webnovel

Hati di Dalam Hati

Ada hatiku di dalam hatimu.

***

"Bentuk ini kan yang lo mau?" Prima memberikan hasil kerajinan tangannya pada Ratu.

Ratu melihat bentuk hati itu dengan mata yang berbinar. Hasil karya Prima memang mirip dengan apa yang ada di bayangannya. Pekerjaan Prima lebih cepat dari pekerjaannya.

"Lain kali, harus lebih pintar." Prima menepuk-nepuk pelan kepala Ratu.

"Kak Prima kok cepat bisa?" tanya Wilda.

"Dulu pernah buat ini waktu SMP, sempat lupa sama tekniknya. Pas liat kamu jelasin, jadi langsung paham."

"Gini bagus nggak Wil?" Yudis menunjukkan hasil tangannya. Cowok itu membuat karakter kartun Doraemon. Tokoh itu memang cocok dibuat dengan warna bahan yang terbatas seperti sekarang ini. Tidak banyak warna dan bentuk yang mudah.

"Itu udah bagus, tinggal dirapikan seratnya. Tapi soal merapikannya bisa nanti."

"Oke nih, gue udah bisa satu," kata Yudis dengan bangga menunjukkan hasil karyanya.

Sementara itu, saat kepalanya ditepuk oleh Prima, Ratu jadi kehilangan fokus. Dia hanya bisa melihat boneka bentuk hati itu yang ada di tangannya. Ada perasaan yang tidak enak di dalam dirinya.

***

Tepat jam tujuh, Prima mengantar Wilda, Cia, Nita dan Zira kembali ke kampus. Dia kembali ke kampus  untuk rapat bersama MuKa atau kepanjangan dari Musik Kampus. Tahun ini, Prima ditugaskan sebagai ketua dari MuKa melalui pemilihan suara.

Malam ini hanya rapat soal kriteria apa saja yang menjadi tolak ukur mereka menerima anggota baru. Serta waktu pembukaan dan penutupan pendaftaran. Selain itu, Prima juga membahas soal beberapa acara yang mengundang mereka sebagai pengisi acara.

Prima melihat jam tangannya, jarum jam baru menunjuk ke angka delapan. Waktu yang digunakannya untuk rapat hanya sejam ini jauh berbeda jika dibandingkan saat mereka latihan.

"Rapat malam ini sampai di sini aja, pertemuan selanjutnya bakalan kita lakukan Senin depan atau sehari sebelum pendaftaran di publikasikan. Sekian pertemuan kali ini, terima kasih."

Sendari tadi, ponsel Prima terus bergetar saat dia rapat. Namun Prima sudah membuat peraturan kalau tidak boleh bermain ponsel saat rapat sedang berlangsung. Dia pun tidak akan melanggar peraturan itu walaupun dia memiliki jabatan yang tinggi di dalam organisasi itu. Tidak ada hak istimewa untuk peraturan yang sudah dibuat bersama.

Ponsel Prima terus bergetar sampai dia mengambilnya dari saku celananya. Dia segera menekan tombol hijau itu dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Apa, Ma?"

"Kenapa baru diangkat sih?"

"Baru selesai rapat. Kenapa Ma?"

"Udah selesai? Pulang sekarang. Ratu dari tadi order ojek enggak ada yang terima. Kamu tau sendiri kan, daerah rumah kita ini jarang ada yang mau ambil orderan kalau malam."

"Iya, ini mau pulang," kata Prima.

Beberapa saat tidak ada lagi suara dari mamanya. Prima mengira mamanya telah memutuskan sambungan telepon. Namun saat dia melihat layar ponselnya panggilannya masih terhubung.

"Ma?" sahut Prima.

"Papa kamu sudah datang, Mama suruh antar Ratu aja deh."

"Jangan Ma, minta Ratu tunggu sebentar. Ini sudah masuk mobil kok." Prima mematikan ponselnya dan dia segera menyalakan mesin mobilnya.

Saat berada di dekat Ratu tadi, Prima seakan tertarik melihat cewek itu. Dia suka melihat wajah serius Ratu waktu mengerjakan sesuatu. Namun hubungan mereka masih terasa aneh, ada yang mengganjal. Prima ingin memperjelas itu malam ini.

Prima membunyikan klakson mobilnya saat dia sampai di depan rumah. Tidak lama dia menunggu, Ratu ke luar dengan mamanya. Mamanya mengantar Ratu sampai masuk ke dalam mobil Prima. Sepertinya Ratu dan mamanya sudah akrab.

