Deru suara motor Mas Doni terdengar dari kejauhan. Aku segera menarik tas ku, tak sempat mencium tangan Mama Papa, aku hanya berteriak berpamitan, "Ma.. Pa.. Mika berangkaaatt duluuu."
Tap.. Tap.. Tap..
Bunyi sepatu ku hentakkan, aku berlari menuruni lantai tangga kamarku menuju depan rumah. Sesampai di teras, aku teringat jika jaketku tertinggal di kamar. Aku bimbang, antara kembali naik ke kamar, atau tetap berjalan menemui Mas Doni.
"Mas.. jaketku kelupaan, aku ambil dulu ya," kataku pada Mas Doni.
"Gak usah deh, Mik. Ini udah mepet jamnya."
"Mm.. ya udah deh, langsung jalan kalo gitu."
Aku menaiki jok belakang motor Mas Doni dengan kaki kananku. Sedikit memutar badan, aku duduk miring di belakangnya. Aroma parfum dan tubuhnya membaur, berkumpul menjadi satu di area tengkuk, lalu tertiup hembusan angin kecil, dan masuk dalam hidungku. Syaraf penciumanku segera mengirim sinyal berupa getaran ke otak. Mataku tak bisa lepas dari pandangan di depanku. Entah kenapa, hanya sekedar tengkuk namun menyita perhatianku. Tampak sedikit anak rambut bagian belakang diterpa angin, karena terlepas dari ikatan rambutnya.
Mas Doni selalu mengenakan jaket black and white kesukaannya. Terdapat tempelan badge di bahu kanan dan kiri jaket Mas Doni, sehingga badannya nampak gagah dan tegap. Tas ranselnya dipindahkan ke depan, dikenakannya di dada agar jok belakang tempatku duduk lebih leluasa. Kami segera berangkat menuju sekolah dengan kecepatan 40km/jam.
***
Hari berjalan seperti biasanya. Pada jam istirahat, aku duduk menemani Mas Doni di bangku panjang dekat parkiran motor seperti hari-hari kemarin. Sesekali bertukar canda dengan temannya sesama genk Roxette. Aku pun melihat Boy dan Dian turut berada dalam komunitas kami.
"Mas, mereka jadian? Beneran?" tanyaku berbisik pada Mas Doni.
"Haha.. iya mungkin, Mik."
"Lah, kok mungkin, sih?"
"Boy gak cerita kok ke aku."
"Emang Boy itu player ya?"
"Haha.. player apaan. Gonta ganti pacar, gitu?"
"Ih, Mas Doni jangan terlalu keras, nanti dia denger, kan.."
Mas Doni membenahi sikap duduknya, menghadap aku. "Kamu buang jauh-jauh keinginanmu untuk bisa deket sama Boy. Dia lebih playboy dari yang kamu tahu. Trust me!"
Kata-kata Mas Doni begitu halus terdengar di telingaku, tapi membuatku berpikir keras.
"Aa... Mas Doni jealous kan sama Boy," aku sedikit memberinya cubitan kecil di pinggang kirinya. Dia berusaha menghindar, namun terlambat.
"Kok Mika pake nyubit sih," Mas Doni mengelus pelan pinggangnya, lalu berbalik mencubit pipi kananku dengan lembut.
"Kamu buktikan aja sendiri. Tiap hari kamu duduk disini, sama aku. Ntar pasti tahu, Boy itu gimana."
"Haha.. modus yaa.. padahal Mas Doni aja yang pingin supaya bisa aku temenin terus," perlahan aku menyenggol sikunya dengan siku kananku. Tak ada seruan apapun dari Mas Doni. Dia hanya memandangiku dengan tersenyum. Terus memandangiku, hingga aku merasa risih dan malu.
Bel berbunyi, tanda jam istirahat telah usai. Aku berdiri dari tempat dudukku hendak menuju lantai dua tempat kelasku berada.
"Aku balik ke kelas dulu."
Sesaat aku merasakan sedikit nyeri pada perut bagian bawahku. Seraya berdiri, tanganku bergerak spontan memegang perut sebelah kiriku. Tanganku meremas sedikit seragamku, dengan menahan sakit yang tiba-tiba datang.
"Hei, hei.. kenapa perutnya?"
