13 Hari Kedua Kebodohan

Tergopoh aku memasuki halaman sekolah. Napasku naik turun tak menentu. Kaos kakiku bahkan tidak sepasang. Semoga teman-teman tidak menyadarinya, batinku.

"Hei, terlambat lagi?" Mas Doni berdiri di depan kelasnya dengan tangan dilipat. Senyumnya begitu mendamaikan bagi siapapun yang melihat. "Bu Sari udah masuk kelas, tuh." Ujarnya dengan memberi tanda agar aku bergegas naik.

"Huh, hah, iyaa.. aku.. naik dulu." Aku menjajaki anak tangga dengan lompatan besar agar segera tiba di atas. Dua lompatan besarku terhenti, "Maass.. jaketmu ketinggalan, haduuu lupa aku.." aku menoleh sejenak ke bawah, berteriak ke arah Mas Doni.

"Udaahh gak papa, buruan naik!" seru Mas Doni.

Setibanya aku di kelas, aku terhenyak kaget. Kelasku kosong. Kemana teman-temanku semua pergi? Aku mengedarkan pandangan ke sepanjang koridor balkon lantai dua. Apa kemungkinan ada rolling class, tanpa sepengetahuanku? Aku mengintip ke kelas 2-2, dan tampak semua siswa sedang sibuk dengan buku mereka masing-masing.

Aku menuju bangku tempat dudukku. Tas June, ada. Tas teman-temanku yang lain pun ada. Lalu, kemana semua pergi?

Di tengah kebingunganku, perlahan ku letakkan tas ku di meja. Hingga tiba-tiba Mas Doni meringsek masuk dengan sedikit menahan tawa, menarik tanganku.

"Haha.. ayo ikut. Kamu tuh polos banget sih."

"Apaan sih, Mas Don!"

"Lihat itu, semua temanmu ada di lab kimia, sekarang." Mas Doni mengacak-acak rambutku.

"Kan tadi Mas Doni bilang.. Bu.. Sari.."

"Aahh. Sekarang kan waktunya pelajaran kimia di jam pertama, bukan bahasa inggris!"

"Mas Doni, ngerjain aku!"

Aku mencubit lengannya berulang kali hingga Mas Doni nampak kegelian.

"Haha.. kamu kalo gugup, lucu juga ya."

"Sudah, cepetan balik turun ke lab."

Kami berjalan berdua menuruni tangga.

"Mas Doni gak ada pelajaran kah?"

"Iya, kelas kosong, Mik, hehe."

"Ooh, pantes keluyuran keluar."

"Kamu masuk dulu, aku mau sarapan di kantin."

***

Pelajaran Kimia yang membosankan, batinku. Mencampur cairan natrium dan chlorine, sesuai takaran, lalu mencatat reaksi yang ditimbulkan di buku. Kemudian mencampur cairan raksa dengan cairan asam, dan mencatat reaksi yang ditimbulkan. Begitu seterusnya hingga bel tanda istirahat berbunyi.

"Istirahat, sama pacarmu lagi, Mik?" tanya Yohan sembari membersihkan tabung reaksi di meja kami. Aku mengangkat kaki kananku. Rasanya malu berkeliaran di sekolah dengan kaos kaki yang berbeda. Yohan menahan tawanya karena melihat kaos kakiku.

"Ya udah aku sama Al ke kantin duluan." pamitnya.

"June, ayo balik ke kelas aja," ajakku pada June.

"Tapi aku laper. Aku beli bakso di kantin bentar, trus aku bawa ke kelas ya. Kamu duluan aja." jawab June.

Aku kembali ke kelas sendirian. Duduk menunggu teman-temanku kembali. Aku membolak-balikkan buku pelajaran kimia, memperhatikan satu persatu gambar mulai dari halaman awal hingga akhir. Biasanya Mas Doni akan datang menghampiriku ke kelas, namun hari ini tak ada tanda-tanda kehadirannya.

Tak berapa lama, Al dan Yohan memasuki kelas dengan ekspresi sinis, sambil menatapku. Diikuti June, beberapa langkah di belakang mereka.

"What! Kenapa kalian?" tanyaku.

"Kamu tahu ya Mik, kita sudah peringatin kamu!"

June menghardikku tanpa aku tahu kenapa.

"Apaan, coba! Marah-marah gak jelas kalian ini!" Aku berdiri dengan tegang.

"Yohan! Nyaris aja dipukul sama Boy tadi!" seru June.

