webnovel

MORAI

Apakah hidup itu adil? Jika pertanyaan itu diajukan kepada Jadira Morai, maka penyihir cantik itu akan menjawab "Hidup memang tidak adil, tapi kita harus membuatnya menjadi adil. Kita tak selalu bisa memilih bagaimana mereka memperlakukan kita, tapi kita selalu bisa memilih bagaimana cara membalas perlakuan itu. Aku bukan orang jahat, aku hanya sedang menuntut keadilan, dan inilah caraku. Jangan menganggap aku jahat, karena menuntut keadilan bukanlah perbuatan kriminal." * "Untuk menata masa depan, kita harus menyelesaikan masa lalu. Begitu aku berjalan maju, maka kenangan mulai meninggalkanku, berikut dengan jiwaku yang ikut bersamanya." –Harnell La Fen. * "Akulah si korban, aku mendapat kutukan dari para penyihir itu. Jangan ganggu aku, aku hanya ingin terbebas dari kutukan ini. Aku datang ke bumi hanya untuk mencari manusia setengah penyihir yang mau menikahiku, dengan begitu, segala kutukan sialan itu akan hilang" –Roxena Laphonsa. * "Korban dan tersangka bukanlah hal yang mudah untuk dibedakan, karena sebenarnya sangat tipis perbedaan dari keduanya. Tak peduli siapa korban yang sebenarnya atau siapa tersangka yang sebenarnya, namun siapa yang memiliki bukti lebih kuat itulah yang menang. Tak perlu pintar untuk menang dalam hidup, kau hanya perlu untuk tidak bodoh, namun aku terlalu jenius untuk itu. Sesuai dengan namaku, Junius. Akulah penyihir terjenius yang akan mengubah status tersangka menjadi korban. Menunjukkan kepada orang bodoh itu, siapa tersangka sebenarnya." -Junius Xander.

lotionocean · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
17 Chs

Goyah

"Long time no see, dude?! How's life?!"

Sapaan 'ramah' ditujukan kepada Junius, pria itu baru saja keluar dari mini market yang terletak di sudut jalan. Tampang dinginnya menatap tanpa minat kepada seseorang yang baru saja menegurnya. Tak mau ambil pusing dan kebetulan tak ada orang yang sedang melintasi jalanan itu, Junius memilih untuk menghilang. Tak mau meladeni Marcus yang tentu saja ingin kembali mengusik ketenangannya.

Namun Junius mengurungkan niatnya untuk pulang ke rumah, karena itu akan berbahaya jika Marcus mengikutinya. Masih sisa setengah jalan, Junius berhenti dan hendak melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki.

"Hey tak perlu kabur seperti itu. Apa kau tidak merindukanku?" suara menyebalkan itu kembali menyapa rungunya.

Benar 'kan dugaan Junius jika si cecunguk ini akan mengikutinya. Mendarat tepat di samping Junius dan ikut melangkah beriringan dengan sahabat Jadira itu. Sedang Junius tetap berjalan lurus, tak menggubris apapun yang pria itu lakukan.

"Kau tenang saja, aku sedang tak berselara untuk bertarung, tapi tak tahu jika nanti berubah pikiran. Hahahaha!" Masa bodoh dengan yang pria itu katakan, Junius tetap membatu.

Marcus tidak lelah untuk mengganggu ketentraman pria tinggi itu, bibir tebalnya kembali memproduksi kata-kata, "Sepertinya Jadira tidak membutuhkanmu lagi." Kali ini Marcus sedikit berhasil, karena membuat Junius mengernyit dan menoleh ke arahnya.

Penyihir jahat itu tersenyum miring melihat reaksi Junius, ia menyambung kalimatnya tadi, "Karena ia sudah memiliki pengawal baru yang lebih sakti. Dan mungkin wanita sialan itu akan menendang dirimu, si pengawal lama. Hahahaha!" si bengis sengaja mengejek si cerdas.

