71 Tujuh puluh satu

Weekend ini Troy memutuskan untuk melakukan perjalanan jauh. Ada kantor lain yang harus dia kunjungi, mumpung dia sedang ada di Australia. Setelah mendapatkan tiket untuk penerbangan paling pagi yang bisa didapatnya, Troy segera mengemasi beberapa barang yang akan dia bawa selama di Canberra. Meski sebenarnya dia tidak ingin menginjakkan kakinya disana lagi, tapi demi profesionalisme, Troy melakukan perjalanan kali ini.

"Aduh Tuan Bos, apa uang kamu udah mau abis? Kenapa kamu masih kerja saat kita liburan?" celutuk Aaron, ketika melihat Troy yang sudah menyeret koper mininya.

"Iya nih, bikin kita nggak enak ati aja." Digta menambahi.

"Kek seolah kita yang ngabisin duit buat liburan." tambah Aaron.

"Aku kan udah bilang, aku mau kerja disini. Jadi nggak usah sok ribet gitu lah." jawab Troy. "Aku cuma sampai Rabu disana, setelah itu kita bisa having fun sebelum balik."

"Hati-hati, Uncle." dari sekian banyak orang dewasa yang ada di rumah ini, hanya Timo yang baik hati mendoakan keselamatannya. Sungguh ironis memang.

Satu jam penerbangan rasanya benar-benar singkat. Dengan langkah beratnya, Troy berjalan keluar bandara, menuju apartemen yang pernah dia tinggali selama enam bulan. Bisa saja dia tinggal di hotel selama disini, tapi entah kenapa Troy ingin tinggal di apartemennya dan mengenang semua yang pernah dilakukannya bersama Fenita.

Tak dapat dipungkiri, ada rasa penasaran terhadap istrinya itu. Apa dia masih tinggal di kediaman kekuarga Mayer? Apa dia masih melanjutkan kukiahnya? Apa kegiatannya sekarang? Apa dia bertambah cantik?

Tersisip harapan di hatinya agar ada pertemuan antara dirinya dan sang istri. Meski itu hanya singkat, tapi dia benar-bensr merindukan senyuman yang terlukis di wajah Fenita. Kalau beruntung, dia ingin mencium aroma tubuh istrinya agar bisa dia bawa sebagai bekal tidurnya. Pengganti obat tidurnya yang sudah tidak mampu mengatasi insomnianya.

Sebelum menuju apartemen, Troy iseng-iseng mampir ke kampus. Meski hanya sebentar, tapi pengalamannya menjadi dosen sangat berkesan. Membuat dia ingin kembali menjadi pengajar. Ada kepuasan tersendiri ketika dia menatap mata berbinar milik para mahasiswa. Seolah dari mata mereka, Troy bisa melihat bentangan masa depan yang panjang dan penuh tantangan.

Tak sengaja, pandangannya menangkap sesuatu yang terasa familiar. Itu Fenita. Berjalan berdampingan dengan Fritz Mayer sambil bergandengan tangan. Meski dari jauh, Troy tidak akan pernah salah mengenali, karena dia hapal betul bagaimana bentuk Fenita. Lansung saja Troy keluar dari mobilnya, berjalan secepat mungkin ke arah keduanya. Tapi entah kenapa langkahnya terhenti, bahkan sebelum dia berada di jangkauan Fenita.

Berdiri disana Troy memandangi kedua manusia itu. Mereka tampak sangat serasi dan bahagia. Terlihat sesekali Fenita mengelus perutnya. Apa perempuan itu hamil? Oh iya, bukan hal yang mengherankan, karena istrinya sekarang sudah menjadi milik orang lain. Dan menurut Troy, Fritz Mayer adalah orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidup Fenita.

Sedikit amarah menyelinap ke dalam hati Troy. Katakanlah Fritz memang laki-laki yang sempurna, tapi apa Fenita tidak bisa memandangnya barang sedetik? Biar bagaimanapun, Troy masih suami Fenita, karena dia belum pernah mengajukan perceraian mereka ke pengadilan. Tidak, dia tidak akan pernah mengajukannya. Karena berkasnya sudah dia bakar bertahun-tahun yang lalu.

"Mr. Darren?" suara itu menyadarkan Troy dari lamunan. Ternyata Professor Kendrick yang menyapanya.

"Hai Professor, apa kabar?" balas Troy, merasa terkejut akan bertemu dosennya dulu. Orang yang memberinya kesempatan untuk menjadi dosen.

"Kabar baik. Kangen mengajar kah?" tawa sang professor pecah. Mau tidak mau Troy harus ikut tertawa, padahal hatinya sedang ingin menangis.

"Yah, ada pengalaman menarik selama 6 bukan kemarin. Terima kasih."

Keduanya lalu terlibat pembicaraan yang serius. Oke, mungkin kedengarannya biasa bagi keduanya, tapi bila orang lain yang mendengarnya akan terasa berbeda.