Dengan sigap Mas Doni memegang tanganku dan melihat raut wajahku menahan kesakitan.
"Ah gak papa, kram aja. Kelamaan duduk kayaknya, Mas."
Aku segera berjalan menuju kelasku. Sekilas aku menoleh, dan Mas Doni tengah berdiri menatapku. Dia pun bersiap hendak masuk ke kelasnya. Aku mulai menaiki anak tangga, kemudian langkahku terhenti.
"Oh.. My.. Gosh!" gumamku.
Seketika saja aku berbalik dan berlari menuju ruang UKS. Melintas melewati depan kelas Mas Doni, aku menoleh, dan dia sedang sibuk membaca sebuah buku di bangkunya. Syukurlah, dia tak melihat, batinku.
Hari pertama menstruasi. Aku sungguh tak mengingat jika tanggal hari ini adalah masa tamu bulananku tiba. Aku segera membuka pintu ruang UKS dan mengambil pembalut yang terletak di lemari tempat obat-obatan tersimpan. Rasanya sungguh tak nyaman karena aku lupa tidak membawa pembalut dalam tas ku.
Segera aku menuju toilet, dan mengenakan pembalut agar darah menstruasi tidak tembus mengenai rok ku yang berwarna putih. Beberapa menit kemudian, aku sudah duduk kembali menempati bangku ku.
"Darimana aja kamu?" bisik June padaku.
"Mens, say. Aku lupa gak bawa, jadi ke UKS dulu. Mumpung belum tembus." jawabku dengan santai.
Pelajaran berlangsung hingga pukul 2 siang. Rasa lapar menderu dalam perutku. Aku pun lupa tak membawa botol minuman. Begitu lelah hari ini, ditambah pula harus bertugas sebagai Paskibra saat upacara bendera tadi pagi. Energiku menipis, aku mulai mengantuk dan lesu.
"Pucet banget, ih.." seru June.
"Hari pertama, badan kayak sakit semua gini." sahutku dengan malas.
Srrr... Srr...
Terasa darah mengalir deras. Namun aku tidak terlalu memperdulikan karena aku rasa aku sudah mengenakan pembalut dengan benar.
Ssrr.. Sssr..
Berulang lagi, darah menstruasi mengalir terasa semakin deras. Aku mulai gelisah. Bagaimana jika pembalut ini tidak dapat menampung volume darah mens hari pertamaku. Berniat untuk kembali ke toilet, namun Pak Malik tengah serius menjelaskan pelajaran di papan tulis.
Teeetttt... Teeettt...
Bel panjang terdengar di seantero sudut sekolah. Yes, pulang sekolah, ujarku dalam hati.
Aku segera meraih tas dan berlari keluar kelas.
"Mika, pulang sama aku, yok.." teriak June.
"Enggak, aku bareng Mas Doni," aku membalas teriakannya. Segera aku turuni tangga, menunggu Mas Doni dengan berdiri di dekat pintu kelasnya.
Satu demi satu, teman sekelas Mas Doni keluar. Namun yang ku tunggu tak kunjung datang. Aku memainkan ujung sepatuku dengan cemas.
Sssrr...
Sekali lagi, aliran deras itu ku rasakan. Aku semakin mengkhawatirkan rok ku. Apakah sebaiknya aku ke toilet terlebih dahulu ya, ucapku dalam hati.
Sesaat aku hendak melangkah meninggalkan kelas Mas Doni, tiba-tiba Boy memanggilku dari kejauhan. "Mika! Oi..!"
Tangannya bergerak, seolah memberi tanda padaku. Diulanginya gerakan tangannya yang menunjuk ke arah bawah. Sama sekali tak ku mengerti maksudnya.
"Apaaa.. gak ngertiiii, Boy!" teriakku.
Sedetik kemudian, Mas Doni berada tepat di belakangku dan melepas jaketnya.
"Sorry nunggu lama. Tadi bagi tugas untuk kerja kelompok dulu." Tangannya terus melepas jaketnya lalu mengikatnya di pinggangku.
"Mas, loh, ngapain dilepas jaketnya?" tanyaku keheranan.
"Sst.. rok kamu kena tembus." Jawabnya singkat.
