"Solo?"
Sasa menggeleng tidak mengerti. Lelaki di sebelahnya ini sok akrab sekali.
"Rombongannya mana? Ditinggal?"
"Dia sama saya, Kang. Ayo!" seru Satya berhasil mengejar langkah Sasa. Ternyata cuma pendaki iseng. Lelaki itu pergi dengan cengiran, merasa tidak berdosa. "Dia bilang apa?"
"Nanyain aku dari Solo apa bukan. Nebak dari mana coba bisa kepikiran aku orang Solo."
"Bukan, bukan itu maksud dia bertanya sama kamu. Solo itu istilah yang biasa dipakai untuk orang-orang yang mendaki sendirian. Makanya, jangan main jalan aja, enggak nunggu yang lain. Kan dikira sendirian muncaknya." Satya tertawa. Sejenak tadi ia tertegun. Mencerna maksud jawaban Sasa itu.
"Wajar sih, orang gak tahu kalo istilah solo itu tunggal buat anak gunung. Aku ngehnya ya ke Kota Solo."
Sasa melanjutkan kembali langkahnya. Ia tidak terlalu takut karena terpisah dari rombongan. Hanya ada satu jalur pendakian disini. Ia tidak akan tersesat. Lagipula sepertinya perempuan bernama Dila itu kurang suka padanya, entah karena apa. Sejak tadi tatapan tajam Dila membuatnya terganggu.
"Tetap harus bersama. Kita kan berkelompok, bukan individual." Sejak tadi Satya cerewet menasehati untuk tidak berjalan sendirian meninggalkan kelompok.
"Kak Dila itu, sepertinya tidak suka padaku."
"Jangan diambil hati, sifatnya memang seperti itu. Algi aja dikatain di depan mukanya langsung."
Sasa tersenyum masam, tetap saja ia kesal. Beruntung Satya memilih untuk tetap bersamanya.
Sasa tahu Adi sempat mewanti-wanti Satya sesaat sebelum mereka berangkat. Tidak lain, pasti untuk menjaga Sasa selama berada jauh darinya. Imbasnya, sejak mereka mulai mendaki, lelaki itu semakin lebay dalam 'menjaga'-nya. Tidak boleh menghilang walau sedetik dari pandangannya.
Dua jam mereka habiskan untuk sampai di pos 3. Sasa lagi-lagi harus menunggu rombongan Algi dibawah sana. Tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Tanjakan sudah mulai terlihat curam. Setengah jam menunggu masih belum juga datang. Tidak bisa dipungkiri bahwa Sasa juga lelah. Keringat dingin mulai membasahi baju kaosnya sejak tadi. Kakinya mulai merasakan efeknya saat istirahat. Berkedut berirama sepanjang paha. Entah berapa kali ia istirahat sekedar untuk mengambil napas.
Sasa menyandarkan punggungnya ke pohon di sebelahnya. Keril masih bertengger setia, tidak ia lepaskan. Mengatur napasnya yang mulai kembali normal. Perjalanan ini menguras energinya. Satya entah kemana sejak tadi, kerilnya tergeletak sembarang di pinggirnya.
"Kalau begini bisa sampai Surken sore hari." Sasa bergumam sendiri. Melihat sekelilingnya. Menemukan Satya yang sedang memesan mie seduh di warung yang ada di dekat pos. Berjalan mendekati.
"Santai saja, mereka sepertinya tertinggal jauh. Makan dulu."
Sasa menerimanya tanpa banyak bicara. Wajar tidak, sih lapar dalam keadaan kelelahan seperti ini? Ia sejak tadi memang memikirkan demo di dalam perutnya.
"Seharusnya jangan makan makanan berat disaat seperti ini. Tapi kamu sudah bawel sejak tadi, bukan mulutmu sih, tapi perutmu. Suaranya terdengar jelas bahkan saat kita baru saja makan di pos sebelumnya."
"Tadi aku cuma makan sedikit, mana kerasa sama cacing yang lagi pada demo ini," kata Sasa mengusap perutnya sendiri. Benar kok, tadi ia hanya sempat makan sedikit.
Satya di sebelahnya hanya menggeleng. Menghabiskan perlahan mie hangat. Sedikit mengobati dingin yang semakin terasa. Di sela makannya, ia berteriak memanggil Algi. Tidak ada jawaban. Padahal suaranya cukup keras sampai bergema.
"Tidak apa memangnya membuat suara keras di tengah gunung? Tidak ada yang akan terganggu?"
"Ada."
"Apa?"
"Cacing di perutmu."
Sasa mendelik, meneruskan makannya.
