webnovel

Kalah Jika Jatuh Cinta

Siapa yang jatuh cinta duluan dia yang kalah.

***

"Soal di mobil kemarin, aku serius. Kita lakuin apa yang kamu bilang itu. Kalau berhasil untuk kita berdua, kita bisa lanjut."

Ratu menatap mata Prima. Dia melihat ke dalam mata cowok itu. Memang tidak terlihat adanya keraguan dan kebohongan. Ratu lah yang merasa ragu pada dirinya sendiri.

"Kalau cuma salah satu yang berhasil, salah satunya bakalan terluka."

"Aku siap sama konsekuensi itu, kamu sendiri gimana?"

"Aku belum tau Kak," kata Ratu.

Prima pun mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kalau kamu belum siap, aku bisa nunggu sampai kamu setuju kok."

Penjual pun membawakan mie ayam pesanan mereka. Dia memberikan mie ayam tanpa sayur ke hadapan Prima dan mie ayam lengkap pada Ratu. Kedua makan dalam keadaan diam. Seakan topik pembicaraan tidak ada yang menarik yang bisa mereka bahas.

Laura tengelam pada pemikirannya tentang pertanyaan 'apakah dia bisa menerima orang lain?' sementara hatinya masih terus memikirkan orang lain. Ratu tidak mau lagi melihat tatapan kecewa orang yang terlanjur menyayanginya.

***

Ingatan Ratu seperti kembali pada tiga tahun yang lalu. Saat di mana dia masih menjadi murid baru dan harus menjalani masa orientasi mahasiswa. Waktu itu seseorang mendekatinya, tidak peduli bagaimana pun cueknya Ratu padanya cowok itu tidak pernah menyerah mendekatinya.

"Ratu, tunggu aku." Cowok yang bernama Paris itu berlari mengejar Ratu yang sudah jauh meninggalkan gerbang sekolah.

Letak sekolahan yang hanya berada dua blok dari rumahnya membuat Ratu lebih memilih untuk berjalan kaki dari pada menunggu mamanya menjemput. Sedangkan Athalla biasanya sebelum pulang ke rumah dia bermain bola dulu di lapangan. Pulang sendiri inilah sering menjadi alasan cowok yang sedang mendekati Ratu untuk mengantarkannya pulang atau jalan bersama.

"Kamu ngapain sih ngikutin," kata Ratu dengan wajah cemberut. Langkah kakinya juga makin dilebarkannya agar jalan lebih dulu.

"Pulang bareng, rumah kita kan searah."

Ratu melirik cowok itu, dia sudah tau kalau alasan itu hanyalah sebuah omong kosong. Ratu tau di mana rumah Paris. Rumahnya terletak berseberangan dengan arah rumahnya.

"Serius deh, mau kamu apa sih? Aku risih diikutin gini terus tiap hari. Dari ke kantin, pulang, dan jangan bilang kamu ngikutin aku juga kalau ke toilet?"

Paris menggeleng dengan cepat. "Aku enggak ikutin kamu ke toilet karena kan aku enggak tau kapan waktunya kamu ke toilet."

Pupil mata Ratu melebar menatap Paris yang berbicara seperti itu. "Kamu tau? Aku suka sama orang yang pintar, ganteng dan tinggi. Apa kamu punya itu? Enggak kan? Mending mundur deh, aku enggak bakalan suka sama kamu."

Paris yang saat itu bertubuh gempal dan lebih pendek tiga sentimeter dari Ratu hanya bisa terdiam. Perkataan Ratu sangat menghinanya dan membekas pada dirinya. Tanpa berkata apa pun lagi, Paris berbalik badan dan berjalan ke arah yang seharusnya. Arah rumahnya.

Ratu juga ikut terdiam, dia menoleh melihat Paris yang terus berjalan tanpa berbalik ke arahnya lagi. Dari belakang, Ratu bisa melihat Paris mengusap pipinya. Dalam hati, Ratu bertanya-tanya apa Paris menangis? Pertanyaan itu mendapat jawaban di hari kelulusannya.

