Kali ini mau tidak mau Satria setuju dengan apa yang dikatakan anak laki-laki itu. Apalagi ketika Satria melihat kedua matanya yang tiba-tiba sendu dan begitu kompleks dengan perasaaan yang entah apa dan bagaimana beratnya. Priyam kemudian menunduk.
"Iya, kau mungkin benar, Priyam. Manusia menurutku lebih sadis dan lebih jahat dibanding hantu. Andaikata aku bertemu perampok atau begal, aku pasti mati dibunuhnya. Kalau hantu, ya meski aku juga mungkin akan kencing di celana, tapi mungkin aku cuma pingsan saking takutnya. Sedangkan manusia pasti tak tidak ragu menghabisi nyawa orang lain."
Priyam mengangguk, "Kau tahu mengapa nama desa ini Obong?" tanya Priyam. Satria diam, meski setahunya kata obong dalam bahasa Jawa berarti bakar.
"Karena orang-orang desa ini suka sekali dengan api," lanjut Priyam melihat Satria tak menjawab.
"Mereka suka bermain-main api dalam rupa pedukunan, santet, pesugihan, dan kegiatan lain yang menuntut mereka untuk bekerja dengan iblis. Mereka suka membakar perasaan orang, keluarga dan diri mereka sendiri dengan perjudian, pelacuran, dan arak. Tapi mereka semua adalah orang-orang munafik. Bapakku, Ngalimun, mati matian menjaga keseimbangan dengan berbicara dengan alam gaib dan dunia lain agar dapat berdamai dengan mereka. Tapi keluargaku dituduh syirik. Padahal bapakkulah yang menangkap tuyul yang mencoba mencuri di salah satu rumah warga. Bapakkulah yang mendapati pak lurah memelihara jin yang membuatnya tetap kaya walau tak terlihat pernah bekerja sedikitpun," lanjut Priyam kemudian panjang lebar sekaligus berapi-api.
Satria terus terang bingung harus menjawab apa atau merespon bagaimana. Karena setahunya nama Obong berkenaan erat dengan hal-hal yang dilakukan para nenek moyang desa ini. Ia sering mendengar, bahkan terlalu sering, bahwa keluarganya di desa ini secara turun-temurun dianggap sebagai keluarga yang terhormat dan terpandang. Mereka dianggap sebagai orang-orang awal yang berani membakar alat-alat praktik perdukunan dan ilmu gaib di desa ini. Sederhananya, nenek moyang Satria di desa ini adalah orang-orang yang berani melawan kesyirikan. Maka dari itu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhurnya itu, orang-orang desa sepakat menamai desa ini sebagai Desa Obong.
Tapi memang dari satu sisi, Satria melihat Priyam ada benarnya juga mengatakan bahwa desa ini dahulu terkenal dengan praktik ilmu gaib mereka, tapi dari cerita simbah kakung dan simbah putri Satria, keluarga nya lah yang sedari awal menjaga agar desa ini tidak terjerumus ke dalam kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang baik, bukan sebaliknya. Jadi Satria agak bingung dengan cerita versi Priyam ini. Tapi ia tak mengacuhkannya, namanya juga cerita pasti sebenarnya hanya dua sisi dari uang logam yang sama, bukan?
Jadi Satria memutuskan untuk diam saja.
"Kau lihat kepala terbang itu?" kata Priyam mendadak sembari menunjuk dengan hidungnya ke arah atas. Tentu Satria tidak melihat apa-apa selain dedaunan pohon kelapa yang panjang-panjang berbayang bagai jari-jemari. Tanpa menunggu balasan jawaban Satria, Priyam berkata, "Sudah entah berapa lama mereka terus mempraktikkan ilmu hitam itu. Mereka saling balas meneluh, menyiksa orang lain, bahkan tidak terkecuali tetangganya sendiri, dengan penuh benci."
Lama kelamaan, Satria menjadi sedikit gelisah dengan sikap Priyam ini, selain ia juga merasakan ngeri. "Kau melihat sebuah kepala terbang?" tanya Satria perlahan.
