"Aku pikir kau tidak perlu datang menemuiku lagi, Lovita."
Lovita mengerutkan keningnya, ia berhenti melangkah dan memutar sedikit tubuhnya, "Maksudmu?"
"Yang aku maksud sudah jelas." Aeden bicara tanpa menatap Lovita, "Aku tidak menginginkan wanita manapun selain Dealova."
Wajah Lovita mendadak kaku namun hanya sebentar karena ia segera menunjukan senyumannya, "Ah, itu. Baiklah, aku tidak akan menemuimu untuk alasan pribadi, hanya saja jika itu tentang pekerjaan, aku pikir kau tidak bisa melarangku, kan?"
"Baguslah jika kau mengerti, aku tahu kau wanita yang pintar." Aeden meneruskan langkahnya begitupun dengan Lovita.
"Hati-hati dijalan." Aeden berhenti di depan pintu utama.
"Hm, aku pergi."
♥♥
Aeden kembali dari kediaman Zavier, suasana hatinya tadi buruk jadi ia memilih untuk ke kediaman Zavier. Hari ini sahabatnya itu sudah siuman, sangat melegakan bagi Aeden melihat sahabat termudanya telah kembali membuka mata dan bisa menjahilinya lagi. Selama ini yang paling banyak membuat suara ya memang Aeden dan Zavier.
"Sarah, dimana Nona?" Aeden bertanya pada Sarah yang masih terjaga di waktu yang sudah mendekati 10 malam.
"Sepertinya sudah tidur, setelah makan malam Nona tidak keluar dari kamar lagi."
"Ah, baiklah. Kau tidurlah."
"Baik, tuan."
Aeden melangkah menuju ke tangga, ia segera menaiki tangga dan mendekat ke kamar Lova.
Cklek,, Aeden kira ia akan menemukan Lova sedang menonton film horor lagi tapi ternyata saat ini Lova sudah berada di atas ranjang. Aeden memutar kembali tubuhnya, ia melangkah ke kamarnya. Membersihkan tubuhnya lalu setelahnya ia kembali ke kamar Lova.
"Kemana dia?" Aeden mengerutkan keningnya, kurang dari satu jam ia mandi dan Dealova sudah tak ada di ranjangnya. Hembusan angin membuat Aeden menyadari satu hal, Dealova sepertinya berada di balkon.
"Apa yang sedang kau lakukan disini, Lova?" Aeden mendekati Lova.
"Mencoba untuk kabur."
"Jangan bercanda." Aeden segera memeluk Lova dari belakang, "Kau tidak boleh pergi kemanapun."
"Bagaimana jika aku berhasil kabur dari sini?"
"Jangan berani-berani, Lova!" Aeden terdengar memerintah serius.
Lova membalik tubuhnya lalu tersenyum, "Aihh,, kau menakutkan dengan nada bicaramu barusan." Dikecupnya bibir Aeden dengan lembut. "Ayo masuk, udara disini dingin."
Lova melepaskan tangan Aeden, ia melangkah, baru satu langkah tangannya sudah ditahan oleh Aeden. Entah kenapa Aeden merasa apa yang Lova katakan barusan tidak bercanda sama sekali.
Lova membalik tubuhnya dan melihat ke arah Aeden yang menatapnya serius.
"Jangan pernah pergi dariku."
Sorot mata Aeden membuat Lova tertegun.
"Jangan berani pergi dariku, Love. Jangan pernah."
Lova tersenyum, melepas rasa nyeri dihatinya dengan senyuman lembut dan tatapannya yang sama lembutnya dengan senyuman itu.
"Kau terlalu banyak berpikir. Ayo tidur."
"Love.." Aeden bersuara pelan tapi meminta jawaban pasti dari Lova.
"Apa, Aeden? Ayolah, kenapa malam ini kau seperti ini?" Lova masih mempertahankan kelembutannya. Ia sudah berpikir jika ia memang ingin pergi, ia tak ingin goyah karena suara memelas Aeden.
"Jangan pergi."
"Seperti aku bisa kabur darimu saja." Lova mendekat, ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Aeden, "Jangan terlalu banyak berpikir, sekarang ayo ke ranjang. Tidur, peluk aku, oke."
"Aku tidak ingin ditinggalkan lagi, Love. Rasanya sangat menyakitkan jika kali ini aku ditinggalkan lagi."
Dan akhirnya Lova menghela nafas, Aeden berhasil membuat keteguhannya melemah.
"Aku tidak ingin sendirian, jangan pergi." Aeden bersuara datar namun terdengar seperti memelas.
"Tidak akan ada yang pergi, oke. Tidak akan ada yang meninggalkanmu." Lova bersuara dengan nada tenang, "Jangan membuatku tak mengenal dirimu, Aeden. Kau tampak sangat lemah sekarang."
"Seseorang yang melihat ini mungkin akan tahu jika sekarang aku memiliki seseorang yang membuatku lemah."
