webnovel

Maaf, Aku Mencintainya

Urusan hati memang susah untuk dikendalikan. Kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta sama siapa. Seperti kisah Tania, seorang gadis SMA yang jatuh hati pada seorang kakak OSIS yang bersikap sedingin es batu, bernama Belva. Dengan sikapnya yang ceria dan selalu bisa membuat Belva tertawa, akhirnya Belva pun juga merasa nyaman dengan Tania. Namun, saat rasa cinta Tania pada Belva menguat, Belva jujur pada Tania kalau sebenarnya belva adalah pacar Cantika, sahabat dekat Tania. Hati Tania begitu hancur, tetapi ia tetap tidak bisa mengendalikan perasaannya. Akhirnya mereka memutuskan tetap menjalin hubungan di belakang Cantika. Bagaimana kisah mereka selanjutnya? mungkinkah Cantika akan mengetahui hubungan gelap kekasihnya dan sahabatnya?

Roisatul_Mahmudah · วัยรุ่น
Not enough ratings
397 Chs

Perpustakaan Menjadi Saksi

Raut muka Tania seketika berubah. Ia melengkungkan kedua ujung bibirnya, meskipun mata dan pipinya masih basah.

"Siapa?" tanya Kak Doni pelan sambil tersenyum.

"Kepo. Aku kamar dulu ya Kak."

Dengan senyum yang mengembang, Tania segera berlari menuju kamarnya sambil menutup kedua telinganya. Karena cek cok kedua orang tuanya masih terus berlanjut. Ia tidak mau lagi mendengar, ia berlari melewati ruang keluarga. Namun, dia tidak menoleh sedikitpun. Ia fokus menuju ke kamarnya, mencoba untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. Kalau ia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dari orangtuanya, setidaknya dia bisa membuat kebahagiaan dengan cara dia sendiri, kan?

Tania menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu ia merebahkan diri di atas tempat tidur pink-nya masih dalam keadaan berseragam. Lalu ia kembali membuka ponselnya.

Tania memandang chat dari Kak Belva sekali lagi. Hatinya masih jedak jeduk tidak karuan. Iya bingung harus membalas apa.

[Hai kak Belva]

Ah, masa gitu. Aku harus jaim. Dia kan sudah berbuat semena-mena, aku harus pura-pura ngambek dong? Tania kembali menghapus chat yang syukurnya belum sempat ia kirim.

[Apa?]

Ya, itu jawaban yang paling tepat supaya Kak Belva bisa sedikit berfikir untuk menyakiti Tania lagi.

~Kak Belva~

[Maaf]

Tania membaca huruf demi huruf dengan saksama. Ia terkejut, ternyata makhluk sedingin es batu itu bisa juga meminta maaf. Kerasukan apa dia? Tania kembali tersenyum. Seolah Ia lupa dengan percekcokan orangtuanya.

[Kak Belva nggak salah apa-apa. Aku yang salah karena terlalu berharap kakak akan datang.]

~kak Belva~

[Besok pulang sekolah kita ke perpustakaan. Kamu bisa mengajariku di sana]

Tania kembali mengucek matanya, lalu membuka matanya lebar-lebar. Untuk memastikan apa yang ia baca bukan sekedar halu. Sejenak, ia jingkrak-jingkrak tidak jelas. Ya, matanya masih berair, tetapi pesan dari Belva benar-benar menghapus kepedihan yang dirasakan oleh Tania beberapa menit yang lalu.

[Jangan berucap kalau hanya untuk dilupakan.]

Tania tidak mau terlihat sekali bahwa ia sedang kegirangan. Dia harus jaim untuk saat ini, biar tidak terlihat terlalu agresif.

~Kak Belva~

[Aku nggak akan melakukan hal yang sama. Aku tunggu besok pulang sekolah. Bye. Aku belajar dulu]

Membaca chat terakhir dari Belva, Tania semakin girang. Ia tersenyum lebar. Rasa kecewa saat di sekolah tadi, luntur seketika.

Mungkin Belva memang merasa bersalah, karena dia benar-benar tidak tahu bahwa Tania akan sekecewa itu. Ini ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya.

Tania mengambil bantal, lalu menutup mukanya dengan bantal. Dia ingin tersenyum, terus tersenyum membayangkan hal yang indah. dia tidak mau membayangkan dan mendengarkan hal-hal yang membuatnya sakit hati, seperti percekcokan orang tuanya yang tiada habis.

***

"Tumben pagi-pagi anak mama  sudah rapi?" ucap Bu Siwi sambil menyiapkan sarapan di meja makan.

"Iya, Ma. Lagi semangat aja," ucap Tania.

"Aku berangkat dulu," ucap Pak Hadi yang muncul tiba-tiba.

"Kamu nggak makan dulu, pa?"