"Kau tahu, Satria, malam ini iblis berpesta pora. Kau merasakan panasnya kan? Perempuan berbaju merah di atas pohon pisang tadi adalah perempuan yang diperkosa oleh pejabat desa bersama para pemuda. Ia selama ini di alam kematiannya penasaran menunggu sebuah pembalasan. Begitu terus. Entah untuk berapa lama."
Tak pelak Satria melongo dan menelan ludahnya sendir keras. "Maaf selama ini aku selalu bercanda, Priyam. Tapi sepertinya kau memang bisa melihat hal-hal yang tak dapat aku lihat. Aku juga tidak sampai berpikir sejauh itu soal desa ini. Bahkan, sebenarnya tidak banyak sebenarnya yang aku pahami di tempat ini," kata Satria jujur.
"Kau cuma bisa melihat hal-hal baik yang ada di depan matamu. Tunggu setelah kau mau membuka pikiran atau menunggu agak dewasa sehingga mampu melihat keburukan-keburukan, maka mata batinmu akan terbuka pula," ujar Priyam.
Perasaan Satria kembali berubah drastis terhadap Priyam yang misterius ini. Ia hampir saja tertawa mendengar ucapan Priyam. Melihat perawakannya, umur Satria saja mungkin lebih tua setahun dari Priyam, tapi Priyam berlagak sok bijak dan dewasa bagi Satria.
Priyam memang anak yang aneh. Satria sadar itu. Tapi entah bagaimana, Satria suka dia. Priyam selalu serius dan dipenuhi dengan kesedihan. Itu kerap membuat Satria kadang kasihan dengan apa yang sudah dirasakan Priyam selama ini, entah apapun itu. Satria sendiri melihat dirinya sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Priyam. Awal pindah ke desa ini, Satria masih merasa sendirian dan kesepian. Ia sadar bahwa semua ini adalah karena keputusan nya sendiri yang sudah bulat untuk menetap bersama mbah kakung dan mbah putri nya yang tidak begitu ia kenal, apalagi ia masih SMP, masih terbilang kecil untuk bisa tinggal di tanah orang.
Tapi itulah tekadnya untuk mengetahui dan mengalami kehidupan di pulau Jawa yang ia dengar penuh dengan warna, bahkan kerap gemerlap. Hanya butuh sekejap untuk tahu bahwa nyatanya ia tinggal di sebuah desa.
Memiliki sebuah keluarga yang terpandang di desa ini sebenarnya membuatnya memiliki banyak keuntungan. Orang-orang penasaran dengan Satria sewaktu pertama ia sampai di tempat ini. Teman-teman sebaya di desa nya tersebut menawarkan 'bantuan' mereka untuk mengenal desa ini lebih baik. Setiap hari mereka mengajak Satria bermain dan berkeliling desa. Pergi ke arah selatan desa, melalui kebun tebu, bermain di belakang bangunan pabrik gula yang sudah berdiri sejak jaman Belanda, menyusuri kali kecil ke arah timur sampai ke sungai Pratama; yaitu sungai utama yang berbatu besar-besar dan berarus kuat, untuk menyetrumi ikan-ikan kecil, berburu bajing melewati sawah sampai ke desa tetangga, atau ke arah utara bermain bersama teman sebaya di bekas candi kuno yang sudah tinggal puing-puingnya saja.
Tapi tetap saja Satria merasa pertemanan dengan anak-anak sebaya dan remaja yang sedikit lebih tua itu terasa tidak tulus. Maklum lah, ia belum lama tahu bahwa keluarga nya begitu dihormati di desa ini. Rumah peninggalan kolonial dengan lantai dengan ubin Belanda, dinding semen kokoh yang berbeda dengan rata-rata penduduk desa yang berdindingkan anyaman bambu alias gedhek dan berlantai tanah padat, membuat siapapun sadar bahwa rumah mbah kakung dan mbah putri nya adalah milik orang kaya dan terpandang.
Teman-teman sebaya nya seperti berebutan bertandang ke rumah mbah kakung dan mbah putri nya untuk mengajak Satria bermain atau bersosialiasi, padahal diam-diam mereka juga menginginkan jamuan mendoan atau sirup yang diberikan mbah putri Satria ketika mengetahui ada anak-anak yang memperlakukan cucunya dengan baik. Satria juga kemudian tahu bahwa warga desa memanggil mbah kakung nya dengan istilah mbah Carik.