Pengawal baru? Junius tak mengerti maksud pria bodoh di sampingnya ini. Seingat Junius, Jadira tak pernah menceritakan apapun tentang hal itu padanya, dan Junius tahu bahwa yang dikatakan Marcus tidak benar, karena Jadira tak semudah itu percaya pada orang lain. Dan satu lagi, Junius bukan pengawal Jadira, Junius adalah teman baiknya, mereka selalu saling membantu dalam segala hal. Partner in crime lebih tepatnya.

Marcus kesal karena Junius tetap tak memberi respon. Pria itu sengaja memancing si tampan Junius tentang sosok penolong Jadira juga penyerang Tulip malam itu. Menurut Marcus, Junius pasti tahu tentang orang itu dan sedikit banyak informasi yang ia dapatkan dari Junius, pasti bisa membantunya mencari tahu sosok Harnell.

"Kau memang lebih pintar dari si pengawal baru itu, tapi asal kau tahu tuan, ia jauh lebih hebat darimu. Ck, pantas saja jalang itu lebih memilihnya dan mencampakanmu. Hahahaha!"

Harnell! Kini sebuah nama terlintas di kepala Junius. Seperti cerita Jadira tempo lalu, Harnell menolongnya dari serangan Tulip dan Marcus. Tidak salah lagi, Marcus pasti hanya ingin mengorek informasi tentang Harnell darinya. Kali ini Junius yang tersenyum miring, tapi sedikit samar sehingga Marcus tak dapat melihat senyum jahat itu di wajah tampannya.

"Jadi begitu?" Mata Marcus berbinar mendapat respon dari Junius. "Baguslah jika begitu, aku tak perlu repot-repot berurusan lagi dengan makhluk-makhluk pembuat onar macam kalian, biarkan si pengawal baru saja. Kau sepakat denganku 'kan tuan Marcus?"

Bedebah! Bukan respon seperti ini yang Marcus inginkan dari Junius. Tahan, Marcus. Tahan amarahmu, kau harus bertanya dengan sopan agar Junius mau berbaik hati padamu.

"Omong-omong, apa kau mengetahui siapa sosok itu sebenarnya?"

Menggidikkan kedua bahunya, "Bukankah kau yang mengenalnya lebih dulu? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu."

Dak! Serangan pertama. Memang sudah terlahir dengan watak buruk, Marcus tak bisa mengontrol emosinya lebih lama.Tubuh Junius sedikit terhuyung ke belakang. Bukan serangan hebat, ini hanya mantra kecil biasa, untuk sedikit menggertak.

"Berhenti bermain-main, Junius Xander. Kau hanya perlu mengatakan siapa pria itu"

"Aku tidak tahu." Jawab Junius. Melanjutkan langkahnya dan berjalan acuh tak acuh. Tak berniat membalas perlakuan Marcus.

"Kau pikir aku bodoh? Kau pasti tahu semua yang berhubungan dengan Jadira." Ucap Marcus yang berjalan dibelakang Junius.

"Jangan sok tahu, Marcus. Aku ini bukan suaminya, tidak semua hal ia ceritakan padaku." Jawab Junius santai.

"Baiklah tuan, sepertinya keras kepalamu berhasil memancing perang mantra dalam diriku. Rasakan ini!"

Byuurr!

Marcus membeku, tubuhnya kaku. Junius dapat menghidari serangan itu dengan baik, namun Marcus yang tak siap dengan serangan Junius malah terkena sebotol ramuan yang selalu Junius bawa kemana-mana sebagai pelindung diri saat Kirby dan anak buahnya menyerangnya seperti ini.

Baru-baru ini si jenius Junius meracik sendiri ramuan hebat itu. Marcus tidak tahu jika ramuan itu bisa melunturkan kekuatan seseorang. Tak langsung hilang sekaligus, hanya beberapa persen dari kekuatan yang dimiliki, namun tentu saja itu sudah menguntungkan. Semakin sering seseorang terkena cairan itu, maka segala sihir dan kekuatannya akan memudar.

