Ayah Satria kerap sekali bercerita bahwa nenek moyang nya di desa ini dahulunya turun-menurun adalah para Carik, yaitu sebuah jabatan masa lalu di Jawa yang merujuk pada pekerjaan dan tanggung jawab semacam sekretaris desa yang bertugas mengurusi surat-menyurat dan kepentingan admisitrasi lainnya. Carik menjadi orang kedua yang dihormati di desa setelah lurah. Apalagi bila lurah berhalangan hadir dalam suatu rapat tertentu, atau tidak bisa ambil bagian dalam sebuah kegiatan, maka Carik lah yang menggantikan perannya. Jadi jelas bahwasanya Carik sangat dihormati di desa ini.
Menurut sang ayah, mbah kakung Satria yang bernama Darwen ini memang bukan lagi seorang Carik. Namun karena sudah dari dahulu orang terbiasa memanggil para Carik dan keturunannya dengan panggilan Carik pula, maka jadilah mbah Darwen Satria dipanggil dengan mbah Carik Darwen sampai sekarang. Sang ayah malah sempat bercanda, bila ia masih tinggal di Jawa sampai sekarang, di desa ini kelak ia atau mas nya, yaitu pakde Satria mungkin akan juga dipanggil sebagai Pak Carik.
Jujur, Satria tidak terlalu keberatan dengan segala kebaikan yang dialamatkan warga, terutama anak-anak sebaya, kepadanya.
Semua orang, baik anak-anak, muda, tua sampai kakek-nenek kenal siapa itu Satria. "Iku lho, putune mbah Carik Darwen sing seko Kalimantan. Cucu mbah Carik Darwen dari Kalimantan," kata mereka.
Tapi sudah dua tahun Satria tinggal di desa ini mendapatkan perlakuan seperti itu, jengah juga kadang-kadang rasanya. Akhirnya ia justru menjadi merasa sepi sendiri lagi, merasa jauh dari orangtua dan adik-beradiknya. Dan hal mengagumkan terjadi sampai Satria bertemu Priyam.
"Kau harus pulang," kata Priyam mendadak. Tanpa basa-basi seperti biasa, juga memotong dan mengganti tema pembicaraan sesuka hati memang adalah ciri anak laki-laki aneh itu. Priyam berbalik arah ketika mereka mendekati areal perkuburan desa.
"Terlalu ramai," ujar Priyam. Satria melihat ke arah kuburan. Hanya ada satu lampu kuning menggantung di bawah pohon kamboja di dalam tembok kompleks kuburan, sisanya gelap, kelam dan sepi.
"Terlalu ramai?" Satria mengulang pernyataan Priyam.
"Malam ini sedang ada pasar di situ. Aku tak tahan dengan keramaian seperti itu," balas Priyam dingin.
Satria meringis dan nyengir. Ia kahirnya cuma bisa mengangkat bahu. Sebagaimana anehnyapun Priyam, sampai saat ini tak ada hal aneh yang menimpa Satria. Jadi ia tak begitu ambil pusing dengan apa yang dikatakan oleh Priyam. Toh kalau memang ada hantu dan segala pernak-pernik supranaturalnya, Satria belum pernah melihatnya.
Ketika mereka berjalan pulang, Priyam kemudian berbelok ke arah rumah yang ia tunjukkan sebelumnya dengan jalan setapak kecil menuju ke kegelapan dengan sebuah pohon beringin di tepinya. Ia melakukan ini tanpa pamit kepada Priyam. Lama-kelamaan Satria wajar dan tidak heran lagi dengan perilaku Priyam yang aneh dan bagai hantu itu. Ia sendiri lalu menyusuri kali kecil tempat biasa ia buang hajat, pulang ke pos ronda. Di sana anak-anak seusia Satria dan para remaja tertawa-tawa seru bermain kartu gaple sembari mengupasi kacang kulit gongseng. Tadinya ia ingin bertanya mengenai Priyam dan rumahnya di lor ndeso sana, tapi urung karena ia ternyata sudah mengantuk berat.
"Aku bali sik yo cah, pulang duluan deh, udah ngantuk," pamitnya kepada rekan-rekannya.
