webnovel

2. Aku Bukan Pelampiasan

Jangan jadikan aku sebagai pelampiasan.

Aku hanya anak kecil yang tidak siap untuk melihat semua ini.

Aku mohon sama Papa dan Mama.

-- Vidi Putra Haikal --

Kak Dina tampak kebingungan karena Ara tidak merespon teriakannya. Vidi masih terlihat lemas dan lemah di gendongan pengasuhnya.

"Ibu.... Ibu...! Kenapa Ibu tidak merespon?" Kak Dina panik bukan main melihat muka Vidi yang semakin pucat.

Kak Dina naik ke lantai dua dengan langkah cepat dan menidurkan Vidi di kamarnya. Dia turun kembali ke lantai satu dan membuka pintu kamar Ara dengan kasar.

Brakkk!

Sontak saja Ara kaget dan melihat wajah Dina yang penuh keringat dengan napas yang memburu tidak henti.

"Din, kalau buka pintu itu yang pelan. Jangan buat orang lain kaget. " Ara menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Dina.

Dina mendekati Ara yang masih duduk di depan layar lalu dengan kasar menarik tangan Ara dengan kuat.

"Din, ada apa? Kamu kenapa kasar sama aku? " Ara bingung melihat perlakuan yang tidak biasa dari Dina.

Ara menepis tangan Dina dengan kencang dan duduk kembali sambil meringis kesakitan karena tarikan Dina membuat noda bekas merah terlukis ditangannya.

"Ayo, ikut aku! Vidi pingsan! " Dina menarik kembali tangan Ara.

Ara terdiam dan terlihat bingung. Dia masih kaget dengan perkataan Dina. Bola matanya bergerak tidak teratur merasakan panik yang tidak jelas saat itu.

"Ibu, kenapa diam? Vidi pingsan! Anakmu pingsan! "Dina tampak kesal melihat majikannya yang diam mematung saat mendengar anak semata wayangnya pingsan.

Ara berlari naik ke lantai dua dengan cemas memikirkan keadaan putranya. Perasaan campur aduk ia rasakan saat itu.

Dia melihat tubuh anaknya terkulai lemas tampak tidak berdaya dan memanggil Mamanya berulang kali.

Langkahnya terasa lemas mendekati putranya. Air mata tidak dapat terbendung lagi dan dia duduk perlahan di samping Vidi.

"Ma... Mama.... Ma, " rintihan Vidi memanggil nama Mamanya. Suara rintihan penuh makna yang dikeluarkan anak yang merindukan kehangatan sosok seorang Ibu.

Ara menutup mulutnya dan terisak mendengar Vidi memanggilnya. Dalam keadaan yang belum sepenuhnya sadar, Vidi hanya ingat dengan Mamanya.

Dina berdiri di dekat pintu kamar Vidi dengan terisak dan memegang dadanya yang terasa nyeri. Dia seakan ikut merasakan apa yang dirasakan Ara dan Vidi.

Ara memegang kening putranya dan sontak berdiri. Dia mengambil termometer di kotak P3k di kamar Vidi.

Dina berjalan mendekat dan memegang seluruh badan Vidi.

"Bu, badan Vidi panas sekali, " ujar Dina melihat Ara yang masih belum menemukan termometer.

Tanpa peduli perkataan dari Dina, dia turun ke lantai bawah dan membuka kotak P3K yang menempel pada dinding dekat dapur. Tapi, dia juga tidak menemukan.

Ara kembali naik ke atas dan menyuruh Dina untuk membeli termometer dan obat penurun panas di apotek.

"Bu, kenapa tidak membawa Vidi ke rumah sakit? "

Ara tampak kesal dan berjalan mendekati Dina yang masih berdiri di dekat Vidi.

"Aku tidak ingin Haikal tahu kalau anaknya sakit. Apalagi sampai menunggu Vidi di rumah sakit."

Dina terpaku penuh heran mendengar jawaban dari majikan yang sudah menjadi panutan baginya selama ini.

"Bu, Pak Haikal berhak tahu kondisi putranya. Ibu, saya minta jangan egois, " pinta Dina.