"Selamat tinggal"

Zlimb! Pria kekar itu menghilang, meninggalkan Marcus yang akan terus membeku hingga dua jam kedepan.

***

"Astaga!" wanita itu terkinjat saat menemukan sosok pria tengah mengobra-abrik lemari pendingin di dapurnya.

"Ck! Tidak bisa kah sekali saja kau masuk rumahku dengan menekan bell terlebih dahulu?" si wanita mengomel.

"Tidak bisa, ini genting." Ucap si tampan, sok serius.

Si jelita hanya memutar mata malas, "Genting, tetapi yang pertama kau cari adalah lemari pendingin itu, bukan aku."

Yang diajak bicara hanya memberikan cengiran dengan mata dan tangan fokus memilih beberapa jenis minuman yang ada di lemari itu.

Kaki si nona melangkah ke meja makan dan langsung saja mencomot sepotong pizza yang tengah berjejer manis degan potongan pizza lainnya.

"Hey, itu milikku. Aku tak berniat membelikannya untukmu. Aku hanya berencana numpang makan di sini, karena ada informasi penting yang harus segera ku bagi denganmu." Junius tak rela berbagi pizza itu barang sepotongpun dengan temannya.

"Dan coke itu milikku. Aku tak berniat menawarkan minum untuk tamu tak diundang sepertimu." Sindir Jadira.

Junius hanya memamerkan deretan giginya saat Jadira menunjuk pada minuman bersoda yang berhasil ia dapatnya dari lemari pendingin di rumah ini.

"Hihihi, kau mau?" tanya Junius masih dengan cengiran khasnya. Dimana-mana tuan rumah lah yang bertanya seperti itu kepada tamunya. Dasar mereka.

Masih dengan mulut yang penuh pizza wanita itu bertanya, "Informasi apa yang kau dapatkan di malam hari seperti ini?"

Menuangkan coke itu ke gelas dan duduk di seberang Jadira. Melirik wanita itu dan berkata dengan santai. "Mereka mengincar Harnell."

Si lawan bicara hanya menghembuskan nafas berat. "Sudah ku duga." Diam sebentar, matanya menerawang, nampak berpikir. Berpura-pura berpikir lebih tepatnya, karena bukannya memasang raut serius, tapi Jadira malah bermimik jenaka. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

Dengan wajah konyolnya Junius menatap datar pada Jadira, "Tidak ada, hanya nikmati saja pizza-pizza ini."

Krikk.. krikk.. krikk…

"Hahahahahaha!!!" Keduanya terbahak.

"Dengan senang hati." sahut Jadira, memberi kerlingan nakal pada Junius.

"Hahahaha!" Dua penyihir itu kembali tertawa.

Bukan tertawa bahagia, tapi tawa sebagai penyembuh sementara untuk kewarasan dari relung mereka yang kembali berkelukur. Hanya sepenggal tawa penetral berbagai emosi.

Junius memang berkata tak perlu melakukan apa-apa, namun bukan berarti mereka benar-benar melakukan itu. Tentu saja sederet rencana sudah ada di benak. Keduanya tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi dunia. Hanya saja dua insan itu sedang ingin rehat sejenak. Tak perlu muluk-muluk, ditemani oleh pizza dan coke saja sudah cukup.

Begitulah cara menjalani hidup, jika terus-menerus memprioritaskan masalah, kapan kita akan memprioritaskan diri kita sendiri? Sekali-kali tak apa berlari sejenak untuk pemulihan mental, untuk mempertahankan ketenangan jiwa, untuk mengembalikan kewarasan. Jika semua sudah pulih, kembalilah bersiap menghadapi tantangan baru dengan semagat baru.

