webnovel

Bos Cemburu Ya?

Tio, sudah jam berapa ini? Kenapa Viola belum datang?” tanya Richard heran.

“Sudah jam 9 sekarang dan hari ini Viola cuti, Bos,” jawab Tio singkat.

Tio tidak menoleh lagi ke arah Richard karena banyaknya dokumen yang harus ia periksa di depannya ini.

Richard mengernyit heran. Kenapa Viola cuti? Apa dia sakit? Ia mulai sedikit cemas sekarang.

“Cuti? Kenapa dia sampai cuti segala?” tanya Richard garang.

“Nggak tahu ya, Bos. Besok kan weekend, mungkin dia ada perjalanan wisata sama sahabatnya kali,” kata Tio menduga-duga.

Richard tiba-tiba kesal mendengar Viola akan jalan-jalan bersama sahabatnya. Apa sahabatnya adalah laki-laki di kafe waktu itu? Tapi dia kan tetap aja laki-laki walau ngaku-ngaku sahabat. Sialan!

“Yang bener kamu? Siapa sahabatnya emang?” tanya Richard memastikan.

Viola nggak mungkin jalan-jalan sama sahabat cowoknya di kafe waktu itu, kan? Richard mulai merasa gelisah membayangkan kemesraan yang mungkin terjadi antara Viola dan sahabatnya.

“Mana saya tahu siapa, Bos? Saya gak punya waktu seluang itu tuk kepoin kehidupan Viola, Bos,” terang Tio santai, masih memeriksa dokumen di meja Richard.

“Tadi kamu bilang dia jalan-jalan sama sahabatnya. Gimana sih kamu?” bentak Richard emosi.

Richard merasa dipermainkan Tio sejak awal tadi.

“Ya, tadi kan saya bilang mungkin. Bukan pasti, bos,” jawab Tio heran.

Ia curiga dengan bosnya. Kenapa sering uring-uringan dan marah-marah sama Viola.

“Sialan kamu!” maki Richard kesal.

“Maaf, Bos,” seru Tio sopan.

“Cari tahu dimana Viola sekarang!” titah Richard kemudian. Ia harus bertemu dengan Viola sekarang.

“Bentar, bos. Dia kan sedang cuti, untuk apa cari dia, Bos? Bos ga bisa perintah dia juga kalau di luar jam kerja kan, bos. Kalo ada perlu, sama saya aja, Bos,” tawar Tio pelan.

“Aku nggak perlu sama kamu, tahu?” semprot Richard galak .

“Ya udah. Biarin Viola istirahat, Bos. Dengar-dengar kemarin bos ngurung dia di ruangan ini seharian, ya? Kenapa, Bos? Dia pasti bosan seharian kemarin ngerjain tugas dari bos,” terang Tio prihatin.

“Terserah aku mau kasih dia tugas apa? Aku CEO-nya di sini?” jawab Richard pongah.

“Iya, Bos. Semua orang tahu kalo bos CEO-nya di sini. Tapi kalo bos suruh dia kerja rodi terus, bukan nggak mungkin dia kelelahan dan akan resign dari sini, Bos?” jelas Tio yakin.

Siapa yang ga akan berhenti kalau dimarahi terus-terusan. Lagian pake acara ngurung segala. Pasti Viola kemarin stres abis karena seharian berdua dengan bos pemarah. Pantas saja dia cuti. Tio takut Vio menyerah dan pastinya dia akan kembali repot merekrut sekretaris baru lagi.

“Siapa bilang dia bisa resign? Dia bisa kena denda kalo dia berani resign saat baru bekerja dua hari di sini,” ancam Richard berang.

“Ngerinya dia nekat dan kabur gimana, Bos?”

“Coba saja kalau dia berani,” geram Richard kesal.

“Bos, kenapa bos marah-marah terus sama dia, sih? Kasihan dia, Bos. Nanti dia benci lagi sama bos?” jelas Tio heran.

“Benci? Apa iya, dia bakal benci padaku?” batin Richard cemas.

“Dia menyebalkan tahu nggak? Wajar kalo aku kesal dan marah sama dia.”

“Salah dia apa memangnya, bos?

“Salah dia...”

Richard bingung harus menjawab apa. Ia marah karena apa sebenarnya? Ia kan marah pada William yang lancang memagut bibir Viola. Yang ia tak mengerti, kenapa dia melampiaskannya ke Viola.

“Apa, Bos?” Tio kembali bertanya.

“Dia genit. Dia goda William dan aku paling benci dengan cewek gatal,” jawab Richard asal.

“Dia nggak salah, Bos. William yang paksa ngekiss dia. Bahkan Viola langsung nendang aset William gara-gara ngekiss dia paksa,” jelas Tio lagi.

Kiss, kiss, kiss, mendengar kata itu, Richard langsung naik darah. Ia langsung membayangkan William melumat bibir Viola dan ia tidak rela.

“Nggak usah bahas kiss di sini. Eneg aku dengernya.” Semprot Riichard kesal.

“Ya, udah bos. Saya permisi dulu.”

Tio lebih baik cari aman. Melayani emosi bos bakal merugikan dirinya sendiri karena bosnya tidak akan mau mengalah padanya. Ujung-ujungnya masih dia yang kena.

Sedang Richard kembali uring-uringan. Ia ingin melihat wajah Viola. Dia ingin mendengar suaranya. Bagaimana caranya agar ia bisa melihat wajahnya hari ini?

“Arrrhgh...sial!” umpatnya geram.