Amarah yang tadi menguasai Troy perlahan mulai pergi, digantikan dengan rasa takjub kepada orang yang ada di sampingnya. Professor Kendrick adalah dosennya dulu, dan meski sudah lewat beberapa tahun, beliau masih bersemangat untuk mengajar. Benar-benar semangat yang patut ditiru.

"Mampirlah ke rumah kalau ada waktu. Aku akan meminta istriku untuk memasak. Oh, jangan lupa aja Miss Mayer." kata sang professor, memberikan undangan untuk berkunjung. Dan sepertinya semua orsng masih mengingat hubungan antara dirinya dan Miss Mayer.

"Terima kasih atas undangannya, Professor, mungkin lain kali kami akan berkunjung." balas Troy sesopan mungkin.

...

Ketika sedang menikmati udara pagi yang sejuk, hati dan perasaan freya menjadi lebih ringan. Semua perasaan penatnya teralihkan. Memang benar, menikmati pemandangan alam bisa membuat otak segar kembali. Seperti ada tombol otomatis untuk me-refresh yanh terpasang diotaknya.

"Apa kita harus berkunjung saat hari biasa? Biar kamu bisa ketemu dengan teman-teman kamu." ucap Fritz sembari mengedarkan pandangan.

Kampus di hari Sabtu terasa sepi. Karena biasanya Fritz ke kampus itu saat hari kerja, banyak mahasiswa maupun dosen dan staff yang lalu lalang. Dan keadaan sekarang terasa asing baginya. Meski memang ada beberapa orang yang lalu lalang, tapi tetap tidak sebanyak saat hari biasa.

"Mungkin." Freya tak dapat menyimpan senyumnya.

Keduanya masih sibuk berjalan-jalan mengelilingi area kampus yang terbuka. Menjelajahi setiap inci kampus agar Freya merasakan pengalaman lain, tidak hanya di rumah terus.

Sampai ketika Freya mendapati sosok yang berdiri jauh diseberang parkiran. Tubuh itu berdiri mematung, tak bergerak sedikitpun, dengan arah tatapannya lurus kepadanya. Seolah dia bisa menembus pandangannya.

Itu Troy Darren.

Apa itu hanya halusinasi? Tapi kenapa rasanya dia sangat nyata? Bahkan dia dengan tatapannya itu membuat Freya merasa terintimidasi. Itu yang selalu dirasakannya ketika mendapati tatapan dingin dari Troy.

Seketika kekuatan menghilang dari tubuh Freya. Dia merasa kakinya tidak dapat menopang berat tubuhnya. Segera saja Freya mencari tangan kakaknya dan bersandar.

Fritz merasa ada hal aneh yang terjadi kepada adiknya. Beberapa menit yang lalu Freya terlihat baik-baik saja, tapi kenapa sekarang dia seperti akan pingsan seperti ini?

"Kamu nggak papa?" suara khawatir tak dapat disembunyikan Fritz.

Ditambah lagi tubuh Freya gemetar, atau menggigil? Entahlah.

Langsung saja Fritz membopong adiknya meninggalkan kampus. Dia segera membawa Freya ke mobil untuk langsung ke rumah sakit terdekat.

Anehnya, Freya yang terus gemetar seperti melihat hantu. Jelas terlihat dimatanya bahwa adik Fritz itu ketakutan. Apa yang baru saja dilihat Freya sampai merasa ketakutan seperti itu?

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Freya. Genggamam tangan Freya malah semakin menguat, membuat Fritz bisa merasakan kuku-kuku Freya menancap di lengannya.

Oh God, apa lagi sekarang? Kenapa malah nangis sekarang? Batin Fritz yang tambah panik.

Isakan itu belum reda, bahkan setelah Fritz memeluk tubuh Freya yang masih gemetaran. Dan Freya belum berniat mengungkapkan apa yang baru saja dialaminya.

"Aku baik-baik aja." akhirnya ada suara ysng keluar dari mulut Freya. Tapi bukan itu yang ingin di dengar Fritz.

Menekan emosinya, Fritz hanya bisa pasrah. Setelah memasang seatbelt-nya, Fritz meminta Taylor untuk melajukan mobilnya. Kembali ke rumah.

Sepanjang perjalanan, Freya tak melepas pegangan tangannya. Seolah dia akan ditinggal atau kehilangan kakaknya bila melepas pegangan itu.

Itu bukah hal yang ingin dilihat Fritz. Tujuannya mengabulkan keinginan Freya untuk keluar rumah adalah supaya adiknya paling tidak bisa mendapatkan pemandangan lain. Tapi nyatanya malah kebalikannya. Freya kembali ke rumah dengan wajah muram dan mata sembab karena menangis. Jauh lebih buruk daripada saat dia berangkat tadi pagi.

avataravatar
Next chapter