webnovel

My Destiny from the Dream

[PROSES REVISI] Ini merupakan mimpi-mimpi kematian yang dibawa oleh seorang gadis bernama Aya. Siapapun yang mengenalnya, akan mendapatkan kematian melalui kejadian yang menjadi kenyataan dari mimpi Aya. Ini merupakan kisah dimana Aya sang gadis kutukan mimpi yang penyendiri dan juga kisah cinta dari sahabat kecilnya yang tidak takut mendapatkan kematian dari Aya. * Hai semua! Ini adalah cerita keduaku disini Romansa yang sedikit berbumbu fantasy Berharap kalian suka:)) Jangan lupa beri power stone Sangat terbuka untuk komentar yang membangun Cover by apgraphic_ Terima kasih! Chuuby_Sugar

Chuuby_Sugar · แฟนตาซี
Not enough ratings
353 Chs

Suka Atau Gak

"Bu Wati gak takut dapet mimpi dari aku?" Wati berfikir sejenak.

"Aku punya Tuhan yang melindungiku. Jadi gimana? Kalian mau terima aku jadi teman." Aya dan Citra saling menatap, sedikit tak menduga bahwa Wati akan percaya pada hal yang mungkin terdengar konyol bagi siapapun yang pertama kali mendengarnya.

"Terima kasih." Aya memeluk Wati diikuti Citra. Satu list teman Aya terisi, Aya sangat senang.

"Bukannya sebelum jadi teman, kamu udah kenal Wati ya Ya? Bahkan lebih lama dari kenal aku. Kok gak dapet mimpi tentang Wati?" Ujar Citra seraya melepas pelukannya.

Aya menatap Citra kebingungan. Benar juga. Kenapa tidak terfikirkan?

*

Tian terduduk disebuah meja yang sudah terisi penuh enam orang pria di salah satu restoran pusat kota. Sakit di pipinya belum menghilang sedari pagi. Namun sakit di pipinya tak sebanding dengan sakit yang dirasakan hatinya, karena mengetahui ayah Aya ternyata masih terlihat tidak suka padanya.

"Ada yang baru dateng tapi cemberut nih." Sindir Andi sang dosen.

"Padahal sendirinya udah sukses lahir batin." Ujar Rian menambahkan.

"Apalagi kalau gak Aya?!" Tebak Yuda.

"Diem lo pada." Mendengar Tian berbicara dengan nada keras, membuktikan bahwa tebakan Yuda benar adanya.

"Iya kita mah diem aja, lo nyanyi aja sana. Tapi anggep lo gak kenal sama kita." Goda Yuda.

"Udah jangan godain terus, kasihan tuh wajahnya memar gitu kenapa?" Ujar Agus menengahi teman-temannya.

"Kenapa Yan?" Tanya Jojo sama penasarannya dengan yang lain.

"Gak usah sok perhatian lo." Tian melempar kentang goreng, tepat terkena wajah Jojo.

"Ngajak ribut ya lo. Sini ribut. Gue tambahin tu memar di pipi yang satu." Semua teman-teman Tian yang ada disana sontak riuh.

"Tian. Jojo." Mereka serempak mengucapkan nama Tian dan Jojo bergantian. Seperti menyebutkan nama pada sebuah lomba. Lomba Tinju.

Sedangkan Agus hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah teman-temannya. Bahkan Verdi yang sedari tadi berdiam diri kini ikut menyoraki.

Beberapa pengunjung restoran menjadikan mereka sebuah tontonan gratis. Tian dan Jojo sudah siap untuk saling baku hantam.

"Kalian STOP!" Putus Agus segera, tak ada yang berani berseru, atau bahkan bergerak jika Agus sudah marah.

"Aku ada pasien nih." Ucap Rian pura-pura mengecek hpnya.

"Jangan kabur! Semuanya duduk!" Rian kembali duduk manis ditempatnya. Diikuti yang lain.

"Bagus, makan. Tian pesen makan sendiri jangan ambilin punya Andi sama Verdi." Semua orang memilih menuruti perkataan Agus ketimbang harus mendengar beribu kata mutiara dari Agus.

Tian memanggil pelayan dan memesan makanannya sendiri serta tambahan camilan yang sedari tadi sudah dihabiskannya sendiri.

"Lagian sih lo, gue tanya baik-baik juga." Ucap Jojo sambil menudingkan pisau kearah Tian.

"Heh, itu tindakan mengancam orang, gue penjarain tau rasa lo!"

"Gak peduli, lo kan bukan polisi." Tian mengambil bunga dari dalam vas ditengah-tengah meja mereka, menimpukkan bunga itu ke kepala Jojo.

"Eh berani lo!"

"Jangan mulai." Verdi yang sedari tadi belum mengeluarkan suara kini membuat Tian dan Jojo terdiam.