***

Dua pekan dilalui Ezra dengan tidak nyaman. Harnell dan Xena sangat professional dalam bekerja, hanya saja mereka membagi atmosphere yang mencekam. Dan Ezra cukup terganggu dengan itu. Pekerjaan yang menumpuk dan klien yang mengantri saja sudah membuat kepalanya hampir meledak, ditambah dengan drama Harnell dan Xena yang sampai detik ini Ezra tak tahu apa penyebab berakhirnya hubungan mereka.

Itulah mengapa sebagian instansi tak mengizinkan pasangan untuk bekerja di tempat yang sama. Karena secara tak sadar, masalah pribadi tetap akan terbawa dalam urusan pekerjaan.

Seperti saat ini, Ezra berulang kali menarik nafas karena udara di sekitarnya terasa berat. Entah perasaannya saja atau memang seperti itu, namun kehadiran Jadira dan Junius membuat suasana semakin mencekam. Bisakah ia enyah saja dari pada harus terjebak dalam suasana menyebalkan seperti ini.

Gedung baru milik Junius dan Jadira telah selesai dibangun. Benar-benar sudah beres sampai tahap dekorasi. Hari ini mereka berlima sedang memeriksa ulang semuanya. Sebenarnya team Ezra sudah bisa lepas tangan, namun ketiganya juga ingin melihat hasil kerja keras mereka.

"Aku akan periksa ruangan meeting dulu." Sahut Jadira dan beranjak meninggalkan empat makhluk yang tengah terdiam di ruang utama dari gedung baru tersebut.

Melihat hal itu, dari pada semakin terjebak dalam suasana yang tidak enak ini, Ezra memilih melakukan hal yang sama dan memeriksa ruang presdir, pun diikuti oleh yang lainnya untuk memriksa setiap sudut bangunan tersebut.

***

"Cantik." Seruan seseorang membuatnya menoleh.

Jadira dan bunga Forget Me Not, pemandanang indah yang tengah diabadikan oleh lensa mata milik si tampan.

"Yang mana? Bunganya atau yang sedang memegang bunga?" tanya si puan, bercanda. Ia memang meminta agar mereka menambahkan bunga Forget Me Not pada setiap ruangan yang ada di gedung ini. Kenapa harus bunga Forget Me Not? Karena wanita itu menyukainya, dan pria itu juga menyukai jenis bunga yang sama.

Kakinya melangkah, mendekat pada si puan yang berdiri membelakangi sambil sibuk menyusun beberapa tangkai bunga.

Langkahnya terhenti tepat di belakang tubuh si wanita, sedikit meunduk dan berbisik tepat di rungu sang jelita, "Jadira." Bisiknya merdu, menjawab pertanyaan wanita itu bahwa yang cantik adalah Jadira. Meski bunganya juga cantik, tapi dalam versi Harnell tak ada hal lain yang bisa mengalahkan keindahan seorang Jadira.

Terkutuk! Haruskah Harnell melakukan hal itu? Kemarin ia meminta Jadira untuk berhenti, dan sekarang pria itu seolah tengah merayunya. Sungguh Jadira tak mengerti sebenarnya makhluk sejenis apa pria ini.

Wanita itu berbalik, "Jadi masih Jadira?" tanyanya.

Yang ditanyai mengangguk pelan, "Dan akan tetap Jadira."

Wanita itu hanya menatapnya datar.

"Satu-satunya wanita tercantik versi Harnell La Fen adalah Jadira." Ucap si pria

"Lalu kenapa kau tak mau kembali padaku?" bertanya sambil melipat tangannya di dada.

"Karena aku tak lagi mencintaimu."

Bangsat!

Jadira memutar mata jengah sambil tertawa renyah. Rasanya ingin sekali ia mengutuk pria bajingan ini menjadi cilok.

"Tolonglah… jangan menjadi pria yang terlalu brengsek, tuan."

Bruk!!

"Xena!"

