webnovel

XX

Satya beranjak menuju mata air yang tidak jauh dari tempat mereka mendirikan tenda.

Kabut menghilang sempurna. Langit jingga semakin menampakkan keindahannya. Membuat senyuman kecil menghiasi wajah setiap yang menatapnya.

Dulu, ia dan Bima menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk menikmati sunset di Alun-alun sebelah barat Surya Kencana. Selalu menakjubkan menatap langit dengan sudut 180° ini. Jika malam langit bersih, hamparan bintang di langit seakan membawa mereka dalam dimensi lain. Rasanya, kaki tidak lagi berpijak di bumi.

Hal yang membuat banyak pendaki lebih sering menghabiskan waktu dengan berbincang sepanjang malam dibanding menjemput mimpi.

"Kak, aku ikut!" seru seseorang di belakang. Tepukan di pundak menyadarkan Satya dari nostalgia. Langkahnya terhenti sejenak.

Gadis kecilnya, bukankah belum berdamai dengan senja?

Masalahnya, nuansa jingga itu memenuhi seluruh lembah sore ini. Ia tadi sudah memastikan bahwa Sasa bersantai di dalam tenda.

Sasa menatapnya dengan tatapan bertanya. Kenapa berhenti? Begitu maksud tatapannya. Ia sudah melangkah di depan Satya.

"Angin sore tidak bagus untuk tubuh kamu, sebaiknya tunggu di tenda bersama yang lain."

"Udara disini bagus Kak, tidak ada polusi. Lagipula, aku ingin melihat tempat yang selalu diceritakan Kak Bima setiap pulang dari Gede."

Sasa melambaikan tangannya. Memberi tanda untuk segera berjalan.

Satya menuruti. Sepintas, ia menatap langit diatas sana.

Sejak awal, ia merencanakan perjalanan ini tujuan utamanya adalah untuk menyembuhkan luka gadisnya pada senja. Keindahan langit jingga di ketinggian 2750 mdpl, tidak akan membuat kecewa siapa pun yang melihatnya. Ia berharap, senja di Surken bisa menyembuhkan luka lama itu.

Namun, sejak ia tahu tentang rencana kepindahan Sasa ke Aceh, misi itu tidak lagi menjadi prioritas. Kabar yang banyak mengambil alih fokusnya. Menahan diri untuk tidak menanyakan kepada Sasa, sulit sekali baginya. Perpisahan itu akan segera terjadi. Kenyataan yang sedang disembunyikan Sasa, walau ia sudah tahu. Ditambah Satya mengetahui hal ini tanpa sengaja.

Siang di hari keberangkatan mereka ke Gede, Om Adi sempat datang dan memberitahu Satya tentang hal itu walaupun tidak secara langsung. Semangatnya seakan hilang begitu saja.

Sepanjang perjalanan mereka, Satya terlalu pandai berpura-pura. Seakan semua baik-baik saja.

Satya mencengkram tangannya kuat. Persoalan ini, bukan hanya tentang perpisahan, mereka mungkin tidak bisa bertemu dalam jangka waktu lama. Terlebih lagi, tidak ada ikatan apa pun diantara mereka. Satya tidak pernah mengutarakan, bahwa Sasa adalah satu dari dua wanita berharga dalam hidupnya.

Menurut pandangannya, itu adalah hal yang tidak perlu dilakukan. Karena setahunya, gadisnya memang hanya dekat dengannya. Walau, interaksi Sasa dengan Fatih atau pria lain sering membuatnya kesal setengah mati. Padahal kedekatan itu tidak berarti apa-apa jika dibanding dengan dirinya. Entahlah, ia merasa, Sasa hanya akan aman jika dekat dengannya. Atau ia merasa aman jika berada dekat dengan gadisnya?

Kedekatan mereka hanya beberapa bulan terakhir ini, sulit untuknya memulai semua. Lalu dengan kejamnya keadaan kembali memisahkan. Bukan lagi tentang sukarnya ia memulai percakapan antara teman semasa kecil. Jarak mereka akan terpisah amat jauh. Dan yang paling membuatnya gusar, ia tidak bisa berada di dekat Sasa.

Satya resah, jika hubungan mereka kembali menjadi asing.

Mereka sudah sampai di tempat mata air berada. Satya menengadahkan kompan plastik di bawah air yang mengalir. Padahal sore tadi lembah sempat diguyur hujan, tapi tidak banyak air yang keluar dari mata air ini. Mereka harus menunggu lebih lama sampai kompan terisi penuh.

Waktu berlalu dalam hening. Satya dan Sasa tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Satya menatap sekeliling. Beberapa orang terlihat mendekati sumber mata air.

"Kita duduk sebentar di bukit itu sebelum waktu maghrib tiba, Sa," kata Satya beranjak berdiri.

Satya membawa gallon yang sudah terisi penuh. Tangan kanan dan kirinya menenteng bersamaan. Mereka beranjak dari sumber mata air menuju tempat yang dimaksud Satya.