"Aku makan di kantor aja,"

"Kenapa? Di kantor ada yang bawain makanan?"

"Jangan mulai lagi."

"Kalau papa tidak mau dicurigai, papa seharusnya bersikap yang wajar."

"Ini yang membuat aku tidak betah di rumah. Setiap hari kamu selalu ngomel terus, curiga terus." Suara pak hadi mulai meninggi. Suasana di meja makan yang tadinya adem ayem, kini berubah menjadi panas.

"Mama dan papa bisa nggak sih, sehari saja enggak bertengkar di hadapanku. Aku capek mendengar pertengkaran kalian setiap hari. Ketika para orang tua melepas anak yang mencari ilmu dengan senyum dan kecupan, tetapi Mama dan papa selalu melepasku dengan pertengkaran dan percekcokan. Aku sedih ma harus menjadi saksi pertikaian kalian setiap hari." Tania yang dari tadi sudah menahan amarah akhirnya berteriak menghentikan pertikaian mereka. Karena dia memang benar-benar sudah tidak tahan. Nafsu makannya hilang begitu saja.

"Aku berangkat sekolah dulu, kalau mama dan papa mau bertengkar lagi, silakan lanjutkan setelah aku pergi."

Tania segera mengambil tas yang tadi diletakkan di atas kursi, lalu ia mencium tangan mama dan papanya meskipun saat itu dia dalam keadaan marah. Lalu ia melenggang pergi ke depan, seperti biasa Kak Doni sudah menunggu di motor. Kak Doni memang jarang mau sarapan bersama papa dan mamanya, karena ia tahu endingnya akan seperti apa.

Setiap hari kak Doni selalu mengantar jemput Tania, karena kebetulan ia bisa melakukan itu di sela jadwal kuliahnya.

"Ayo kak," ucap Tania kepada Doni dengan muka masam.

"Mama sama papa cekcok lagi?

"Memang seharusnya aku seperti Kak Doni, nggak pernah mau sarapan sama mereka, dan buru-buru kabur ke depan rumah sebelum ritual pertikaian mereka mulai."

"Pagi-pagi jangan ngedumel, aura kecantikanmu bisa luruh. Ayo cepat naik," ucap Doni sambil mengelus rambut Tania lembut.

***

"Yuk pulang?" ajak Cantika pada Tania saat bel pulang sekolah berbunyi.

"Kamu duluan aja. Aku masih ada meeting yang sangat sangat sangat penting. Pulang dulu sana, bye!" Tania  berucap dengan ceria. sebenarnya dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Belva sepulang sekolah ini.

"Ih, ketemu siapa?"

"Rahasia. Udah sana pulang. Bye!" Ia mendorong Cantika agar segera keluar kelas.

"Ya sudah, Aku pulang dulu ya? See you!" Cantika pergi meninggalkan kelas dan Tania sambil melambaikan tangan.

Sedangkan Tania, ia sedang duduk di bangkunya sambil menunggu Belva. Tidak lama kemudian, makhluk yang ia tunggu berjalan melewati kelasnya dengan pesona yang mampu membuat angan Tania tak pernah lepas darinya.

"Kak Belva," teriak Tania sambil melambaikan tangannya dengan ceria. Meskipun sudah jam pulang sekolah, kelas masih sedikit ramai. anak-anak banyak yang masih ngobrol bersama temannya di bangku.

Belva langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah kelas Tania.

Tania langsung tersenyum lebar, melihat Belva berhenti mendengar teriakannya. Dengan bersemangat, Tania segera mengambil tas yang ada di bangku dan mencangklong nya di bahu. Lalu ia segera berlari kecil menghampiri Belva.

"Jadi?" tanya Tania yang tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

"Iya." Belva menjawab dengan singkat  sambil tersenyum tipis. Lalu ia segera berjalan menuju ke perpustakaan dengan langkah tegas dan cepat. Tania segera mengikutinya tanpa diminta. Ah, ini pasti akan menjadi hari yang paling menyenangkan untuk Tania, karena ia bisa memandang wajah cool dari jarak dekat dengan berlama-lama.

"Kita duduk dibangku pojokan situ ya? Jadi kalau kamu sedang berisik, yang lain tidak terganggu terganggu amat." Belva menunjuk salah satu bangku yang ada di pojok, lalu bergegas menuju ke tempat yang ditunjuk. Tania hanya mengerucutkan bibirnya dan kembali mengekor sang idola.

Mereka duduk berhadapan. Untuk pertama kalinya, Tania menatap Belva dari jarak sedekat ini. Tiba-tiba saja, jantungnya berdetak dengan begitu kencang, sama sekali tidak seperti biasanya. Apalagi saat mata mereka tidak sengaja saling bertatap, jantung Tania seakan mau loncat. Tania buru-buru mengalihkan pandangan, ia salah tingkah.