“Kenapa dengan diriku?” Richard pusing dan merasa bersalah pada Viola.

***

“Vio, lo nekat banget pake cuti hari ini?” Tommy terheran-heran melihat keberanian sahabatnya ini.

“Masih untung gue cuti, Tom. Malah rencananya gue pengen resign kemaren.”

“Mana bisa resign lo! Lo terikat kontrak, Vio. Kecuali lo dipecat,” semprot Tommy gemas.

“Ah, ide bagus tuh, Tom. Gue nggak mau kerja bareng dia lagi. Bukannya mental gue nggak kuat, ngadepin orang kayak dia bukanlah masalah buat gue. Masalahnya, gue jadi takut ga bisa kendaliin diri gara-gara kelewat kesal.”

“Maksud, lo?"

“Gue takut anarkis ke dia karena kelewat kesal. Karena kalo mau nurutin maunya gue, pengen gue hajar aja tuh si bos galak. Omongannya itu buat gue kesel setengah mati, tahu nggak?”

“Jangan kelewat benci, Vio! Nanti cinta beneran lo,” kata Tommy tertawa terbahak-bahak.

“Amit-amit, Tom. Ga ada! Gue ga bakalan cinta-cintaan lagi. Gue capek membina hubungan dengan cowok. Gue mau fokus cari duit aja,” cetus Vio yakin.

“Hati-hati dengan omongan sendiri, Vio! Nanti bucin abis lo sama bos lo itu,” ledek Tommy lagi.

“Udah ah, Tom. Males ngeladenin lo. Nora mana, sih? Lama banget datangnya," omel Vio sewot.

Viola dan Nora sudah berencana akan hang-out hari ini. Karena Vio membolos hari ini, sedangkan Nora masih harus bekerja sebagai resepsionis hotel, makanya Viola menunggu di kafe Romero milik Tommy seharian sambil menunggu Nora selesai bekerja.

Vio lelah, ia memutuskan akan cari kerja di tempat lain saja. Dia harus cari kerja di tempat yang nyaman meski gajinya tak sebesar di perusahaan tempat ia bekerja sekarang ini. Untuk apa gaji besar, tapi stres menghadapi bos moody.

Sungguh ia benar-benar takut jiwa bar-barnya muncul kalau sering ditindas presdir galaknya itu.

Sementara di luar kafe, di dalam sebuah mobil mewah, Richard menatap rindu wajah wanita yang sering membuat ia kesal.

“Kurang ajar! Ternyata dia cuti hanya untuk nongkrong dengan laki-laki itu.” Richard bersungut kesal.

Asisten Tio yang sejak beberapa hari lalu merasa aneh dengan sikap bosnya, akhirnya memberanikan diri bicara.

“Bos, sebenarnya tujuan kita kemari, apa sih, Bos?” Kalau mau bicara sama Viola, mending kita turun dari pada kita ngintai dia kayak gini,” seru Tio sewot.

“Cerewet! Bisa diam ga, sih? Siapa yang mau bicara dengan wanita gatal seperti dia? Baru beberapa hari lalu menggoda William, ini dia malah godain cowok lain lagi, dasar sialan!” maki Richard geram.

“Ya, biarin juga kalau Viola mau goda cowok mana pun, Bos? Dia kan single, mana cantik plus cerdas lagi. Dan kalau saya lihat, Viola bahkan tidak perlu buang tenaga untuk menggoda laki-laki karena laki-laki duluan lah yang bisa tergoda karena pesonanya. Saya aja mau sama Viola, Bos!” ujar Tio cari masalah.

“Berani kamu suka sama dia? Mau mati kamu?” bentak Richard emosi.

Berani-beraninya asistennya juga ikutan menarget sekretarisnya.

“Lah, emangnya kenapa, Bos. Saya bangga banget kalo bisa dapetin Viola karena dia banyak yang suka. Kalau saya dapetin dia, pamor saya bakal naik dong bos, cewek inceran orang banyak bisa mudah saya dapatkan. Wah, saya jadi semangat saingan sama cowok-cowok yang ngejar Viola kalau begitu,” ucap Tio lagi masih pura-pura polos.

Tio bukannya tidak tahu kalau ada sesuatu dengan bosnya. Ia curiga bosnya mulai jatuh cinta pada Viola. Sejak ditinggal Luna, presdirnya menjadi sosok yang dingin, kasar dan membenci wanita.

Ia heran, semenjak Viola mulai masuk perusahaan, bosnya bersikap aneh, tidak seperti biasanya. Ia tampak peduli dengan Viola, meski ia selalu memarahinya. Tampaknya ia harus memancing emosi bosnya lebih jauh lagi.

“Kurang ajar! Kamu mau kupecat saat ini juga, ya!” bentak Richard garang.

Ia sudah tidak bisa lagi membendung emosinya karena marah Viola bercengkerama dengan laki-laki di dalam kafe sana, ditambah Tio yang berani-beraninya menarget Viola untuk dijadikan kekasihnya. Double sialan!

“Santai bos, jangan pecat saya, bos. Tapi, kenapa bos jadi marah-marah gini, sih?”

Tio menatap wajah Richard yang sudah merah menahan marahnya lalu mengutarakan rasa penasarannya.

“Bos cemburu, ya?”

Bersambung....

Hai, kak, Richard cemburu tapi nggak nyadar kayaknya

Ikuti terus kelanjutan kisahnya, ya

Sub, fav, review boleh banget kakak

Happy reading