Ara memeluk putranya dengan erat dan merasakan panasnya tubuh Vidi saat itu.

"Bu, mantan suami itu ada. tapi, mantan anak itu tidak ada, " tambah Dina.

Ara mengusap air matanya dan tetap egois dengan apa yang dia putuskan.

"Din, jangan banyak bicara dan lekas beli pesanan saya di apotek! "

Ara memerintah Dina dengan ketus tanpa melihat wajahnya. Dalam pikirannya saat ini hanya kesehatan Vidi. Dia takut jika putranya mengidap sesuatu yang serius.

Dina bergegas pergi ke apotek dengan hati yang kesal pada majikannya. Dia tidak habis pikir dengan pola pikir Ara. Dalam kondisi seperti ini dia masih juga egois.

***

"Mas, ada termometer dan obat sakit perut? "

Dina tampak panik dan kebingungan hingga salah bicara. Dia memukul-mukul kepalanya berulang kali.

"Maaf, maksud saya obat penurun panas untuk anak, " ucapnya mengklarifikasi kesalahan tadi.

Dia tidak sadar ada laki-laki berbadan tinggi tegap dan berkumis tipis memperhatikannya dari tadi. Pria itu melihat Dina dengan muka serius.

"Vidi sakit? " suara tidak asing terdengar oleh Dina.

Dina menoleh ke samping dan dia melihat postur pria itu dari ujung rambut sampai ujung kaki menelan salivanya.

"B-bapak? I-itu pak, emm... "

"Din, saya tanya sekali lagi! Vidi sakit?"

Pria itu adalah Haikal. Mantan suami yang membuat Ara tersakiti hingga sekarang. Pria yang membuat Ara trauma dengan laki-laki. Banyak laki-laki yang datang untuk menjalin hubungan serius dengan Ara. Dia selalu menolak karena masih trauma dengan perlakuan Haikal.

Dina gugup berdebar ketakutan melihat garis tegas wajah khas pria itu.

Haikal menaruh kedua tangan di pinggang dan matanya melotot melihat Dina yang mulai berkeringat.

"JAWAB!!! " bentak Haikal keras.

Semua orang di dalam apotek memandang mereka dengan penasaran dan orang-orang saling berpandangan. Haikal mulai menyadari menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Dia kemudian mengajak Dina duduk di bangku panjang berwarna putih.

Di telinga Dina masih terngiang gertakan dari Haikal. Rasanya ingin sekali dia keluar dari sana dan berlari pulang ke rumah. Dia paling tidak suka mendengar suara teriakan mantan majikannya itu. Dulu setiap kali bertengkar dengan Ara, Haikal selalu teriak hingga semua tetangga mendengarnya.

"P-pak,Vidi barusan pingsan lalu badannya demam, " ucap Dina dengan gugup.

Tanpa berpikir panjang, Haikal berlari dengan kecemasan yang memuncak. Hingga menabrak orang yang akan masuk ke dalam apotek.

"Pak, hati-hati! Jalan itu pakai mata bukan pakai kaki! " gertak laki-laki berperawakan kecil dan kurus.

Dina melihat kejadian itu lalu membantu pria itu berdiri. Sementara Haikal menuju tempat parkir bergegas ke rumah mantan istrinya.

"M-maaf ya, Pak? Bapak tadi tidak sengaja menabrak karena anaknya sedang sakit, " ucapnya membela mantan majikannya.

"Iya, lain kali hati-hati. Saya itu pergi ke sini buat cari obat. Saya lagi sakit, jalan susah,malah ditabrak!" ketusnya lagi.

Dina berlari mengejar Haikal. Dia menarik tangan Haikal sebelum masuk ke dalam mobil.

"Pak, jangan ke rumah! Saya mohon dengan sangat pada Bapak! " Dina memohon pada Haikal dengan wajah memelas.

"Mana obatnya? " tanya Haikal.

Dina memegang kemasan plastik bening berisi obat itu dengan kencang dan tidak ingin jika Haikal yang membawa obat itu untuk Vidi. Ara akan marah besar jika Haikal datang ke rumah.