Sebenarnya sejak tadi terdengar sahutan dari para pendaki memanggil nama acak. Entah itu hanya iseng agar tidak terlalu hening, entah serius seperti yang Satya lakukan. Itu cukup efektif, mengingat benda untuk berkomunikasi tidak berfungsi di tengah hutan. Berkali-kali Sasa memeriksa ponselnya, sama sekali tidak ada sinyal. Untuk menghemat batre, ia menyalakan mode pesawat.
"Kita tunggu sepuluh menit lagi. Kalau tidak muncul juga kita lanjut." Satya membereskan bekas makan mereka. Tidak menyisakan satu helai sampah pun.
Sasa ikut beranjak berdiri dari duduknya. Debu dan tanah sudah mengotori pakaiannya.
Lima belas menit berlalu. Mereka memutuskan untuk melanjutkan pendakian. Satya memimpin di depan kali ini. Berjaga jika Sasa tidak bisa menaklukan tanjakan yang semakin sulit untuk dilewati.
Satya mengulurkan tangannya melihat tanjakan semeter yang ia pun sedikit terhalang karena pohon di tengah jalan. Sasa menyambutnya tanpa sadar, selama ini ia segan untuk bersentuhan dengan lelaki itu. Walau hanya sekedar berjabat tangan. Satya tersenyum sendiri.
Dua jam mereka habiskan untuk sampai di pos 4.
"Rombongan Algi terhenti di pos 3, gak tahu lanjut atau enggak. Salah satu dari cewe itu mengeluh sakit. Lagi PMS katanya," kata Satya di sela istirahat mereka di saung pos. Sejak tadi ia mengutak-atik ponselnya agar mendapatkan sinyal. Alhasil hanya muncul sebentar, lalu hilang kembali.
Sasa tidak terlalu mendengar, ia mengatur napasnya sejak tadi. Hanya mengangguk paham. Tidak ada tenaga lagi untuk meladeni.
Satya melepaskan kerilnya, merogoh sesuatu di saku kecil paling depan. Menyerahkan satu saset madu untuk Sasa.
"Mending mereka gak usah lanjut, aku tahu sakitnya kalo lagi dapet. Kak Cila hebat bisa muncak gini, kalo aku mending memilih membatalkan rencana muncak dan rebahan di rumah saja," ucap Sasa sambil mengecap madu.
"Seharusnya mereka jujur sejak awal kalau lagi ada tamu. Rawan kan di tempat kayak gini ditambah sakitnya kambuh. Aku tahu karena bunda sering rewel kalau lagi dapet, aku sering jadi tumbal di rumah."
Sasa terkekeh melihat raut merana Satya.
"Lanjut?"
Sasa mengangguk, bibirnya memperlihatkan cengiran ngeri.
"Sedikit lagi, tanggung."
"Tanjakannya makin serem, Kak. Serius."
Tapi walau pun Sasa mengeluh begitu, ia tetap beranjak berdiri. Mendorong Satya untuk jalan terlebih dahulu.
"Santai saja yah,"
"Ya iya santai, mana bisa aku lari di tanjakan ekstrim kayak gini."
Satya tertawa.
Mereka sudah meninggalkan pos beberapa meter. Tanjakan demi tanjakan tiada henti menyapa tanpa ujung. Sejak tadi Sasa bertanya, kapan jalanan kembali landai? Percuma, jawaban Satya pasti sebentar lagi, sebentar lagi dan sebentar lagi. Sampai Sasa berhenti mengeluh dan tetap melanjutkan pendakian sampai pos terakhir.
"Setelah pos ini kita sampai di Surken, bentar lagi ketemu landai. Aku serius kali ini."
Sasa mendengus tidak peduli. Tidak lagi bisa mempercayai perkataan Satya. Sepuluh menit mereka habiskan untuk istirahat, lalu kembali melanjutkan pendakian. Tidak lagi menunggu rombongan yang tertinggal. Algi mengabari mereka terhenti total di Buntut Lutung karena Cilla tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Pukul satu siang, mereka akhirnya sampai di lembah terkenal itu, Surya Kencana. Lelah hilang seketika saat melihat padang sabana yang dipenuhi edelweiss. Sasa sejak tadi sibuk menatap keindahan pemandangan surga tersembunyi ini. Tatapannya menunjukkan takjub luar biasa. Bunga edelweiss sedang bermekaran indah. Berkali-kali ia melirik kearah Satya tidak percaya. Bumi masih menyimpan tempat seindah ini, ia merasa beruntung menjadi salah satu yang bisa menikmatinya.