"Hati-hati kamu bawa mobilnya," pesan mamanya.

"Tenang aja Ma." Prima mengacungkan ibu jarinya lalu melambaikan tangannya.

Waktu mobilnya berjalan meninggalkan rumah, Prima menoleh pada Sagita. "Lama ya nunggunya?"

"Enggak masalah sih, tadi buru-buru mau pulang biar bisa makan malam sama Mama. Tapi karena enggak dapat ojek atau taksi jadi nggak bisa pulang tepat waktu."

"Jadi lo belum makan?"

Ratu menggeleng. Dia sudah sangat lapar. Walau pun sudah disajikan di rumah Prima makanan ringan, itu tidak terlalu membantu perutnya menjadi kenyang.

"Ya udah, sebelum gue antar lo pulang, kita makan dulu. Lo suka makan apa?"

"Terserah Kak Prima aja deh," ucap Ratu. Dia bukan tipe orang yang pemilih soal makanan. Apa saja yang dihidangkan bisa dia makan. Apalagi kalau sudah lapar seperti ini.

Prima menghentikan mobilnya di depan sebuah warung kaki lima. Ratu segera melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil. Dia pernah makan di sini bersama Athalla, menurutnya mie ayam di sini enak untuk ukuran warung kaki lima.

Dari baunya saja Ratu sudah tidak bisa menahan diri lagi. Tanpa menunggu Prima, Ratu memesan makanan lebih dulu.

"Pak, mau satu juga," kata Prima setelah Ratu selesia memesan.

"Mie ayam tanpa sayur kan?"

Prima mengangguk kemudian dia mengajak Ratu untuk memilih tempat duduk. Mereka duduk bersebelahan.

"Kak Prima sering makan di sini? Kok penjualnya tau pesanan Kak Prima?"

"Kalau mama enggak masak, gue pasti ke sini."

"Eh iya hampir lupa." Ratu lalu membuka tasnya dan mengeluarkan hasil kerajinan tangannya dengan serat kain wool. "Tadi sambil nunggu Kak Prima, aku buat ini sama mamanya Kak Prima."

Prima mengambil hasil karya Ratu. Dia menekannya dan merasakan kalau benda itu cukup padat seperti yang seharusnya. Benda yang dibuatnya berbentuk hati sama seperti yang dia buat tadi tapi ini ukurannya lebih besar.

"Keren, kamu yang buat kan?"

"Bukan," jawab Ratu sambil menggeleng.

"Oh, mama aku?"

"Bukan juga."

"Terus, siapa yang buat?"

"Itu punya Kak Prima yang Kakak buat tadi. Cuma aku tambahin seratnya dan dibantuin sama mama Kak Prima."

Prima tersenyum melihat benda berbentuk hati itu. "Jadi, di dalam hati buatan kamu ini ada hatiku?"

Ratu menyipitkan matanya. "Rasanya aneh dengan Kak Prima ngomong aku-kamu. Biasanya pakai gue-lo atau kalau sama anggota kelompok tiga pakai saya."

"Pakai saya cuma pencitraan aja. Kalo lo-gue itu untuk teman dan pakai aku-kamu itu levelnya udah beda."

"Apa bedanya?" Ratu sudah tau ke mana arah pembicaraan ini.

"Soal di mobil kemarin, aku serius. Kita lakuin apa yang kamu bilang itu. Kalau berhasil untuk kita berdua, kita bisa lanjut."

Ratu menatap mata Prima. Dia melihat ke dalam mata cowok itu. Memang tidak terlihat adanya keraguan dan kebohongan. Ratu lah yang merasa ragu pada dirinya sendiri.

"Kalau cuma salah satu yang berhasil, salah satunya bakalan terluka."

"Aku siap sama konsekuensi itu, kamu sendiri gimana?"

"Aku belum tau Kak," kata Ratu.

Prima pun mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kalau kamu belum siap, aku bisa nunggu sampai kamu setuju kok."

Penjual pun membawakan mie ayam pesanan mereka. Dia memberikan mie ayam tanpa sayur ke hadapan Prima dan mie ayam lengkap pada Ratu. Kedua makan dalam keadaan diam. Seakan topik pembicaraan tidak ada yang menarik yang bisa mereka bahas.