Ya Tuhan. Berarti bagian belakang rok ku, terkena darah menstruasi? Berarti tadi Boy melihatnya dan berusaha memberitahuku. Betapa malunya, aku.
"Trus gimana ini, Mas?"
"Mas, tadi Boy juga lihat. Aku malu, Mas."
Aku kebingungan bercampur malu pada Mas Doni.
"Ya ayok pulang, sebelum tembus semakin banyak, kan." Mas Doni meraih tanganku, menarikku menuju motornya terparkir.
Langkahku tertahan.
"Mas, jaketmu kena.. ikutan kotor. Jangan ah!"
Aku berupaya melepas jaket Mas Doni dari ikatannya di pinggangku.
"No! Pake aja, supaya gak keliatan teman-teman lainnya." Mas Doni menahan tanganku agar tidak melepas jaketnya.
Aku pun berjalan di belakang Mas Doni dengan badan lemas. Itu sebabnya, semalam aku begitu emosional ketika Mas Doni meneleponku. Kenapa aku tiba-tiba menangis teringat Rio. Kenapa tiba-tiba aku bercerita banyak tentang Rio. Ah, ternyata semua itu pertanda dari hormon tubuhku, dan aku tidak menyadarinya.
Mas Doni menuntun tanganku, berjalan di depan. Aku tertunduk malu. Pikiranku hanyalah agar dapat segera tiba di rumah.
"Mas, terasa tambah banyak deh," ucapku dengan menahan langkah. Aku hampir menangis karena malu dan takut. Malu pada Mas Doni karena melihat rokku yang terkena darah, serta takut Mas Doni marah karena jaketnya kotor terkena noda.
"Kamu tunggu situ, aku keluarin motor." Tatapan matanya begitu teduh. Hanya kekhawatiranku saja tentang rasa malu dan takut. Nyatanya, Mas Doni justru menanggapinya dengan calming down. Dia begitu perhatian dan melindungiku. Selalu berusaha memastikan agar aku baik-baik saja.
"Ayo naik! Bisa?"
"Tapi, Mas? Aku menduduki jaketmu. Nanti..."
"Ya udah lah, daritadi juga udah kena, kan."
"Jangan marah.. please."
"Siapa yang marah. Ayo! Buruan!"
Aku memanyunkan bibirku, dan perlahan menaiki jok motor Mas Doni. Dipacunya perlahan motornya menuju gerbang.
"Stop! Stop!"
Aku melompat turun dari motornya. Sesuai perkiraanku, jok motor Mas Doni pun terkena noda darah. Jaketnya turut berwarna merah tepat di area belakang rok ku.
"Maaas.. gimana.. motormu.."
Aku merengek karena malu. Namun yang dilakukan Mas Doni justru diluar dugaan. Diambilnya sehelai tisu bekas yang rupanya tersimpan di saku celananya. Digosoknya perlahan jok motor dengan tisu tersebut dengan tetap duduk di jok bagian depan.
"Bisa hilang, kan. Jadi, bukan masalah."
"Ya Tuhan. Baik sekali kamu, Mas Doni. Urusan begini pun, kamu gak jijik tapi malah membantuku." Hatiku terus menerus memuji kebaikannya, terutama di hari itu.
***
Dalam perjalanan pulang, aku masih saja terkagum-kagum dengan sikap Mas Doni. Dia merelakan jaket dan jok motornya terkena noda, dan sama sekali tak nampak ada kemarahan dalam dirinya. Sikapnya begitu tulus dan tidak dibuat-buat semata untuk menyenangkanku. Semoga aku dapat segera membalas rasa sayangmu, Mas, ucapku dalam hati.
"Aku tuh suka heran sama kamu, Mik."
"Kenapa emang?"
"Kamu tuh pelupa ya."
"Ha, pelupa gimana?"
"Jaket sama air minum aja lupa bawa. Tapi kenapa gak bisa lupa sama mantan sih?"
Kami pun tertawa bersama. Perlahan aku melingkarkan tangan kananku di pinggang Mas Doni. Sedikit ku sandarkan kepalaku pada punggungnya. Menghirup bau keringat bercampur aroma parfumnya yang tersisa. Entah, aku merasa nyaman dan damai. Mas Doni membalas pelukan tanganku dengan belaian lembut tangan kirinya. Motor melaju dengan pelan menuju rumahku.