"Gara-gara nyenggol Boy gak sengaja trus seragamnya kena saus kecap." sahut Al.

"Sudah, sudah, lupakan gaes!" Yohan berusaha menengahi kami semua yang tengah bersitegang.

"Kamu diapain Yo? Tell me!" Aku mulai kehilangan kesabaranku.

"Sedikit tatapan tak ramah dari Boy. Tapi Al menahan, jadi kepalan tangan Boy gk sampe ke aku." Yohan menjawab dengan intonasi datar.

"Enggak. Boy itu cari masalah aja. Dia jealous sama Yohan!" kata Al.

"Jealous bagaimana? Sama Yo?" tanyaku.

"Karena tadi sempet Yohan tuh bilang, kalo kamu lebih perhatiannya ke dia daripada ke aku. Padahal kita becandaan aja sih." Al menjelaskan dengan sedikit kesal mengingat kejadian di kantin.

"Udah, Mik. Salah paham aja itu mah." Sekali lagi Yohan menengahi agar kami kembali tenang.

"Gak bisa. Aku gak bisa kalo temenku kenapa-kenapa. Seenaknya aja mereka tuh!"

Aku bergegas keluar kelas dan menuruni tangga. Sempat Mas Doni memanggilku, namun tidak ku perdulikan. Aku terus mencari Boy di kantin sekolah.

"Boy! Sini kamu!" Aku menghardik Boy dan menarik ujung seragamnya, mengajaknya berjalan keluar kantin.

"Apaa syihhh, syantik.." goda Boy.

"Kamu tuh sakit jiwa! Semua teman-temanku mau kamu hajar satu-satu, gitu?"

"Ooh. Dia tadi temen kamu? Dia yang duluan kok. Bukan aku!"

"Apa maksudmu!"

Dengan berani aku mendorong bahu Boy hingga Boy sedikit mundur ke belakang. Boy sedikit terkejut dengan apa yang aku lakukan. Berdiri di hadapannya, seorang cewek, yang begitu berani menantangnya. Namun dia tak berani membalas, tidak seperti perlakuannya pada siswa lain. Mas Doni melihat perseteruan kami dari kejauhan, lalu berlari menyongsong agar kami tidak bertikai lebih jauh.

"Ada apaan, Boy?"

"Kamu kenapa Mik?"

Tampak raut Mas Doni yang kebingungan. Berusaha menengahi namun tak mengerti apa yang terjadi. Siapa yang benar, dan siapa yang salah. Aku hanya menudingkan jari telunjukku tepat di depan wajah Boy.

"Fuck!" ujarku pelan pada Boy.

Tangan Boy mengepal hendak membalasku. Lalu ditahan oleh Mas Doni.

"Kamu kenapa Boy? Kesetanan kamu?"

"Gak boleh ada yang nyentuh Mika!"

"Denger!"

Mas Doni begitu emosional. Dia menghardik Boy sekeras itu karena panik melihat Boy hendak membalas tantanganku. Mas Doni melingkarkan tangannya di bahuku, seraya mengajakku pergi menjauh dari Boy yang menatapku dengan api di matanya.

Sejenak langkahku terhenti, lalu berbalik pada Boy. "Kalo sampe temen-temenku kalian ganggu..." Ucapanku terputus. Mas Doni menarik tanganku dengan cepat.

***

PUKUL 7 MALAM

"Mika, ada telepon buat kamu." kata Papa memanggilku.

"Dari siapa, Pa?"

"Entah. Suaranya sih cewek. Tapi bukan June."

Siapa ya, batinku.

Aku menerima panggilan telepon dengan berdiri di samping meja tempat telepon berada. Papa dan Mama tengah menonton TV di dekatku.

"Halo. Ini dengan Mika." Sapaku singkat.

"Hai, Mika. Kamu mungkin tidak mengenalku."

Dahiku mengernyit mencoba mencerna suara siapa di seberang sana. Aku terdiam beberapa detik, dan tetap tak ku temukan dalam memori otakku, siapakah kira-kira gerangan yang meneleponku.

"Ini.. Menik, bukan?" tanyaku.

"Ini dengan Sari."

"Sari siapa? Menik bukan sih ini?"

"Aku Sari, mantannya Doni."

Ha. Dadaku tersentak. Itu dia, Sari. Tempo hari Mas Doni sempat bercerita tentang Sari. Mantan yang pernah dipacarinya sekitar 2 tahun, sempat putus lalu kembali menjalin hubungan sebelum akhirnya putus lagi. Sekarang, bagaimana bisa Sari meneleponku.

