat sambutan yang hangat dari Troy. Kotak makan siangnya masih utuh tak tersentuh diujung mejanya. Jangankan dimakan, bergeser sedikitpun tidak.

Tepat pukul 6 sore, Troy bangkit dari duduknya dan berjalan keluar. Melihat masih ada orang yang duduk di ruangannya, Troy membawa makan siangnya dan menyerahkannya kepada asistennya.

"Aku nggak tahu ini masih enak atau tidak, tapi makanan ini belum aku sentuh." ucap Troy sembari melangkah keluar kantor.

Tania, sang asisten, yang melihat hal itu segera mengarahkan pandangannya ke Mr. Khan, meminta penjelasan. Tapi orang yang dituju hanya menggerakkan mulutnya tanpa bersuara, seolah mengatakan 'makan saja' lalu mengikuti Troy dengan tenang.

"Nggak usah beliin aku makan siang. Kalau kamu punya waktu luang untuk membelikan aku makan siang, lebih baik kamu gunakan untuk berkencan." kata Troy, ketika keduanya sudah berada di lift.

Mr. Khan hanya diam saja.

"Ah, satu lagi, kapan kamu mau cuti selama sebulan?" Troy teringat akan perkataannya beberapa bulan lalu kepada Mr. Khan. Ketika dia merasa galau karena Fenita.

"Maaf, Sir, saya..."

"Mulai minggu depan kamu cuti. Matikan ponsel khusus kerjaan, atau tinggalkan di meja Tania." Troy memotong pembicaraan.

Entah apa yang membuat Troy ngotot menyuruh Mr. Khan cuti. Troy hanya ingin asistennya itu menikmati hidup layaknya orang biasa. Berkencan, menikmati kunjungannya dari klub satu ke klub lainnya, mendatangi tempat-tempat yang indah dan melakukan hal menyenangkan lainnya. Karena dia sadar, selama Mr. Khan bekerja untuknya, laki-laki kaku ini tidak pernah mengambil inisiatif liburan.

...

Sejak mengetahui dirinya hamil, Freya lebih berusaha untuk menjaga diri. Sebisa mungkin dia akan makan tanpa muntah, meminum obat dengan lebih rajin lagi. Dan juga menggerakkan badannya agar tidak kaku. Apalagi ketika dia memeriksakan diri dan mendapati bahwa janinnya berkembang dengan baik, membuat Freya semakin bersemangat.

Ini bukan hal yang diharapkan Fritz untuk terjadi, tapi ketika adiknya mulai berusaha bangkit, dia akan terus mendukungnya. Dia merasa sangat beruntung menyerahkan keputusan itu di tangan Freya, karena keputusan yang diambil oleh adiknya ternyata membawa dampak yang positif. Lihat saja Freya sekarang. Memang masih belum sekuat dahulu, tapi Freya dengan mantap berusaha berjalan mengelilingi taman belakang rumah. Itu sungguh kemajuan yang patut diapresiasi.

Seperti janjinya ketika meyakinkan Fritz bahwa pilihannya tidak akan pernah disesali, perlahan keadaan Freya membaik. Meski sedikit, dia terus berusaha memasukkan makanan kedalam perutnya. Dan perlahan juga infus ditangannya dilepas, menandakan bahwa keadaannya sudah membaik.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Friz, duduk disamping Freya yang sedang memandangi laptop.

"Jauh lebih baik." jawab Freya. "Apa aku boleh jalan-jalan?"

Beberapa keputusan yang Fritz ambil menyangkut kesehatan Freya membuat adiknya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Bahkan dia hanya bisa berkeliling rumah tanpa pernah keluar dari pagar rumah itu. Iya, Fritz memutuskan untuk mengambil cuti kuliah bagi Freya. Juga menghentikan semua kegiatan Freya yang berhubungan dengan pekerjaan kantor. Karena Fritz hanya ingin adiknya fokus pada kesehatannya sekarang.

"Oke, tapi weekend besok." kata Fritz, menyetujui permintaan adiknya.

Meski sudah menunjukkan kemajuan yang sangat bagus, Fritz tetap tidak mau lengah dalam menjaga adiknya. Dia tetap ingin memantau setiap perkembangan kesehatan adiknya. Apa dia terlalu protektif terhadap adiknya? Iya, dengan bangga dia akan menjawab. Karena hidupnya kini hanya berputar disekitar adiknya. Oh, ditambah juga dengan keponakannya yang belum lahir itu.

Freya menganggukkan kepalanya dan berterima kasih karena mau mengabulkan permintaannya. Jujur saja, terkurung di dalam rumah ini sangat membosankan. Meski sudah bisa berjalan dengan mantap dan tidak mual muntah lagi, Freya belum menginjakkan kakinya keluar pagar rumah. Setiap hari yang ditemuinya hanyalah para asisten dan kakaknya. Jovita memang datang sesekali, tapi tidak setiap hari.

"Kamu mau kemana?"

"Ke kampus kalau boleh. Kita bisa berkeliling kampus untuk olahraga."

"Oke, kita ke kampus."