webnovel

Denial

“Bos, cemburu, ya?” tanya Tio nekat.

Ia nekat menanyakan hal itu dengan konsekuensi bakal dibentak atau malah diusir dari mobil ini saat ini juga. Kalau dipecat, ia tak yakin. Karena meski selama ini Richard selalu mengancam akan memecatnya, tetap saja ia bisa bekerja hingga hari ini.

“Siapa yang cemburu, hah!” semprot Richard garang.

Siapa yang cemburu? Cih! Ia tak butuh wanita lagi dalam hidupnya. Kenapa juga ia harus cemburu dengan sekretaris gatal yang bisanya cuma menggoda laki-laki saja.

“Kalau nggak cemburu, ya udah, Bos. Nggak perlu marah-marah gitu. Kalau begitu, saya akan mulai mengejar Viola dan akan bersaing dengan William,” pancing Tio lagi.

“Diam kamu! Berisik, tahu nggak? Cepat antar aku pulang, sekarang!”

Richard tak bisa lagi membendung amarahnya. Ia tak mungkin melarang Tio untuk mengejar Viola. Kenapa juga ia harus melarang Tio, kan? Tapi ia sangat marah dan ingin memukul Tio saat ini saking kesalnya.

Apa benar dirinya cemburu? Tidak mungkin, mustahil ia cemburu pada wanita yang baru ia kenal 8 hari. Ini pasti hanya karena banyak yang mengganggu sekretarisnya hingga mengganggu kinerjanya sebagai sekretaris. Ia paling benci kalau stafnya tidak kompeten dan serius dalam bekerja.

Richard terus bermonolog dalam hatinya, hingga tak terasa ia sudah sampai di Mansionnya. Pak Min sudah membukakan pintu dan menunggu tuannya selesai bicara dengan asistennya.

“Bos, Hari Senin berangkat sendiri? Atau perlu kujemput, Bos?” tanya Tio pelan.

Muncul ide dalam otak Richard saat asistennya menanyakan perihal berangkat kerja Hari Senin.

“Hubungi saja Viola, suruh dia menjemputku!”

"Mobil ini saya tinggal di sini atau saya titip di apartemen Viola supaya dia bisa jemput bos pagi-pagi?" tanya Tio lagi.

“Bawa saja mobil ini, dan bawa ke kantor Hari Senin! Viola punya mobil, kan? Suruh dia jemput kemari pakai mobilnya saja.”

Richard ingin bersama Viola cukup lama saat ia menjemputnya Senin nanti. Ia juga heran kenapa mulutnya mengatakan ide gilanya barusan pada asistennya.

“Baik, Bos. Kalau begitu saya permisi.” Tio memberi hormat dan tersenyum pada Pak Min sebelum melajukan mobil meninggalkan kediaman Richard.

Richard menyapa Pak Min sebelum ia naik ke kamarnya.

“Tidak usah menyiapkan makan malam, Pak Min. Saya mau langsung istirahat saja.”

“Baik, Tuan. Selamat beristirahat!”

Pak Min memberi hormat lalu pamit ke belakang meninggalkan Richard yang mulai melangkah naik ke kamarnya di lantai dua mansionnya.

Richard sudah berada di kamarnya sekarang. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia meraih ponselnya dan berniat menghubungi Viola.

Ia beberapa kali menekan nomor ponsel Viola, namun sesaat ia akan menekan tombol dial, ia mengurungkan niatnya. Sepertinya egonya yang tinggi memaksanya tidak berbuat impulsif terhadap Viola.

“Kenapa aku jadi mikirin cewek sialan itu terus, sih? Apa hebatnya dia, sampai-sampai sahabat dan asistenku sendiri ingin mengejarnya?” omel Richard tak habis pikir.

Mengingat kebersamaan dan keakraban Vio dan sahabat laki-lakinya di kafe tadi, kembali membuatnya naik darah.

“Kenapa juga aku jadi marah-marah begini, sih? Terserah juga dia mau dekat dengan siapa, kan dia bukan siapa-siapaku?” gumamnya pelan.

“Sebaiknya aku tidur. Tampaknya aku kelelahan hingga terus-terusan mikirin sekretaris sialan itu.”

Richard meletakkan ponselnya di atas meja, lalu ia bergegas naik ke tempat tidur.

Baru akan memejamkan matanya, ia terbayang-bayang wajah Viola sedang bicara akrab dengan sahabatnya di kafe tadi. Kemudian ia terbayang saat William mengangkat kedua tangan Viola ke dinding dan melumat bibirnya liar.