"Lo ada masalah ya Ver?" Tebak Yuda lagi dan Verdi hanya terdiam. Semua orang mengerti kediaman Verdi yang berarti benar ada masalah dengannya.

"Ya Allah ada apa dengan teman-teman hamba? Kenapa dunia mereka penuh permasalahan?" Ucap Jojo berlebih-lebihan.

"Masalah organ tubuh noh, lebih rumit, lebih puyeng tau gak?" Semua orang serempak menggelengkan kepalanya menjawab Rian.

"Cerita sama kita Ver?" Bujuk Andi.

Verdi nampak berfikir sejenak.

"Gue mau cerai."

"Ha?"

"Sama istri yang dijodohin mama kamu itu?"

"Kenapa kok bisa?"

"Kalian berantem?"

"Ngalah aja kalau sama cewek. Jangan keras kepala makanya."

"Terus gimana?"

"Lo nya mau apa enggak?"

"Dipikirin mateng-mateng dulu."

Dan rentetan pertanyaan lain dari teman-temannya.

"Biar gue jelasin dulu." Semua orang siap menyimak.

"Jadi gue di gugat cerai, karena gak pernah kasih dia nafkah. Salah gue juga kalau gue selalu bawa wanita kerumah padahal ada dia."

"Wah keterlaluan banget lo."

"Lo harus rubah kebiasaan lo."

Verdi menghela nafas. "Iya gue tahu. Gue juga ragu mau pisah sama dia atau gak?"

"Lo suka sama dia enggak?"

"Gue gak tahu."

"Gini, misal lo kalau lihat dia, ada perasaan apa gitu?"

Verdi berfikir sejenak. "Kalau lihat dia pas gue pulang rumah itu rasanya seneng, lega, nyaman aja gitu. Kehadiran dia sama sekali gak mengusik gue. Dia mandiri, dia juga orang penting di kantor. Makanya aku selalu mikir kalau dia gak mu uang yang aku dapetin dari club."

"Gak jelas." Semua mengangguk setuju.

"Gini deh, menurut gue ya. Lo fikirin mateng-mateng dulu lo suka dia apa enggak. Kalau udah tau baru nentuin keputusan buat stop atau lanjut."

"Lo jomblo Gus ngapain kasih saran kayak gitu."

"Lo juga Ndi. Ngaca dong. Disini kita semua itu lajang, kecuali Verdi tentunya."

"Gue rada lupa-lupa inget sama istri lo Ver, namanya siapa?" Tanya Rian mencoba mengingat-ingat nama istri Verdi dari bayangan undangan pernikahan yang diberikan padanya dulu tanpa bisa menghadirinya karena mendapat panggilan operasi mendadak.

"Wati, Tian yang jadi pengacaranya." Semua mata tertuju pada Tian yang santai sedang melahap makanannya.

"Hai, gue pengacara istri Verdi."

"Kok lo gak cerita sih." Ujar Jojo tidak terima, merasa telah dibodohi.

"Dunia sesempit itu." Andi bertepuk tangan ria.

"Awalnya dia juga gak tahu kalau Wati itu istrinya Verdi. Setahu kita kan namanya Widia, Widiawati. Si Wati ini juga minta dikenalin Tian buat jadi pengacaranya lewat si Aya. Akang Tian mah mana tega nolak permintaan Neng Aya." Ucap Yuda menjelaskan.

"Wah, kok lo udah tahu sih?" Yuda segera membentuk jarinya menjadi isyarat perdamaian saat teman-temannya ingin menyerangnya.

"Ya intinya gue baru tahu kalau Wati ini istri Verdi pas baca berkas dia. Gue belum ketemu langsung orangnya, susah nyocokin jadwal." Tambah Tian menjelaskan.

"Terus Wati gimana? Kenapa mutusin buat cerai sama Verdi?" Tian menatap teman-temannya yang penuh dengan tatapan harapan, terlebih lagi Verdi.

"Gak. Gue gak bisa bocorin hal-hal tentang klien. Gini deh Ver, lo kalau bener gak pengen pisah, mending lo yakinin dia, buat dia percaya kalau lo bakal berubah. Jangan sekali-kali minta bantuan gue buat mempengaruhi klien gue."

Semua orang mengangguk setuju.

"Lah terus lo kenapa Yan. Pipi bonyok gitu? Gue tanya serius ya."

"Di pukul sama calon ayah mertua."

"Lah kok bisa?"

"Gara-gara ketahuan keluar dari kamar Aya tadi pagi." Ucap Tian santai, sebenarnya sama sekali tak masalah dengan memar ini toh juga bakalan hilang.

"Lo habis ngapain. Shit! Tian udah ketularan Verdi."

"Tian udah gak suci lagi."

"Lo mending ikut kelas ta'aruf di yayasan gue."

"Ogah!"