Aeden membawa Dealova ke sebuah villa yang langsung menghadap ke pantai. Tempat yang sering Aeden datangi bersama dengan orangtuanya.
"Ah, harusnya aku membawa peralatan melukisku." Dealova mengeluh. "Kenapa kau tidak mengatakan jika kita akan pergi ke tempat yang seindah ini?!" Sebalnya. Sekarang raut tenang itu sudah memiliki banyak ekspresi, ekpsresi yang selalu direkam oleh mata dan ingatan Aeden.
Aeden tersenyum, ia memeluk Dealova dari sisi kanan Dealova, "Peralatan melukismu ada di bawah."
Dealova memiringkan wajahnya, menatap Aeden tak percaya,
"Kau yang terbaik." Ia mengecup pipi Aeden senang.
Tanpa harus dikatakan Aeden tahu apa yang Lova butuhkan. Ia tahu wanitanya suka melukis, dan tempat yang akan mereka datangi adalah tempat yang indah jadi sudah pasti ia akan membawa apa yang Lova butuhkan.
"Aku ini dewa, Love." Aeden menyombong.
Lova tertawa kecil, "Tidak bisa dipuji sedikit saja."
"Apa yang mau kita lakukan sekarang?"
"Jet ski."
"Matahari akan membuatmu menggelap, Love."
"Ayolah, untuk apa membawaku kesini jika tidak boleh melakukan apa yang aku sukai."
"Baiklah, Love. Kita lakukan apa yang kau sukai."
Dealova menang lagi.
Mereka segera keluar dari villa, melangkah menuju ke bibir pantai. Lova berlarian ke jet ski berwarna hitam, ia memilih hitam daripada putih.
"Kau ingin mengendarainya sendirian?"
Lova mengangguk, ia naik ke jet ski, menyalakannya dan segera mengendarainya.
Aeden segera menyusul Lova, ia mengejar Lova yang mengendarai jet ski dengan lihai. Sepertinya banyak yang tak Aeden ketahui tentang Lova. Lihatlah, ia bahkan tak tahu jika Lova memiliki kemampuan mengendarai jet ski dengan baik.
Jet ski bagi Lova bukan lagi hal yang asing, dalam misinya ia pernah beberapa kali menggunakan jet ski, dan dalam pelatihanpun ia diharuskan menguasai jet ski, jadilah ia terbiasa dengan kendaraan itu.
Seperti yang Lova sukai, ia suka kebebasan, ia suka bergerak tanpa dibatasi, ia terus melajukan kendaraannya, berputar-putar dengan wajahnya yang ceria.
Ia berputar mendekati Aeden, memiringkan jet skinya tajam hingga air menyembur ke Aeden, suara tawanya terdengar melihat Aeden kebasahan.
"Love, kau benar-benar nakal!" Aeden menyeka wajahnya, ia segera mengejar Lova untuk membalaskan dendam. Ia melakukan hal yang sama dan berhasil membuat Lova basah.
Lova belum berhenti, ia berkendara jauh, kemudian berbelok dan melaju kencang seperti hendak menabrak Aeden. Sementara Aeden dia menantang Lova dengan melintangkan kendaraannya. Ia berpikir Lova akan berhenti tapi nyatanya ia salah, Lova membawa jet skinya ke udara melewati Aeden.
Ketika jet skinya mendarat, Lova segera memutarnya ke arah Aeden dan tersenyum mengejek Aeden. Dia menyombongkan kemampuannya.
Aeden berdecih, ia segera mendekati Lova namun Lova menjauh. Ia mengejar Lova namun Lova semakin menjauh. Ia mencapai batas pribadi pantai Aeden.
"Love, sudah terlalu jauh, ayo kembali." Aeden mengajak Lova untuk kembali.
Lova memutar jet skinya, ia mendekat ke Aeden, "Ayo kita berlomba. Siapa yang sampai duluan harus mengabulkan semua yang diinginkan oleh pemenang."
"Baiklah. Jangan menyesal jika kau kalah."
Lova meremehkan, "Aku tidak akan kalah." Ia bersuara yakin, "Satu.. Dua.. Tiga.."