"Kau ingin membuatku mual lagi, ya?" Lova mencoba melucu, tapi tidak berhasil, wajah Aeden masih sama datarnya dengan tadi. Demi Tuhan, tatapan sedih Aeden membuat Lova tak bisa memikirkan untuk pergi lagi. "Aku tidak akan pergi, kita masuk, ya. Disini dingin. Aku kedinginan sekarang."
"Kau masuklah dulu. Aku tetap disini."
"Aeden."
"Hanya sebentar saja, Love. Aku ingin menenangkan pikiran, sebentar saja."
"Baiklah, jangan biarkan aku tidur sendirian terlalu lama."
"Tidak akan, Love."
Lova melepaskan tangan Aeden, ia memilih untuk masuk. sementara Aeden, ia masih tetap berada di balkon. Ia masih terganggu meski Lova mengatakan tak akan pergi.
Bagaimana ia bisa hidup jika Lova meninggalkannya? Ia telah ditinggalkan dan ia tahu rasanya sakit karena ditinggalkan, ia tak ingin semuanya terulang lagi dan menyisakan rasa sakit yang lebih menyakitkan.
Lova, wanita yang sudah ada di hidupnya kurang dari 2 bulan itu sudah membuatnya takut kehilangan.
"Kau terlalu lama."
Kehangatan menutupi tubuh Aeden yang dinginnya tak terasa oleh Aeden.
Lova memeluk Aeden yang sudah ia tutupi dengan selimut, "Apa kita tidur disini saja malam ini?"
"Jangan bodoh. Disini dingin."
"Lalu?" Lova menempelkan wajahnya ke punggung Aeden, "Aku tidak bisa tidur jika kau masih disini. Aku butuh pelukan."
"Kita masuk, ayo." Aeden masih belum selesai dengan ketakutannya, ia hanya tak ingin Lova berada di balkon untuk waktu yang lebih lama. Ia mungkin tak merasa dingin, tapi ia pikir Lova pasti akan kedinginan.
Lova tersenyum, ia tak melepaskan pelukannya dari tubuh Aeden, ia hanya mengikuti langkah kaki Aeden.
Malam itu Aeden tak mesum seperti biasanya. Ia hanya tidur dengan memeluk Lova.
"Love, aku tidak tahu apa yang salah denganku saat ini, tapi yang aku tahu, aku akan gila jika aku kehilanganmu." Aeden mengecup kening Lova untuk beberapa saat.
♥♥
Lova masuk ke ruangan latihan Aeden, ia melihat Aeden tengah sit up.
"Mau aku bantu, Aeden?"
"Ah, tentu saja, Love."
Lova memegangi lutut Aeden, Aeden mulai melakukan sit up.
Cup.. Aeden memberikan kecupan di bibir Lova ketika ia mengangkat tubuhnya.
"Aih, kau mencuri kesempatan yah." Lova memicingkan matanya.
Aeden bangkit lagi, ia mengecup bibir Lova lagi, "Bibirmu hadiah untuk setiap satu gerakanku, Love."
Lova berdecih, "Mesum seperti biasanya."
"Sama-sama, Love."
"Eh, kapan aku berterimakasih?"
Aeden tersenyum, ia bangkit lagi lalu mengecup bibir Lova lagi.
Sesi sit up selesai. Lova keluar untuk membawakan Aeden minuman.
"Ah, push up." Lova tersenyum, ia mendekati Aeden. "Aku akan membantumu, Aeden." Lova naik ke atas bahu Aeden, duduk disana dengan segelas susu hangat yang tadinya ia bawakan untuk Aeden tapi akhirnya dia sendiri yang meminum susu itu.
Aeden terus bergerak naik turun dengan Lova yang menjaga keseimbangannya, ia terus menyesap susunya seperti ia sedang berada di atas ayunan.
"Ah, susunya habis." Lova segera turun dari bahu Aeden.
Aeden berhenti push up, ia merubah posisinya menjadi miring dengan tangan kanannya menjadi tumpuan kepalanya, "Bukankah itu milikku, Love?"
Lova tersenyum manis, "Benar, tapi aku haus jadi aku minum."
Aeden duduk, dengan cepat ia menarik Lova hingga Lova duduk di atas pangkuannya, "Aku tak sebaik itu, Love. Aku ingin minumanku." Aeden tersenyum mesum, ia segera mendekatkan wajahnya ke wajah Lova, tangannya memegang tengkuk Lova menekan agar Lova tak bisa kabur darinya. Aeden kini merasakan minumannya yang tersisa di bibir Lova.
Aeden tersenyum, susu dari mulut Lova lebih lezat berkali-kali lipat dari susu yang sering ia minum sebelumnya.
"Kau selalu saja merusak kepolosanku." Lova mengomel, tapi ia suka dengan apa yang terjadi barusan. "Gantian!" Lova kini yang melakukan apa yang tadi Aeden lakukan.
Kali ini mereka sudah sama-sama gila, nikmati saja, Lova memang harus menikmatinya. Nikmati sampai nanti ia tak bisa menikmatinya lagi.
tbc