webnovel

Prolog and Chapter 1. Mengenang Almarhum Mama

Terlahir dari keluarga terpandang dan bergelimang harta tidak menjadi jaminan seseorang itu bahagia. Buktinya aku, Dewi Eluxiana Wijaya. Seorang wanita cantik dengan manik coklat nan mengkilap, jauh dari kata itu.

Terlebih parahnya lagi sebagai keturunan Wijaya, selalu tertuduh sebagai pelakor, perebut calon suami sahabat karibnya sendiri, Fani Angelita.

"Aku sama sekali tidak tahu, Fani, bahwa lelaki yang ku nikahi ini adalah calon suami-mu. Andai aku tahu …"

"Cukup! Aku tidak ingin mendengar sepatah katapun keluar dari bibir munafikmu itu, pelakor!" Bentak Fani penuh dengan nada penekanan serta iris yang melotot.

Seandainya saja Dewi tidak begitu takut pada sebuah tulisan dalam kepercayaan, pasti akan dengan sukarela mengembalikan lelaki itu pada wanita yang mengaku lebih berhak atas mas El.

Pun sebagai seorang istri, Dewi tidak pernah diperlakukan layak, di sayangi, terlebih lagi mendapat perlindungan. Tidak pernah sama sekali. Status sah di mata hukum, tapi tidak di mata El-Pramana, suami dari putri Adi Wijaya.

Bahkan sebahgai seorang istri, Dewi tidak sekalipun merasakan kehadiran sosok pendamping. Dewi itu adalah istri yang tak dianggap. Maka dari itu dirinya datang, ingin membagikan sedikit keluh kesah, luka, serta air mata pesakitannya. Seringkali juga bertanya pada istri-istri khalayak, apakah benar bahwa istri wajib dijadikan tulang punggung keluarga, sementara suami diluaran sana bergulatkan wanita?

DE COSTA, Emberna Hotel.

Emberna, Zyalora.

Pukul 11.45 siang.

Angin tertiup perlahan. Membawa kehangatan pada permukaan kulit setiap penikmatnya. Terik cahaya mentari berpadukan dengan desir debu nan menyapu. Dewi tengah berada pada teras cafetaria DE COSTA Hotel berteman dengan segelas dalgona ice. Manik bulatnya perlahan menatap sekeliling sebelum kembali bergelut pada ponsel kesayangan. Rasa isak kian menghimpit ketika Adi masih saja menunggu kedatangannya.

"Masa meeting juga belum usai, putriku?" Pesan singkat yang tertulis dalam layar ponsel Dewi. Nafas lelah mengiringi deru udara yang terhirup, bersamaan dengan itu Dewi harus kembali menipu jika saat ini masih berkutat meeting sehingga mengirim pesan pada papa kandungnya supaya pulang terlebih dahulu.

Namun, Adi tak mengindahkan permintaan putri sematawayangnya itu. Dengan penuh kesetiaan tetap saja menunggu kedatangan Dewi sembari menyandarkan kepala pada sandaran sofa. Di tatapnya laingit- langit ruangan Dewi.

Dan entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan yang jelas ingatannya berhiaskan pada kejadian beberapa tahun silam. Dimana sang istri tercinta menyetorkan nyawa dalam kecelakaan pesawat ketika dalam perjalanan menuju luar kota untuk menjenguk sang putri terkasih yang tengah menempuh gelar PhD di Denpark University.

Kisah mengerikan itu masih saja membekas dalam hati seorang pemimpin perusahaan ternama ini dan tentu di dalam hati Dewi juga. Seandainya waktu mampu diputar kembali, Dewi tidak akan pernah memaksakan kehendaknya meninggalkan kota Zyalora hanya sebagai pemuas Hasrat untuk mengenyam Pendidikan pada Universitas nan terkenal tersebut.

Ingatan Adi pada almarhum sang mama telah berhasil menggiring cairan bening menggenang di pelupuk mata. "Ma, Dewi sangat merindukan mama." Suara lirih yang berpadukan dengan tetesan air mata terus saja mengalir membasahi pipi mulus tanpa henti.

Tidak ingin ada pengunjung yang memergoki, segera saja Dewi mengusap kasar pada kedua kelopak matanya. Namun, tetesan air mat aitu masih saja setia mengaliri pipi cabi beriringan dengan langkah kaki yang semakin menjauh.

Tentunya sebelum pergi Dewi sudah menyelipkan tiga lembar kertas bertahtakan Soekarno-Hatta di bawah cangkir yang sama sekali belum tersentuh.

"Mba.. mba, tunggu!" Suara melengking dari seorang wanita yang tengah mengejar langkah Dewi. Tentu saja kalimat itu membuat langkah kaki Dewi terhenti. "Maaf, mba, uangnya kebanyakan." Yang segera saja di sambut dengan seulas senyum tipis. Sangat tipis, hingga pelayan tersebut tidak mengetahui bahwa Dewi tengah tersenyum.

"Buat mba 'nya saja."

"Tetapi, mba, ini masih tersisa banyak, loh."

"Tidak masalah, mba. Kalau mba nggak mau, kasih saja buat teman yang lain di dalam sana. Permisi."

Dewi langsung saja memutar badan dan segera melanjutkan langkah kakinya menuju tempat parker. Sedangkan waiters tersebut masih saja ternganga dengan uang pada genggamannya. "Secangkir dalgona itu tidak sampai serratus ribu dan ini uangnya lebih dari … uang ini tiga ratus ribu." Lalu, kembali di tatapnya punggung Dewi yang semakin menjauh dari pandangan. "Terimakasih, mba." Teriaknya yang entah terdengar oleh Dewi atau tidak yang terpenting dia sudah mengucapkan kata itu.