Satya yang sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini menatap bahagia pada Sasa, tersenyum. Ia sudah bergabung bersama Reyhan dan dua pendaki lain. Memasang tenda untuk Sasa. Malam ini gadis itu akan tidur sendiri. Satya ragu, mungkin semalaman dia tidak akan bisa tidur.
***
Waktu sore, langit mulai menampakkan semburat jingga walau samar. Kabut tebal sesekali menutupi seluruh area berkemah sejak siang. Hujan sempat menyapa para pendaki di lembah ini tadi.
Hembusan napas kecewa terdengar dari Sasa. Siang tadi ia hanya sempat bermain sebentar, terik matahari membuat kepalanya sedikit pusing. Lalu menghampiri tendanya yang sudah berdiri tegak tanpa sepengetahuannya. Sekarang, cuaca sangat dingin setelah hujan berhenti. Membuatnya hanya berdiam di tenda, menghangatkan diri bergumul dengan kantong tidur.
Reyhan sejak tadi bolak-balik mengabadikan suasana di Surken dengan poto atau video. Dia bertugas mengambil gambar yang epik untuk promosi. Satya sesekali membantu mencarikan spot terbaik.
"Gue tadi ambil video Sasa waktu pertama sampai disini. Enggak apa kan gue pakai buat promosi Langkas?" Dahi Satya mengerut. Meminta untuk menunjukkan potongan video yang dimaksud.
"Nanti gue ijin ke Sasa dulu."
Reyhan mengangguk tanpa keberatan. Matanya kembali fokus menatap sekeliling Surken. Kabut menghilang sedikit demi sedikit. Jarak beberapa meter mulai terlihat setelah sebelumnya jarak pandang hanya dua sampai tiga meter. Kabut tebal benar-benar menutupi seluruh Surken.
Setengah jam berlalu, kabut sudah sepenuhnya menghilang. Reyhan berjalan menenteng kameranya ke sebelah barat. Mengambil video beberapa tenda yang dibuat bersisian. Seperti rumah kurcaci, beragam warna dengan bentuk yang sama.
Sasa keluar dengan pakaian santainya. Ia menanggalkan jaketnya. Selendang bermotif segitiga garis simetris ia pasang di pundaknya. Udara masih dingin sebenarnya, tapi Sasa menghalaunya demi melihat pemandangan sehabis tertutup kabut tebal.
Sasa berjalan santai menyisir setiap sudut Surken. Tanpa sepengetahuannya, Reyhan kembali mengambil video Sasa.
"Sa, kita syuting, yuk? Buat promosi Langkas nih," tanya Reyhan yang sudah berdiri di sebelahnya. Sasa sedang menatap bunga edelweiss di depannya. Menghirup wangi bunga itu.
"Aku jadi modelnya?"
"Heem. Sebentar kok, Yuk?"
Sasa menggeleng. Ia tidak percaya diri dengan hal seperti ini. Bisa-bisa orang malah menjauh karena kehadirannya yang kaku.
Satya yang berdiri tidak jauh dari mereka tertawa. Sudah pasti Sasa tidak mau. Ia bahkan belum sempat bertanya, sudah di dahului oleh Reyhan.
"Aku cuma ambil siluet atau dari belakang aja, kok. Muka kamu tidak akan nampak. Ayolah.."
Sasa menimbang sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Satya yang menyaksikannya cukup terkejut.
"Tapi nanti tolong kirimin hasilnya padaku. Biar aku cek pantas tidaknya untuk dijadikan bahan promosi."
Satya tersenyum lega. Tentu saja, Sasa tidak akan menerima semudah itu. Setidaknya harus ada banyak perjanjian sebelum menyepakati sesuatu dengan Sasa.
Satya kembali menatap langit sore. Sejak tadi ia menimbang, apa yang harus dilakukannya? Kabar itu, cukup mengganggunya sejak kemarin Adi menemuinya.
"Dia udah punya pacar?"
Satya bergeming, Reyhan sudah ada di sebelahnya.
"Gue sepertinya tahu, cepet bilang perasaan lo ke dia, keburu diambil orang."
Satya melirik kearah Reyhan, haruskah segamblang itu dalam memberi saran? Kenapa pula Reyhan tiba-tiba menyimpulkan sendiri.
Satya menghela napas.
Apakah gadisnya berencana untuk tidak memberitahunya sampai akhir? Apa yang harus ia lakukan? Menahan atau melepaskan? Satya merasa kesal karena sebenarnya ia tidak punya pilihan selain melepaskan.
"Dia akan pergi. Gue hanya bakal nambah beban dia, kalau bilang soal rasa gue."
_____
Scientory (ツ)