"Malam minggu enaknya ronda sama kami, malah pulang awal. Sudahlah, pulang sana sebelum mbah putri menguncikan pintu," seloroh salah satu teman desa Satria yang suka sekali menenggak arak. Anak-anak dan remaja yang lain menganggukkan kepala kepada Satria. Perilaku mereka tidak ada yang menyebalkan terhadap Satria sampai saat ini. Ya mungkin karena sekali lagi, ia berasal dari keluarga yang dihormati selama turun-menurun di desa ini.
Satria kemudian pulang dan tertidur pulas. Mbah putri dan mbah kakung nya yang biasa tidur lewat dari tengah malam tidak repot-repot menanyainya lagi ketika pulang sampai di depan rumah tadi.
Besoknya desa Satria heboh. Ada warga baru pindahan dari Banyuwangi, Jawa Timur. Hebohnya tidak tanggung-tanggung. Semua warga, dari anak kecil ingusan yang bugil sampai orang tua yang sudah bungkuk datang berkerumun ke rumah keluarga baru itu, seperti melihat topeng monyet saja.
Hal ini wajar adanya mengingat tidak banyak orang pindah ke desa Obong. Adanya malah orang desa Obong yang minggat buat cari hidup yang lebih baik di kota atau negeri orang. Kejadian ini sama persis sewaktu pertama Satria diantarkan ayahnya ke desa untuk dititipkan ke mbah kakung dan mbah putrinya. Semua bereaksi berlebihan, benar-benar seperti melihat hiburan topeng monyet di pasar. Hanya saja ada perbedaan mendasar mengapa kedatangan satu keluarga ini memang pantas dihebohkan dibandingkan dengan kedatangan Satria dua tahun yang lalu.
Ada dua alasan.
Pertama, sang kepala rumah tangga bekerja sebagai penjual barang antik serupa keris, kain batik, lampu antik, meja dan kursi serta entah benda-benda apa lagi. Gosip hanya dalam hitungan detik mengatakan bahwa bukannya penjual barang antik, keluarga ini adalah keluarga dukun yang pekerjaannya menyantet dan meneluh orang sesuai permintaan. Satria hanya bisa geleng kepala mendengar gosip ini yang terus mengambang di udara desa Obong di hari-hari mendatang.
Tapi untuk alasan kedua, Satria lebih geleng kepala lagi. Sepasang suami istri yang baru pindah itu memiliki satu orang anak gadis seumuran nya yang berparas elok. Urang Ayu namanya. Rambutnya panjang ikal tebal dan hitam sekelam malam. Matanya lentik dan pipinya gembil.
Rupa-rupanya darah Bali dari sang ibu yang membuatnya memiliki pesona itu. Namanya saja Urang Ayu yang kurang lebih artinya 'orang yang cantik', seakan-akan kedua orangtuanya paham betul kalau ketika anak gadis mereka beranjak dewasa kelak akan memiliki paras yang ayu, alias cantik.
"Nah kan, makin jelas kalau bapaknya Urang Ayu itu dukun. Dukun yang sakti. Sampai-sampai dia bisa melihat masa depan," gumam salah seorang remaja desa yang usianya sedikit lebih tua dari Satria.
Satria cuma mengangkat ujung bibir nya sedikit. Nama bagi nya adalah harapan dan doa. Jadi bila doa itu kesampaian, itu memang karena harapannya terwujud dan doanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, bukan sebaliknya yaitu karena kita tahu apa yang akan terjadi, maka seorang anak dinamai sesuai penglihatan kita itu. Begitu yang dipikirkan Satria.
Pemikiran ini menyadarkan Satria akan sesuatu. Priyam ada benarnya. Orang-orang desa dari yang muda sampai yang sudah pikun masih saja terlibat hal-hal yang berbau gaib dan mistis. Mereka masih saja suka mendengar dan membahas gosip di seputaran klenik dan supranatural. Apakah Satria mulai dapat melihat desa ini dan warganya dari sisi yang berbeda? Atau, jangan-jangan, semua ini hanya pembenaran dirinya saja ketika melihat seorang gadis cantik yang nampaknya jauh sekali dari kesan hidup di dalam duni perdukunan kedua orangtuanya.