"Ngapain kamu senyum-senyum? Pasti baru dapat tips banyak."

"Hahaha.. pasti, dong."

"Berapa?"

"Ngapain, sekarang kamu kepo banget ya nih anak." Sembari menjitak kepala Dini. Tak ayal Dini dibuat kesal sehingga langsung memukul balik.

"Lhoh, itu 'kan mba yang kasih tips tadi. Kok masih disana, ya. Apa masih menunggu jemputan?" Lirih wanita bercelemek kain hitam sehingga tidak ada yang mendengar ucapan apa yang tengah keluar dari bibirnya.

Iya, itu benar. Dewi memang belum dijemput padahal dia sudah berkirim pesan pada Masda supaya menunggu di lobby. Namun, entah kemana perginya si Masda, yang jelas Dewi dibuatnya semakin kesal. Umpatan demi umpatan keluar begitu saja ketika mobil yang di tunggu belum juga menunjukkan batang hidung.

"Kemana, sih, Pak Masda?" Geram, Dewi langsung meraih ponsel dari dalam tas kecil yang bergantung pada pundaknya lalu menghubungi nomor dari sopir pribadinya itu. Tetapi, sudah dua kali melakukan panggilan, ia belum sama sekali mendapat jawaban. "Ish … kemana, sih? Panggilan nggak mau angkat." Bersamaan dengan itu tepukan lembut mendarat pada pundak Dewi membuat dirinya terperenyak.

Tanpa berpikir panjang, wanita berbalut dress putih itu menolehkan wajahnya sehingga beradu tatap dengan manik biru yang menatapnya dalam serta lama. Dewi memutar bola mata lalu bertanya- tanya, siapakah gerangan? Pun belum juga pulih dari rasa terkejut, lelaki berlengan kokoh itu langsung mengulurkan tangan, berirama dengan suara bariton yang terdengar begitu lembut nan seksi. "Bahagia bertemu dengan kamu disini. Bagaimana kabar kamu?"

"Emm.. ap akita saling kenal?" Nada suara yang terucap dari bibir tipis Dewi terdengar tak bersahabat yang langsung disuguh menggunakan seulas senyum hangat. "Tentu saja kit aitu saling mengenal, Nona Wijaya." Mendengar seseorang memanggilnya dengan sebutan Wijaya, mengingatkan pada teman- temannya di Denpark. "Apakah kamu..?"

"Benar, nona Wijaya. Hemh, tidak disangka cepat sekali kamu melupakan saya. Kalalu begitu, mari kita berkenalan lagi." Sembari menjulurkan tangan yang langsung di sambut hangat. "Leonard Harvard." Irasnya berpadukan dengan senyuman.

"Oh.. iya, apa yang tengah kamu lakukan disini? Berlibur, atau honey moon?" Dewi mulai mengingat dengan sebuah nama yang memang tak asing baginya itu.

"Tentu saja liburan, nona Wijaya. Saya 'kan tidak memiliki keluarga disini. Jadi, ya, kedatangan saya disini untuk berlibur dan kebetulan saya menginap di hotel megah ini. Kmau sendiri, apa yang kamu lakukan disini, menginap di hotel mewah ini juga?"

Dewi hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Pun lelaki yang biasa di panggil dengan Leo itu menyempitkan kedua bola mata hingga keningnya berkerut. "Lalu?"

Segera saja Dewi menjelaskan bahwa dirinya usai meeting dan sekarang ini sudah waktunya untuk kembali ke kantor akan tetapi supirnya belum juga datang. Dan, Leo menawarkan untuk melanjutkan perbincangan di dalam tetapi langsung di tolak oleh Dewi. "Oh, baiklah. Kalau begitu saya temani kamu saja disini, nona Wijaya."

"Huft, bisakah memanggilku dengan Dewi saja. Nama Wijaya terdengar sangat asing jika disini." Lirih Dewi pada akhir kalimat.

Leo langsung mengerutkan keningnya. "What?" dan bersamaan dengan itu kedua telapak tangannya diangkat hingga sejajar dengan buah dada miliknya sendiri.

Tak ingin berkepanjangan, Dewi sedikit menyajikan senyum langka. "Iya, panggil Dewi saja. Nama aku itu Dewi Eluxiana Wijaya.

Leo membalas kalimat Dewi dengan sedikit berdehem. "Okay. I know."

Saat tengah asyik bertukar ucap, manik biru menangkap seorang lelaki dengan pakaian serba hitam sedang berlari mendekat. "Itu sepertinya supir yang kamu tunggu." Ucap Leo, bersamaan dengan itu Dewi menolehkan wajahnya membuntuti arah pandang lelaki bertubuh kekar nan berpakaian santai.

Benar, itu adalah Masda. Dirinya terlihat kewalahan mengatur nafas. "Permisi, non Dewi. Maaf menunggu lama." Dewi hanya menggendus kesal. Memang putri dari keturuan Wijaya ini paling tidak suka jika harus menunggu. "Dari mana saja, sih, pak?"

"Maaf, non Dewi. Tadi saya masih ke kamar mandi dan ponsel saya ketinggalan di dalam mobil. Mari, non, silahkan." Sembari membukakan pintu mobil. Gerakan tangan Masda yang hendak menutup pintu tertangguhkan oleh Leo, lelaki itu sengaja menyandarkan tubuhnya disana.

"Jangan lupa telepon, ya. Saya tunggu. Kamu menjadi teman liburan selama saya di kota Zyalora."

Lalu, dimana dengan kata jika istri adalah tulang rusuk yang tak bisa diluruskan?

Yuk, simak kelanjutan kisah Dewi Eluxiana Wijaya dalam mencurahkan isi hatinya. Bagi sesame istri yang pernah tersakiti, mari saling menguatkan.