"Biar kubawakan satunya lagi Kak, itu berat," tawar Sasa. Satya menggeleng. Benar, dua gallon ini terisi terlalu penuh dan berat. Makanya ia tidak bisa menyerahkannya pada Sasa.

Sedikit demi sedikit kabut mulai menghilang. Langit malam samar mulai terlihat.

"Dulu, tempat ini adalah tempat favorit kami. Aku dan Bima."

Sasa melirik kearah pria di sebelahnya. Mereka kini duduk bersisian. Menghadap barat. Tempat dimana nanti, mentari sore menghilang di ufuk.

"Sebab, pemandangan senja di tempat ini selalu menakjubkan."

Satya menelan ludahnya. Melirik kearah Sasa. Kedua insan itu beradu pandang. Satya harus menyelesaikannya sekarang, memantapkan hati. Bisakah ia menyembuhkan luka gadisnya?

"Di setiap sudut lembah Surya Kencana ini adalah tempat yang elok untuk menikmati langit sore lembayung. Hanya saja jika di akhir pekan, banyaknya pendaki yang mengunjungi dan kemah disini, kekhidmatan kalian bermuhasabah berkurang. Tempat kita duduk adalah kesukaan Kak Bima. Iya, kan?" jelas Sasa. Satya melebarkan matanya, terkaget. Gadis itu hanya tersenyum.

"Tempat kita berdua. Karena orang pertama yang menemukannya adalah aku!" sergah Satya akhirnya. Senang melihat reaksi Sasa diluar dugaannya.

Sasa tertawa. Mengangguk mengiyakan.

"Kak Satya sudah tahu," ucap Sasa. Mengutarakan hal yang sedari awal keberangkatan ia sembunyikan. Satya berbalik menatap Sasa, mensejajarkan tatapan mata mereka berdua. Kembali ia terkejut dengan apa yang dikatakan gadisnya.

"Maksudmu?"

"Maafkan aku, karena tidak memberitahukan hal ini sejak awal."

Sasa menunduk. Sungguh, banyak hal yang ia pertimbangkan tentang kepindahan ini. Tentang pria di depannya, ia sulit menemukan waktu yang pas untuk memberitahu. Perasaan takut lebih mendominasi. Perjalanan ke gunung Gede ini ingin ia manfaatkan sebaik mungkin.

"Aku tahu ayah memberitahukannya secara tidak sengaja kepada Kakak. Saat pulang dari rumah kakak, ayah menceritakan tentang hal ini. Aku sungguh menyesal karena tidak memberitahukan sendiri kepada Kak Satya."

Satya hanya terdiam.

"Maafkan aku, Karena tidak jujur sejak awal. Aku tahu, Kak Satya mempunyai alasan dibalik semua yang Kakak beri untukku. Aku tahu tentang ikrar itu. Bahkan walau tidak ada orang yang memberitahu. Maaf, karena hanya menjadi beban untuk Kakak. Sampai akhir aku tetap bersikap egois."

Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata gadis itu.

Satya menggeleng. Sungguh, bukan hanya karena janjinya pada Bima, ia tulus melakukan semua untuk gadisnya. Perempuan yang tidak pernah bisa ia hapus dalam hatinya. Sebuah rasa yang pria itu sadari lebih dari suka, bukan hanya menganggap Sasa sebagai adik, tetapi lebih dari itu. Satya telah menyadarinya sejak lama.

"Sa, kamu tahu alasanku tidak mengungkit hal ini walau sebenarnya telah mengetahui lebih dulu? Itu karena aku percaya padamu."

Satya terdiam sejenak. Tatapannya seakan meyakinkan apa yang akan dikatakannya adalah sungguh-sungguh.

"Om Adi memang tidak secara sengaja memberitahuku tentang hal ini. Namun aku tahu betul sifatmu." Satya tertawa mengejek, "iya, walau aku sedikit kecewa karena tidak mendengarnya langsung darimu. Aku berterima kasih karena kamu bersedia memberitahuku, tidak menyembunyikan sampai akhir."

Perkataan Satya barusan membuat Sasa semakin menunduk dalam.

"Maafkan aku," ujar Sasa merasa bersalah.

Satya tersenyum. Usahanya untuk membuat suanana menyenangkan, tidak pernah berhasil dalam keadaan seperti ini.

"Berhenti meminta maaf. Tidak ada yang melakukan kesalahan disini."

Satya menatap Sasa dalam.

"Sebenarnya kabar itu cukup membuatku goyah saat pertama kali mendengarnya. Sejenak, aku sungguh ingin bersikap egois. Memaksamu untuk tetap tinggal bersamaku. Bukankah kita sama-sama telah dewasa dan bisa menjaga diri dengan baik. Kita bukan bocah ingusan seperti dulu, yang selalu bersembunyi saat disuruh bunda untuk mandi sore. Namun, aku tidak bisa menahanmu hanya dengan memikirkan diriku sendiri.