Dua jet ski dengan warna berlawanan itu melaju kencang. Di tengah-tengah perjalanan Lova merasa ia perlu mengisengi Aeden. Ia bertingkah seperti kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lautan.
"LOVA!" Seperti yang Lova pikirkan, Aeden segera terjun dari jet skinya. Berenang cepat ke arah Lova yang berpura-pura tenggelam. Aeden meraih tubuh Lova, segera membawanya naik ke permukaan.
"Sayang, Love, kau baik-baik saja, kan?" Aeden terlihat cemas.
Lova tak berakting keterlaluan, ia tak berpura-pura pingsan, hanya berpura-pura lemas saja.
"A-aku.." Lova terbata, detik selanjutnya ia tertawa geli, "Aku sedang mengerjaimu, Aeden. Haha, kau benar-benar terjun untukku."
Aeden terdiam, jantungnya hampir lepas tapi ternyata ia dikerjai. Ia melepaskan Lova dan berenang menuju ke jet skinya.
"Hei, Aeden, kenapa meninggalkan aku? Bagaimana jika aku tenggelam?" Lova masih menggoda Aeden.
Aeden melajukan kendaraannya meninggalkan Lova.
"Aih, dia benar-benar marah." Lova menatap kepergian Aeden. Ia berenang menuju ski-nya dan segera menyusul Aeden.
Dari kejauhan seseorang memperhatikan Lova dan Aeden dengan teropong.
"Kau akan mengalami masa yang sulit, Aeden. Harusnya tak ada yang kau sayangi di dunia ini, kau membuat orang yang kau sayangi berada dalam bahaya." Orang yang tengah mengamati Lova kini menurunkan teropongnya. "Akan aku pastikan kau merasakan apa yang aku rasakan, Aeden!" Suara itu terdengar seperti sebuah janji yang pasti akan terpenuhi.
Lova turun dari jet ski-nya, ia berlari kecil menyusul Aeden. Cara menghentikan Aeden cuma satu, peluk dia, maka pastilah langkahnya akan terhenti.
"Jangan marah, aku hanya bercanda tadi."
Aeden diam.
"Kau benar-benar ingin terus marah padaku, hm?"
Aeden menarik nafas dalam lalu membuangnya pelan, "Bercanda dengan menggunakan nyawamu itu benar-benar tidak lucu, Love."
"Aku mengerti, aku tidak akan mengulanginya lagi."
Lova menyesal. Ia tak akan bermain-main seperti tadi lagi. "Jangan marah lagi, ya."
"Aku tidak bisa marah meski aku ingin marah. Aku hanya kesal."
Lova tersenyum, ia benar-benar suka cara Aeden memperlakukannya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kesalmu?"
Aeden membalik tubuhnya, ia menatap wajah Lova dengan tatapan lembut, "Jangan pernah mengulanginya lagi. Jantungku seperti ingin lepas melihat kau seperti tadi."
"Kau tidak seru sekali." Lova merengut dibuat setelahnya ia tersenyum manis, "Dealova Edellyne berjanji tidak akan melakukannya lagi."
Aeden tak tahu seberapa besar ia menyayangi Lova tapi yang jelas ia tak ingin kehilangan Lova.
"Ayo masuk. Ganti pakaian dan istirahat."
"Siap, Captain." Dealova menggandeng tangan Aeden dan segera melangkah masuk ke villa.
♥♥
Lova memperhatikan wajah Aeden yang tengah terlelap, kuas di tangannya tergerak mengikuti pikiran Lova. Saat ini Lova tengah melukis, melukis si tampan yang tengah tidur dengan slimut yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Sudah sejak beberapa saat lalu Lova melukis Aeden, pria yang nampaknya benar-benar lelah itu tidak terjaga sama sekali meski Lova tak lagi berada dalam pelukannya.'
Sentuhan terakhir telah Lova selesaikan. Ia tersenyum memandangi lukisannya.
Sebagus apapun lukisan ini, Aeden lebih tampan dalam bentuk aslinya." Lova meninggalkan lukisannya, ia melangkah mendekati Aeden. Tangannya bergerak menyusuri wajah Aeden, ia tertawa kecil ketika melihat wajah Aeden ternoda karena cat yang tadi mengotori tangannya.
