Hanin dan Delice menunggu Dokter Jean yang sedang mengobati Naura di dalam kamar. Delice tidak akan membiarkan Hanin melihat luka di tubuh Naura. Delice tidak ingin menerima banyak pertanyaan karena hal itulah yang Naura inginkan supaya Hanin tidak mengetahuinya.
Sebisa mungkin, Delice membuat suasana setenang mungkin dan senormal mungkin supaya Hanin tidak mencurigai sesuatu karena selama ini, Hanin hidup dengan baik di bawah pengawasan Delice.
"Paman, apa Kakakku akan mati?" tanya Hanin.
DEG... DEG... DEG...
Jantung Delice berdebar hebat setelah mendengar pertanyaan Hanin yang begitu menohok.
"Siapa yang mengatakannya?" tanya Delice.
"Ayah!" jawab Hanin dengan sangat polos.
"Pria tua itu, bisa-bisanya berbicara seperti ini," batin Delice sembari mengepalkan tangannya.
CEKLEK...
Dokter Jean membuka pintu kamar. Delice yang sedang terhanyut dalam lamunan, langsung tersadar.
"Demamnya sudah turun, Tuan! Nyonya harus di kompres hingga suhu tubuhnya stabil," ujar Dokter Jean.
"Minta Olin untuk mengambil kompresan. Biar aku yang melakukannya," ucap Delice.
Delice masuk ke dalam kamar kamar sembari menggandeng Hanin ikut bersamanya.
"Naiklah ke atas tempat tidur dan tidur di sebelah Kakakmu. Menurutlah! Biar Paman yang menjaga Kakakmu!" ucap Delice sembari mengelus ubun-ubun Hanin.
"Iya, Paman!" jawab Hanin.
Delice menyelimuti Hanin yang sudah berbaring di samping Naura. Olin masuk dengan membawa air hangat untuk mengompres. Olin meletakkan wadah air itu ke meja, di samping Delice yang duduk menunggu Naura.
"Tuan, biar aku yang menjaga Nyonya," ujar Olin.
"Tidak! Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Biar aku yang menjaganya."
Olin keluar, sesuai dengan perintah Delice. Hanya saja, setiap 10 menit sekali, Olin datang untuk mengganti air kompresan. Hanin bermain keliling taman, untuk menikmati bunga-bunga di musim semi setelah bangun dari tidur siangnya.
Olin menjaga Hanin, sesuai dengan perintah. Delice sama sekali tidak beranjak dari tempatnya duduk. Bahkan, makanan yang di antar oleh Bibi Lu, sama sekali tidak di sentuh hingga kembali dingin.
"Naura, bisakah kau membagi rasa sakitmu?" gumam Delice sembari mencium kening Naura.
Tubuh Naura menggigil, Delice melepaskan pakaiannya, lalu tidur di samping Naura dan memeluknya. Delice membuat tubuh Naura merasa hangat melalui tubuhnya.
"Sihir apa yang kau berikan, sampai aku bisa mencintaimu? Naura, ku mohon... Cintai aku!" gumam Delice.
***
Ken dan Loid sudah sampai di mansion dengan kondisi yang sangat berantakan. Pemeran kedua sudah hadir dengan semangat yang membara.
"Hanin!"
"Paman Ken!" teriak Hanin.
Ken diam-diam sering mendatangi Hanin sehingga mereka lebih akrab di bandingkan dengan yang lain.
"Main yang puas ya! Paman sangat sibuk hari ini," teriak Ken.
Ken dan Loid, masuk ke dalam kamarnya masing-masing dan membersihkan diri. Setelah itu, mereka pergi ke penjara bawah tanah untuk mengurus kasus yang belum selesai.
Ken membuka pintu dan terlihat, banyaknya tawanan. Tidak perduli mereka memiliki jabatan apa, tidak peduli dengan status mereka semua, jika mereka bersalah dan berurusan dengan Felice, tidak akan ada kat maaf. Jika mereka tidak mati, mereka akan cacat. Dan sebagian orang, memilih mati di bandingkan hidup dengan ketidaksempurnaan.
Ken sangat bersih, jika tugasnya sudah selesai. Begitupun dengan Loid. Namun, berbeda dengan Felice. Delice jarang sekali turun tangan, kecuali dengan orang yang sudah di targetkan.
"Loid, apa tidak sebaiknya kita menungguTuan?" tanya Ken.
"Kau panggil saja!" jawab Loid.
Loid memeriksa tawanan, sedangkan Ken memanggil Delice. Langkah Ken ragu, ketika sudah sampai di depan pintu.
Delice memeriksa suhu tubuh Naura yang sudah membaik. Hanya saja, karena obat yang Dokter Jean berikan, Naura masih tertidur dengan pulas.