Richard menggeleng pelan berusaha mengusir khayalannya tentang Viola. Namun, bukannya hilang, ia malah membayangkan Tio menggandeng tangan Viola mesra. Ia juga membayangkan Ricky, salah satu manajernya menatap penuh damba pada Viola.

Richard sontak memukul kepalanya.

“Ada apa dengan otakku. Kenapa Viola muncul bersama pria-pria yang mengejarnya saat ini. Sialan! Bahkan Viola berani mengganggu waktu istirahatku, kurang ajar!”

Richard puas memaki, dan mengomel sendiri. Akhirnya ia bisa tertidur dengan membawa Viola dalam mimpinya kala itu.

***

Viola sedang sibuk di kamarnya mencari info tentang lowongan kerja di tempat lain. Ia ingin mempersiapkan surat lamaran kerja kembali. Ia akan merealisasikan idenya yang ia dapat dari Tommy kemarin.

Mulai Senin nanti ia akan semakin membuat presdirnya marah agar ia bisa dipecat tanpa harus membayar denda pemutusan kontrak. Ia sudah bertekad akan menjauhi manusia toxic seperti presdirnya. Berada terlalu lama dengan toxic people akan meracuni dirinya sendiri. Ia nanti bisa ikutan moody dan pemarah jika terlalu lama berinteraksi dengan Richard.

“Akan kubuat kau naik darah gara-gara sikapku nanti. Lihat saja, presdir galak sialan!”

Seperti halnya Richard, ternyata Viola juga puas memaki dan mengomel di apartemennya, hingga omelannya terhenti saat ponselnya berbunyi.

Viola terkejut melihat nama Asisten Tio terpampang di layar ponselnya.

“Ngapain Pak Tio hubungi aku pas weekend begini? Aku ga mau disuruh ini itu pas weekend begini apalagi menemui bos berengsek itu.”

Viola mengomel kesal sebelum akhirnya ia menjawab telepon dari Asisten Tio.

[Ya, Pak Tio, ada yang bisa saya bantu]

[Kenapa kamu ambil cuti hari ini?]

[Ah, saya hanya capek, Pak]

[Apa bos menyiksamu seharian kemarin?]

[Dia tidak menyiksaku secara fisik tapi secara batin, Pak]

[Maksud kamu?]

[Maaf sebelumnya, bukan saya mau menjelekkan Presdir Richard. Tapi kemarin saya benar-benar tersiksa hingga berniat berhenti bekerja, Pak]

[Bisa lebih spesifik, Viola!]

[Kemarin, presdir menyuruh saya mengerjakan dokumen lama setinggi gunung, Pak. Well, it’s okey karena itu memang pekerjaan saya sebagai seorang sekretaris. Tapi kalau soal membentak saya tanpa sebab, menyuruh saya makan siang di hadapannya sehingga membuat saya tidak bisa menikmati makan siang saya, itu lain soal, Pak]

[Ada lagi yang membuat kamu kesal?]

[Bahkan saya tidak boleh keluar ruangan kalau bukan mau ke kamar kecil, Pak. Presdir bahkan tidak mengizinkan saya melihat atau memegang ponsel saya barang sedetik untuk merilekskan otak saya yang tegang karena seharian dibentak olehnya. Kemarin saya merasa bak tahanan saja, Pak]

[Oh, begitu rupanya]

[Sekarang saya tanya bapak? Apakah saya salah ambil cuti barang sehari untuk mengembalikan mood saya, Pak?]

[Tidak, kamu tidak salah, Viola. Saya juga heran kenapa bos bersikap seperti itu pada kamu. Namun saya pastikan itu tidak akan terjadi lagi, karena saya yang akan mengingatkan bos jika ia melakukan hal di luar kewajaran lagi. Kamu boleh merasa tenang sekarang]

[Terima kasih, Pak, atas bantuannya]

[Sama-sama. Oh ya, Senin kamu diperintah untuk menjemput bos di mansionnya. Bawa saja mobilmu untuk menjemputnya, oke! Selamat menikmati akhir pekan, Viola. Sampai jumpa hari Senin]

[Baik, Pak]

Asisten Tio lalu menutup panggilannya. Sementara Vio merasa sedikit lega mengetahui Tio tidak menyalahkannya dan malah akan membantunya ke depannya nanti.

Ia nekat menceritakan apa yang ia alami karena tak ada yang ia takuti lagi. Ia sudah berniat akan mencari masalah dengan Richard agar ia bisa segera dipecat.

“Tunggu Hari Senin, Richard sialan! Akan aku buat kamu tambah kesal padaku.”

Bersambung...

Akankan Viola berhasil membuat dirinya dipecat Richard?

Ikuti terus kelanjutannya, ya...

Sub, fav, review boleh kakak,

Happy reading...