Sesuai perkataan Fritz beberapa hari yang lalu, dia akan menemani Freya untuk pergi ke Brisbane. Ketika surat keterangan dari dokter memberikan hasil yang memuaskan dan kesehatan Freya baik, Fritz segera meminta asistennya untuk menyiapkan pesawat.
Tepat pukul dua siang, rombongan Mayer sudah sampai di bandara. Disambut oleh pilot dan para staf penerbangan, Fritz membantu Freya masuk ke dalam pesawat. Dan sekali lagi, Fritz meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Karena semua persiapan sudah dia lakukan dengan sebaik dan sedetail mungkin.
Kedua Mayer itu sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Freya lebih banyak diam, sama seperti kakaknya. Hal itu dia lakukan agar bisa menyembunyikan rasa gelisah yang bercampur bahagia karena akan bertemu Troy. Meskipun dalam keadaan yang tidak begitu baik.
Selama penerbangan yang memakan waktu satu jam lebih, Freya berusaha mati-matian untuk menenangkan pikiran dan perasaannya. Meskipun dari luar dia tampak biasa saja, tapi dalam hatinya perasaan yang tak karuan menyelimutinya.
"Berapa lama perjalanan dari bandara menuju rumah sakit?" akhirnya Freya membuka mulutnya.
Fritz yang sedikit kaget langsung menjawab, "20 menit."
Seperti perkiraan Fritz, perjalanan dari bandara menuju rumah sakit memakan waktu 20 menit, bahkan mungkin lebih cepat.
Karena beberapa bulan ini sering mengunjungi rumah sakit, Freya tampak tak asing. Penciumannya langsung bisa menyesuaikan. Tapi entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah. Dia sangat takut untuk terus melangkah maju menuju ruangan manapun yang akan dia tuju. Takut melihat tubuh yang terbaring itu secara langsung.
"Jangan memaksakan diri. Kalau memang kamu belum siap, kita bisa menundanya." kata Fritz, menyadari bahwa adiknya merasa ragu-ragu.
"Don't waste your time." balas Freya, yang seolah kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Waktu yang diluangkan oleh Fritz sangat berharga, jadi Freya tidak mau membuat pengorbanan kakaknya menjadi sia-sia.
Fritz dan Freya, yang diikuti Taylor dan Paul, melangkah dengan mantap menuju ruangan yang sudah mereka ketahui. Lift yang membawa mereka terasa bergerak lambat, membuat Freya semakin tidak sabar.
Dari lift ini, freya bisa melihat Digta yang sedang duduk sendirian di depan sebuah ruangan. Tatapannya seolah tidak fokus. Tapi begitu dia mendengar suara langkah yang mendekat, Digta segera mengalihkan pandangannya.
Iya, mereka bisa melihat kekagetan di dalam wajah Digta. Tentu saja sahabat Troy itu tidak akan menyangka akan kedatangan mereka. Tamu yang sangat ditunggu. Yang meski mereka tunggu dengan penuh harap, nyatanya tidak ada tanda-tanda akan datang. Namun sekarang ketika Digta dan Aaron sudah pasrah, mereka menampakkan diri.
"Fenita." Digta langsung bangkit dan memeluk Freya. Hanya sebentar karen Fritz langsung menginterupsi mereka.
"Siapa dokter yang bertanggung jawab?" pertanyaan itu langsung terucap dari mulut Fritz.
"Dokter Andreas Thompson." jawab Digta singkat.
"Tunggu disini, aku akan menemui dokter." ucap Fritz kepada Freya. Yang dijawab dengan anggukan oleh Freya.
"Terima kasih kamu mau datang." perubahan pada wajah Digta jelas terlihat. Wajah itu tadinya kosong dan penuh kesedihan, lalu berubah menjadi kekagetan. Sekarang terlihat rona bahagia disana.
Freya hanya tersenyum. Dia segera berjalan mendekati dinding kaca itu. Entahlah, mungkin ikatan batin antara anak dan ayah, bayinya langsung bergerak aktif. Membuat Freya sedikit terkejut.
Sekuat tenaga Freya menahan agar air matanya tidak mengalir. Dia tidak ingin membuat Fritz khawatir hanya dengan setitik air mata. Tapi rasanya dia sangat sedih, hatinya terluka. Dan perasaan bersalah serta penyesalan memenuhi hatinya. Ini semua salah dirinya, sehingga membuat Troy berakhir seperti ini.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Freya, setelah sekian lama keheningan.
"Masih sama, belum ada perubahan." jawab Digta seadanya. Karena memang begitulah keadaannya.
Lama keduanya memandangi tubuh yang terkulai lemah itu. Keduanya pun tak perlu bersusah payah untuk memaksakan diri melakukan pembicaraan. Lalu datang Fritz bersama seorang dokter. Mungkin dia adalah dokter yang bertanggung jawab atas Troy. Dr. Andreas Thompson.