"Masuk saja! Untuk apa bolak balik di depan pintu?" teriak Delice.
Ken tersentak kaget karena kepekaan Delice semakin lama semakin tajam. Mau tidak mau, Ken tidak bisa mundur lagi dan harus tetap masuk karena keberadaannya sudah di ketahui oleh Delice.
"Aku masuk!" ucapnya.
Ken jalan mendekat ke arah Delice namun pandangan matanya melihat ke arah lain. Delice mengernyitkan kedua alisnya karena sikap Ken sedikit berbeda.
"Ada apa?"
"Tuan, seperti apa keinginan Anda saat aku harus mengeksekusi Harco?" bisik Ken, tepat di telinga Delice.
"Istri dan Putrinya?" tanya Delice.
"Seperti yang Anda inginkan!"
"Kau tunggu di sana. Aku akan menyusul!"
Ken keluar dari kamar, kemudian Delice mengganti pakaiannya lalu menyapa Naura dengan sedikit kata.
"Maaf, aku harus menyelesaikan urusanku," bisik Delice sembari mengecup bibir Naura.
***
Tuan Harco, Istri dan juga Putrinya yang masih berumur 16 tahun, sudah di bawa ke ruang rahasia. Loid maupun Ken, sudah menunggu Delice karena mereka sudah tidak bersabar untuk kembali bermain-main.
TUKKK... TUKKK... TUKKK...
Suara kaki Delice terdengar menggema dan juga berirama. Namun, untuk musuh yang tertangkap, irama itu seperti kematian bagi mereka.
"Kenapa tidak memulainya?" tanya Delice yang baru saja tiba.
"Sudah pasti, kita harus melakukannya sama-sama!" jawab Ken.
Delice melemparkan sebuah belati kecil pada Loid. Dengan anggukan dan sebuah kode mata, belati itu sudah berpindah menancap pada mata Tuan Harco.
"AAAACCCCHHHHHHH," teriak Tuan Harco.
"KYAAAAAA... AYAH!" teriak putri semata wayangnya.
"Hanya sebuah hukuman kecil. Berhentilah berteriak, karena aku tidak tahan untuk merobek mulutmu!" bentak Delice.
Seketika, tangis itu senyap dan hanya tertinggal butiran-butiran airmata yang mengalir deras. Ketakutan maupun keputusasaan, membuat gadis itu tidak bisa membuat pilihan untuk hidupnya.
"Ambilkan aku air!" pinta Delice.
Loid mengambil satu ember besar air dingin dan memberikannya pada Delice. Tatapan mata Delice, berubah menjadi iblis. Tidak ada kehangatan maupun keraguan dalam sebuah tindakannya.
BYUUUURRRR...
Delice menyiram Ibu dan Anak itu dengan air dingin. Tidak perduli dengan umur, sekali rasa benci sudah tertanam, tidak akan ada lagi kata memaafkan.
"Siapapun yang menyentuh keluarga wanitaku, dia layak untuk mati!" batin Delice sembari mengepalkan tangannya hingga menampakkan urat-urat di lengannya.
Delice tidak akan menghukum atau menyeret keluarga musuh jika mereka tidak mengetahui perbuatannya. Semua yang terseret dan ikut gugur, adalah mereka keluarga yang ikut mendukung meskipun itu adalah sebuah kesalahan.
Delice mengangkat tangannya yang sudah memegang pistol. Pistol itu mengarah ke arah gadis yang memeluk Ibunya dengan ketakutan.
"Tuan, ampuni aku!" rengek gadis itu.
"Siapa namamu?" tanya Delice.
"Salsa!"
"Katakan dengan jujur, kau yang meminta bajingan itu untuk menyuap pimpinan saat kompetisi pianis, bukan?" bentak Delice sembari menunjuk ke arah Tuan Harco.
"Benar, Tuan!" jawab Salsa.
"Apa yang dapat setelah menang? Aku tidak akan mempermasalahkan kau menang dengan cara apapun. Yang membuatku muak adalah, kau merusak melodi piano yang akan di pakai lawanmu, dan membuatnya malu!" Delice semakin mendekatkan pistol itu ke kepala Salsa.
"Tuan, ampuni Putriku. Dia masih kecil, jadi tidak tahu apa yang di lakukannya salah," Nyonya Harco bersujud di bawah kaki Delice, memohon ampunan atas nama Putrinya.
"Nyonya, tubuhmu boleh juga!" bisik Delice.
***
HAPPY READING YA!
JANGAN LUPA FOLLOW IG SABRINA_ANGELITTA
FB : SABRINA ANGELITTA
KASIH ULASAN DAN JUGA KOMENTAR YA...
KRITIK DAN SARAN JUGA DI PERSILAHKAN!