Waktu Paris mulai mendekatinya, dia mendapatkan informasi cowok itu dari Athalla. Paris berada di tingkat delapan, tingkat paling rendah. Tubuhnya yang gempal membuatnya terlihat pendek. Perkataan tadi sudah direncakan Ratu sebelumnya, tapi dia tidak membayangkan kalau itu akan berdampak sebegitu besar pada seseorang.

Sejak hari itu, Paris tidak pernah lagi menyapa dan mengikuti Ratu. Lambat laun, Paris menjadi orang yang berbeda. Cowok itu berubah menjadi orang yang lebih baik, bukan seperti orang yang dikatakan oleh Ratu.

Sampai akhirnya mereka lulus, Paris kembali menghampiri Ratu. Cowok itu berdiri di hadapan Ratu, Athalla dan Attalie.

"Hai Ris," sapa Ratu.

"Aku ke sini cuma mau bilang makasih."

"Makasih untuk?"

"Hinaan kamu yang waktu itu, ingat? Kalo kamu udah lupa enggak apa-apa tapi aku masih ingat semuanya. Gara-gara hinaan aku itu, aku punya motivasi biar bisa jadi kayak yang sekarang ini."

Mata Ratu melihat Paris dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Memang semuanya jauh berbeda. Paris seakan tumbuh dua kali cepat dari Ratu, sampai dia harus mendongak agar bisa bertatapan dengan cowok itu. Kulitnya putih bersih dan penampilannya pun necis. Terakhir kali Ratu dengar, Paris berada di kelas tingkat 4.

"Aku enggak pernah marah sama kamu," kata Paris. "Malah mau bilang makasih. Kalau aja waktu itu kamu enggak bilang gitu, mungkin aja aku masih Paris yang lama."

Memang Paris berkata dia tidak marah padanya. Namun Ratu bisa melihat kilatan kecewa di mata cowok itu. Kilatan kecewa itu masih saja sama dengan yang Ratu lihat saat dia mengatakan kalimat hinaan itu pada Paris.

"Gue pergi dulu ya," kata Paris akhirnya.

Ratu tidak sempat berkata maaf atau pun memuji cowok itu. Perasaan kecewa Paris seakan menghantui dirinya. Memang bukan hanya Paris cowok yang dikecewakan karena dia tolak tapi Paris yang paling membekas.

***

Ratu tidak ingin perasaan kecewa seseorang menghantui pikirannya lagi. Rasanya sudah cukup dihatui perasaan bersalah karena sudah menyukai orang yang seharusnya tidak dia sukai. Dia tidak ingin lebih tersiksa lagi.

"Kamu sudah selesai makannya?" tanya Prima.

Ratu melihat makanannya yang ada di mangkuk. Ternyata selama memikirkan soal Vito dan masa sekolahnya, dia jadi tidak sadar kalau makannya sudah habis.

Prima menyentuh pundak Ratu. "Enggak usah terlalu dipikirkan soal yang kita bahas tadi. Kalau kamu enggak mau, nggak masalah kok. Kita masih bisa jadi teman kan?"

Ratu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dia pun mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. Waktu Ratu ingin mengeluarkan dompetnya dari dalam tas, Prima sudah mendahuluinya. Cowok itu yang membayarkan makanannya.

"Aku yang ngajak kamu makan di sini, jadi aku yang bayar."

"Jangan Kak, enggak enak." Ratu tetap bersikeras untuk membayar sendiri.

Prima menahan tangan Ratu yang mengeluarkan dompet. "Kamu bisa ganti di lain waktu."

Artinya akan ada makan bersama lain waktu. Inilah yang Ratu hindari.

"Ayo kita pulang," ajak Prima.

Ratu pun memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas. Lalu dia mengikuti Prima masuk ke dalam mobil.

"Kak Prima."

Prima menoleh pada Ratu.

"Kalau emang Kakak mau coba dan berani terima konsekuensinya, mungkin aku juga mau coba. Kita pacaran, yang jatuh duluan dia yang kalah. Sanksinya harus nunggu sampai salah satunya ikut jatuh cinta juga. Begitu peraturannya."

"Siapa yang jatuh cinta duluan, dia yang kalah. Oke. Aku setuju." Prima mengulurkan tangannya dia mengajak Ratu untuk bersalaman.

Ratu menerima uluran tangan Prima.

"Jangan kasih tau siapa pun soal perjanjian ini ke orang lain."