"Anda bisa masuk, Ma'am, tapi tidak lebih dari 5 menit. Mengingat anda sedang hamil." perkataan sang dokter membuat Freya sedikit terkejut.
Apa ini yang dilakukan Fritz ketika menemui sang dokter? Apa benar dia bisa melihat Troy dari dekat?
Freya menatap kakaknya untuk sesaat, memastikan bahwa dia memang bisa bertemu dengan Troy meski hanya sebentar. Dan anggukan itu terlihat, meski samar, tapi Freya bisa melihat anggukan Fritz.
Segera saja Freya melangkah menuju ruangan kecil yang ada di sebelah ruangan Troy. Sang perawat membantunya mengenakan pakaian pelindung yang membalut tubuhnya. Ketika Freya sudah siap, perawat membuka pintu ruangan Troy dan mempersilahkan masuk.
Waktu yang dia miliki hanya 5 menit, jadi dia harus bisa memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.
Perlahan, Freya berjalan masuk, menuju tempat dimana Troy terbaring. Semakin dekat dia berjalan, semakin tampak jelas wajah yang terpejam itu dengan terlihat damai. Seluruh bagian tubuh Troy ditempeli dengan berbagai macam selang dan kabel, membuat Freya merasa sedih dan sakit.
"Hai." hanya itu yang terucap. Mulutnya terasa kelu.
Air mata yang sedari tadi ditahannya keluar bagai banjir. Membasahi pipinya. Perlahan Freya menyentuh tangan Troy yang tidak dipasangi selang. Berdiri tepat disamping tempat tidurnya, Freya membawa tangan Troy yang lemah itu menuju perutnya.
"Baby, your father is here." Freya menggerakkan tangan Troy, mengeluskan tangan itu di perut buncitnya.
Reaksi sang bayi pun tak terduga. Seolah menikmati belaian sang ayah untuk pertama kalinya, dia hanya diam saja. Menyerap sebanyak mungkin belaian itu melalui perut Freya.
"Maaf, karena keegoisanku, kalian harus menderita." suara Freya yang tertutup isakan tak terdengar jelas. "Troy, anak ini perlu kamu. Bangun, buka mata kamu dan sapa dia. Dia dan aku membutuhkanmu."
Terasa gerakan di dalam perutnya. Anak pintar yang selama ini menjadi penyemangat hidup Freya bergerak dan seolah ingin mendapatkan pengakuan akan keberadaannya.
...
Apa ini mimpi? Kalaupun ini hanya mimpi, Troy tetap akan merasa bahagia.
Mimpi yang belakangan ini selalu datang dalam tidurnya. Ketika dia berjalan bersama istrinya, menggandeng tangan anak perempuan kecil yang tertawa bahagia. Menikmati sinar matahari dan bercanda bersama.
Entah berapa kali dia bermimpi yang berakhir melihat ke arah wajah dua perempuan itu meski akhirnya dia tidak bisa menemukan wajah keduanya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Troy bisa melihat wajah mereka. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan. Membuat semuanya terasa lebih indah.
Istrinya, wajah Fenita yang selalu saja membuatnya tenang meski hanya dengan melihatnya. Dan rasa bahagia itu dia rasakan sekarang, meski sebatas mimpi. Oh jangan lupakan putri kecilnya yang lucu dan menggemaskan, yang selalu memegang erat tangan Troy. Membuat Troy dipenuhi oleh kebahagian yang meletup-letup di dadanya.
Matanya tidak bulat seperti mata Fenita, lebih cenderung mirip mata miliknya. Tapi bibir itu mirip bibir fenita. Dengan pipi yang tembam dan merona merah muda, tampak sangat menggemaskan. Juga rambutnya yang seperti rambut Troy, berwarna coklat dan berantakan. Keseluruhan gadis kecil itu adalah Troy, sangat mirip dengan Troy dari segi manapun. Bahkan ketika dia tersenyum ataupun tertawa, wajah Troy kecil akan tampak jelas di wajah putri kecilnya itu.
Putri kecil? Itu artinya dia adalah seorang ayah sekarang. Dia memiliki anak yang cantik yang kini menyandang nama Darren dibelakang namanya. Mengingat hal itu, Troy tentu akan bahagia karena kini mamanya tidak akan pernah merecokinya dengan urusan percucuan, karena Troy sudah memberinya seorang cucu cantik.
Troy merasa puas dengan mimpinya. Semuanya terasa indah. Bahkan dia berdoa kepada Tuhan agar tidak terbangun dari mimpi ini. Menikmati setiap detik yang dia lewatkan bersama keluarga kecilnya.