"Sari. Ada keperluan apa?" tanyaku dengan tenang, meski dalam hati aku begitu gugup saat itu.

"Mau ngucapin 'Selamat' aja sama kamu, Mik."

"Kamu jadian sama Doni, kan?"

"Selamat ya, udah ngrebut Doni dari aku"

"Dijaga ya, Doni. Udah gitu aja. Kapan-kapan kalo bisa, kita ketemu. Aku pingin tahu kayak apa pacarnya Doni yang katanya cantik dan tinggi itu."

Klik.

Telepon terputus.

Aku letakkan gagang telepon dengan lemas.

Tak banyak bicara, aku berjalan menuju kamar dan mengirim pesan pada Mas Doni melalui ponselku. "Mas, bisa telpon sekarang?"

10 menit berlalu. Tanpa ku duga, Mas Doni sudah berada di teras rumahku.

"Kak Mika, ada Mas.. itu.. gak tau namanya.. udah nungguin di depan tuh," panggil Leo padaku.

Aku menyongsong Mas Doni ke depan. Sebentar saja aku merasa begitu gembira karena Mas Doni datang mendadak. Meski sedikit khawatir jika Papa menegurku karena menerima tamu pria di malam hari.

"Mas.. kok ndak bilang kalo mau kesini?"

"Mampir bentaran aja, tadi habis kerja kelompok di deket sini."

"Tapi habis ini pulang, jangan lama-lama."

"Takut, sama papa mu? Haha..."

Aku mengangguk sambil tersenyum pahit.

"Mas tau ndak? Barusan siapa yang nelpon aku?"

"Siapa emang?"

"Sari."

"Ha? Sari? Ngapaaiinn..?"

"Emang bener, aku ngrebut kamu dari dia?"

"Eh. Aku tu udah putus lama dari dia."

"Tapi dia bilangnya gitu."

"Udah jangan dimasukin ati. Sari mah gitu."

"Nadanya gak enak banget tau."

"Ya maaf, gara-gara aku, kamu diganggu Sari"

"Dia tahu telponku darimana ya?"

"Entah. Bahas yang lain ajalah."

"Sari masi suka ya sama Mas?"

"Entah."

"Kenapa kalian putus?"

"Males ah, Mik. Bahas Sariii teruuuss."

"Ya kan, aku mau tau, Mas!"

"Aku pulang aja kalo gitu."

Tanpa memperpanjang pembicaraan, Mas Doni langsung menyalakan mesin motornya dan berlalu dari pandanganku. Perasaan yang tidak enak menghantuiku. Seperti rasa bersalah karena memaksa membicarakan hal tidak dikehendaki dengan orang lain.

Tak lama setelah Mas Doni pulang. Aku mendapati beberapa pesan dalam ponselku. Penuh cemas, aku membacanya satu per satu.

7 Message Received

MAAF AKU TERLALU PENGECUT BAGIMU YANG PEMBERANI.

I HAD MY FIRST KISS WITH HER AND IT WAS A MESS.

SEKARANG GAK PERLU ADA NAMA LAIN DIANTARA KITA. SIAPAPUN ITU.

KALO AKU BISA MENUNGGUMU UTK MELUPAKANNYA, KENAPA KAMU TIDAK BISA?

STOP BERTANYA TENTANG MASA LALU!

I HATE IT!!

SHE MEANS NOTHING FOR ME

I DO LOVE YOU, SO MUCH. PLEASE.

I'M SORRY FOR EVERYTHING.

***

Aku tersenyum membaca pesan dari Mas Doni. Ku ulang terus menerus membaca pesannya. Teringat betapa tulusnya dia padaku. Begitu banyak kebaikan yang dia lakukan, sedangkan aku, tak melakukan apapun untuk membalasnya. Begitu bodoh jika aku mempercayai apa yang Sari katakan, sedangkan antara aku dan Sari tidak pernah mengenal sebelumnya.

Aku mengetik beberapa kata membalas pesan Mas Doni. Jariku terhenti. Sempat aku hendak membatalkan mengirim pesan padanya. Namun sisi hatiku terus bergejolak untuk mengatakan yang sesungguhnya.

MAS.. MAAFKAN MIKA, YA.

MIKA SAYANG MAS DONI

-Message Sent-

***

avataravatar
Next chapter