"Tampan sekali." Lova mencuil ujung hidung lancip Aeden.
Tak mau mengganggu Aeden lebih jauh, Lova melangkah menuju ke kamar mandi, ia membersihkan tangannya dan segera melangkah ke balkon untuk melihat sunset.
Cahaya jingga terlihat menawan, Lova terlalu menikmati cahaya itu untuk mengabadikannya dalam sebuah lukisan.
"Menikmatinya sendirian, Love?" Aeden sudah memeluk Lova. Suara serak itu menjelaskan jika Aeden baru saja terjaga.
"Aku tidak mau mengganggu tidurmu." Lova menyandarkan tubuhnya di dada bidang Aeden, "Lihatlah, bukankah pemandangannya sangat indah?"
"Hm, indah." Aeden ikut memandangi apa yang Lova pandangi, beberapa saat kemudian ia mengalihkan matanya, melihat satu keindahan lain yang baginya lebih indah dari sunset, "Ada yang lebih indah dari sunset."
Dealova memiringkan wajahnya, matanya bertemu dengan mata Aeden yang tengah menatapnya.
"Kau."
Suasana romantis terbangun dengan sendirinya, cahaya jingga di kaki langit yang tadi dipandangi oleh Lova dan Aeden kini bergantian memandangi Lova dan Aeden yang saat ini tengah saling menyesap bibir pasangan mereka.
Mata Aeden dan Lova terpejam menikmati apa yang sedang mereka lakukan saat ini.
"Kau yang terindah, Love." Aeden bersuara tepat di depan wajah Lova. Ia tersenyum, matanya menatap Lova dengan lembut.
Lagi-lagi seperti ini. Lova merasakan detak jantungnya kembali tak beraturan. Ketika matanya bertemu dengan tatapan lembut Aeden, pasti ia akan merasa tak kauran seperti saat ini. Rasanya hatinya ingin meledak, sesuatu membuncah di dalam sana.
Aeden kembali membuat Lova melihat ke pemandangan yang mereka lihat tadi, kedua tangan Aeden melingkar di perut Lova.
"Aku punya sesuatu untukmu."
"Apa?" Tanya Aeden.
Lova melepaskan pelukan Aeden, ia mengajak Aeden masuk ke dalam kamar.
"Aku memberi judul lukisan ini, Sleeping handsome." Lova menunjukan hasil lukisannya.
"Apa ini, Love? Kenapa hidungku tidak semancung aslinya?" Aeden mengeluh.
Lova melihat hidung Aeden yang asli dan dilukisannya, "Aku rasa ini sudah pas, Aeden."
"Tidak, Love. Ini berbeda." Aeden menunjukan hidungnya yang dilukisan.
"Masa sih?" Lova memperhatikan lebih jauh. Wajahnya nampak serius meneliti lukisannya dan wajah asli Aeden.
Suara gelak tawa Aeden membuat Lova menghela nafas. Ia dikerjai.
"Aeden! Kau mengerjaiku!" Kesal Lova.
Aeden segera memeluk Lova masih dengan tawa renyahnya yang tak tahu sejak kapan sudah disukai oleh Lova, "Kau pelukis yang baik, Love. Tapi sejujurnya aku lebih tampan dari yang dilukisan itu."
Lova tak perlu memperhatikan lukisannya untuk membandingkan itu, ia sudah jelas menyadari jika wajah Aeden memang lebih tampan dari yang dilukisannya.
"Kau suka lukisannya?"
Aeden mengecup pipi Lova, "Hadiah darimu adalah hadiah terbaik yang pernah aku terima."
"Benarkah?"
"Hm, aku sangat menyukainya. Aku akan memajangnya di ruang kerjaku."
"Aku senang kau menyukainya."
"Apapun darimu selalu aku sukai, Love." Kalimat itu ambigu, entah hadiah dari Lova, entah tubuh Lova, atau tindakan Lova yang Aeden maksud.
Sekali lagi, Lova menjadi tak karuan karena Aeden. Ia makin menyukai apa yang Aeden lakukan padanya. Cara Aeden bicara padanya, cara Aeden menyentuhnya, cara Aeden menyayanginya dan semua cara Aeden yang mungkin akan ia rindukan suatu hari nanti.
tbc