"Sejak awal, kehadiranmu membawa banyak warna. Dunia hitam putihku lebih mengenali beragam jenis warna lain yang asing dalam penglihatan. Saat aku terkurung dalam ruang gelap dan sukar untuk keluar darinya, kamu memanggilku. Membuatku tersadar. Ada beragam warna lain di dunia menungguku untuk dikenal. Banyak sumber cahaya yang bisa kujadikan jalan keluar. Semua itu karenamu. Sepertinya aku terlalu munafik jika memintamu untuk tetap tinggal, Sa.

"Aku mungkin terlihat baik-baik saja dari luar. Namun, perasaan bersalah karena kenanganku bersama kakakmu, selalu membuat sesak. Bertahun aku tidak tahu cara untuk keluar dari pusaran kenangan itu. Seberapun keras aku berusaha, tidak pernah berhasil. Sampai kamu datang dan membuatku tersadar, ada janji yang belum tertunai. Memberiku keberanian untuk tetap bertahan. Sasa, kamu adalah alasan aku masih ada disini sekarang.

"Maka dari itu, aku hanya berharap kamu akan baik-baik saja dimanapun kamu berada. Jadi, tunggulah. Kelak, aku yang akan mendatangimu. Aku berjanji."

Ikrar lain dalam hubungan mereka. Entah dengan definisi mana mereka akan menjelaskan kisah singkat yang baru mereka pahami ini. Hanya saja yang pasti, mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga perasaan manis ini. Tanpa harus menuntut sebuah hubungan. Mereka tahu, langkah yang akan diambil adalah pilihan mereka sendiri dari sekian banyak pertimbangan.

Sasa bukannya tidak tahu jika Satya menyembunyikan perasaan bersalahnya. Ia memahami betul masa lalu itu terlalu menyakitkan untuk mereka berdua. Satya dan Sasa sama-sama terluka.

"Luka itu masih ada, Kak."

Sasa tertawa getir. Gadis itu sudah lebih baik walau dengan bekas air mata di pipi. Satya di sampingnya menatap, mengkhawatirkan banyak hal.

Semilir angin menyapa.

"Sejak kejadian berpisahnya ayah dan ibu, aku merasa dunia terlalu kejam. Perginya ibu. Kepergian Kak Bima. Semua terlalu mendadak bagiku. Bahkan sampai saat ini, semua yang kualami seperti mimpi buruk. Terlalu sering aku berharap bahwa aku akan segera bangun dan bertemu kembali dengan mereka.

"Ibu tak menyukai jika aku membenci ayah. Karena bahkan sampai akhir, ia selalu mempercayai bahwa selalu ada pelajaran yang bisa diambil dalam setiap keburukan. Dan itu benar kak, itu benar adanya.

"Terima kasih karena mau berjuang sampai akhir. Membuatku paham, tidak ada yang pantas untuk dibenci. Mengembalikan kesukaanku pada senja, seperti dulu."

Satya menatap gadisnya dalam. Ada kejujuran dan ketulusan yang mendalam disana.

Pria itu baru menyadari, gadis di depannya tidak pernah membenci senja sejak awal. Hanya saja ada takdir yang membuatnya merasakan sakit jika melihat panorama alam itu. Rasa takut. Luka lama yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkannya. Sebab resah sejak awal, tidak yakin luka itu bisa disembuhkan. Takdir yang membuat banyak orang menyalahkan dirinya sendiri. Beban bertahun yang coba mereka lupakan. Terlalu menyakitkan.

Satya tersenyum tulus.

"Kamu memang sejak awal selalu membuatku kagum. Karenamu, aku menyadari. Bahwa luka apa pun, selalu ada obatnya. Selama kita mau berjuang. Bukan hanya kamu yang bisa menerima luka lama itu, tapi aku, ayahmu, dengan pemahamanmu bisa menerima lebih lapang semua takdir ini. Selalu ada kebaikan dalam setiap pengalaman buruk, itu pasti."

Dua insan itu saling menatap. Setiap pertemuan memang selalu ada perpisahan. Namun menentukan pertemuan dan perpisahan itu membuat bahagia atau menyakitkan, itu pilihan kita.

Kali ini, semua rasa yang sukar untuk diungkap telah terselesaikan. Hati yang penuh luka itu membaik. Walau selalu ada penyesalan, tapi bukankah tiada akhir untuk memperbaiki penyesalan itu di masa mendatang?

Kita perlu jeda untuk kembali menyapa keadaan seperti semula. Mungkin ada jalan lain selain berpisah. Namun, tidak ada salahnya mengikuti jalan yang telah disiapkan. Mengalir tanpa perlawanan dan menerima dengan tulus. Perlu hati yang yakin untuk memutuskan tentu saja. Adalah kita yang sama-sama telah menuju keputusan terbaik. Menuju fase kedewasaan.

Sasa dan Satya saling tersenyum dibawah sisa sinar senja.

_____

Scientory (ツ)