Suara benda jatuh dan teriakan Ezra memancing siapapun untuk datang ke sumber suara. Mereka mendapati tubuh Xena tergolek tak berdaya di marmer dingin itu. Dengan sigap dan penuh kekhawatiran Harnell mengangkat tubuh lemah Xena dan membawanya ke sofa besar yang ada di ruangan tersebut.

***

Tubuhnya semakin melemah,itu karena waktu yang tersisa semakin sedikit. Seharusnya tak sampai drop seperti ini jika tak ada beban pikiran yang mengganggunya. Kalimat Junius terus berputar di kepala Harnell.

Cemas? Tentu saja.

Merasa bersalah? Pasti.

Saat ini Harnell tengah menjaga Xena di kediaman milik wanita itu. Xena seperti ini pasti karena dirinya. Itulah yang Harnell pikirkan. Sungguh ia tak tega melihat wanita itu seperti ini. Entah perasaan macam apa ini, yang jelas kegusaran terus menyelimuti dadanya. Pria itu terlalu khawatir.

Tangan kanannya sesekali mengusap peluh yang menghiasi dahi cantik itu sedang tangan kirinya terus menggenggam erat tangan si puan. Terus-menerus memandangi wanita yang belum sadarkan diri itu, tak akan mengubah apapun. Ia harus melakukan sesuatu. Merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menghubung seseorang.

"Hallo?"

"Junius, ini aku. Ada yang ingin aku tanyakan."

"Xena?"

"Iya. Jadi…" kalimat itu menggantung karena Harnell ragu melanjutkannya. "Jadi, apakah ada ramuan atau sihir atau hal lainnya yang bisa dilakukan untuk membebaskan Xena dari kutukan?"

"…." Tak ada jawaban dari seberang.

"Tuan Xander… kau masih di sana?"

"Tidak ada. Kutukan akan hilang sesuai dengan syaratnya."

"Tapi kau bisa mebebaskan Jadira dari kutukan sialan itu."

"Tentu saja bisa, tapi membutuhkan waktu yang sangat panjang, hampir satu tahun. Aku tak bisa jika waktunya sangat mepet seperti ini."

"Jadi tak ada solusi apapun untuk menolongnya?"

"Kau solusinya, Harnell."

"Apakah hanya itu?"

"…." Kebungkaman Junius kembali menjadi jawaban tersirat untuknya

"Haruskah aku menikahinya?" Junius dapat mendengar nada frustrasi dari Harnell

"Tak ada yang memaksamu akan hal itu, tanyakan saja pada hatimu. Jika kau ragu, maka jangan lakukan atau kau akan menyesali keputusanmu sendiri."

"Jika aku tak mau, maka aku akan menyaksikannya membusuk dan mati?"

"Tentu saja. Kutukan itu nyata, jika kau lupa."

"…"

"Hallo? Kau masih disana, Nell?"

"…"

"Baiklah aku akan tutup telp-"

"Aku akan menikahinya."

Wow! Seorang Harnell La Fen memang tak tertebak. Semudah itu kau mengambil keputusan, tuan?

Tentu saja!

Bagaimana mungkin ia membiarkan wanita sebaik Xena membusuk karena kutukan konyol. Selama ini Xena telah banyak berjuang untuknya, kini saatnya ia membayar itu semua. Seperti kata Jadira, setiap tuan puteri membutuhkan pangerannya untuk melindungi. Dan Harnell akan menjadi pangeran untuk tuan puteri Xena.

Tak apa Harnell, tak apa. Urusan kau akan pindah ke negeri sihir bisa di urus nanti. Kau bisa membujuk Xena untuk tetap menetap di bumi ini. Ya, untuk saat ini pulihnya Xena adalah yang paling utama.

Kecemasannya tak akan hilang, sanubarinya tak akan tenang, pikirannya akan terus kacau jika melihat Xena terus-terusan melemah seperti ini.

Jadi, kau sudah jatuh cinta padanya?

Atau kau hanya kasihan padanya? Hey! Bagaimana dengan keturunanmu nanti?