"Pak, Bu Ara saat ini tidak dalam kondisi yang baik. Jangan memperkeruh masalah dengan kedatangan Bapak ke sana, " ucapnya penuh harap pada Haikal.

Haikal masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikan perkataan Dina. Dia menancap gas meninggalkan Dina sendirian di sana.

Dina memperhatikan mobil Haikal yang mulai menjauh darinya. Rasanya hari itu sangat lelah.

"Kenapa kalian tidak pernah dewasa demi putra kalian? Vidi terlalu kecil untuk kalian jadikan pelampiasan amarah, " gumam Dina jengkel dengan kelakuan majikan dan mantan majikannya itu.

Haikal cemas dan panik memikirkan keadaan putranya. Dia mengingat kembali masa-masa bersama anaknya itu. Sebenarnya dia menyesal tidak turut dalam pengalihan hak asuh anak waktu sidang perceraian. Dia percaya bahwa seorang Arabelle Agnia pasti bisa merawat dan mendidik Vidi dengan baik. Tapi apa? Ara justru tidak pernah peduli pada Haikal. Dan malangnya, Haikal hanya diberi waktu seminggu dua kali untuk menjenguk anaknya. Kalau sedang bertengkar seperti ini tidak diizinkan untuk bertemu Vidi.

***

"Bu, ini termometer dan obatnya, " menyerahkan bungkusan plastik yang masih terbungkus rapi.

Ara tertidur di samping putranya dengan terisak dan matanya sedikit bengkak. Ara tidak merespon dan hanya diam.

Dina menepuk pundak majikannya dengan pelan. Dia tidak ingin membuat Ara kaget.

"Din, kenapa lama sekali?" tanyanya dengan suara serak.

Dina duduk di sebelah Ara dengan hati-hati agar Vidi tidak terbangun. Dia memulai percakapan yang mungkin membuat Ara cemas.

"Bu, tadi saya tidak sengaja bertemu Pak Haikal, " ucapnya lirih memegang tangan Ara yang mulai dingin. Dia belum makan dari pagi karena bertengkar hebat dengan istri Haikal. Tidak dapat dipungkiri membuat Ara hilang nafsu makan.

Ara sontak kaget dan melihat tajam ke mata Dina penuh dengan pertanyaan dari sorot matanya.

"Kenapa bisa? Sekarang Haikal di mana? Apa dia di luar rumah? Atau dia di luar kamar ini? " Ara cemas dan gelisah luar biasa hingga tidak dapat mengecilkan suaranya dan mengontrol dirinya.

"Bu, tenang! "

Ara mondar mandir di kamar karena khawatir jika Haikal akan datang. Dina mengajaknya duduk dan berusaha membuat majikannya itu untuk tenang.

"Bu, maaf kalau saya lancang. Tapi, Vidi itu anak kandungnya Pak Haikal. Vidi sudah 2 minggu tidak bertemu. Pasti dia ingin bertemu Papanya, " mata berkaca-kaca menatap Ara.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh anakku. " Ara keras kepala menolak permintaan Dina.

Dina menggelengkan kepala heran menyaksikan Ara yang begitu egois dan kaku. Dia menghela nafas panjang, "Bu, cukup Pak Haikal yang menjadikan Vidi pelampiasan. Ibu jangan seperti Bapak. " Dina berlalu meninggalkan Ara.

Ara berjalan pelan menuju jendela kamar. Dia masih terngiang ucapan Dina, "Apa aku menjadikan anakku sebagai pelampiasan? " gumamnya menengok ke arah Vidi.

"Nak, Mama minta maaf sama kamu. Mama saat ini sedang kalut, " isaknya menyeka butiran bening yang terus menetes.

Pandangannya tertuju pada mobil hitam yang berhenti di depan rumah. Dia merasa tidak asing dengan penampakannya. Seorang pria dan wanita turun dengan tergesa-gesa namun masih bisa bergandengan mesra. Wanita itu sesekali mengusap air mata pria itu dengan tangan yang terlihat berat. Deretan gelang emas hampir memenuhi tangannya.