"Dokter Jeong, aku ingin mengambil obat."
Dokter Jeong menghela napas berat. "Tuan Park, Anda harus segera melakukan operasi dan segera melakukan kemoterapi."
Mendengar kata-katanya, aku tersenyum pahit. Aku dengan instan melirik Daehyun untuk melihat bagaimana reaksinya, tapi ada kelegaan saat melihat wajahnya yang masih tenang.
"Aku belum siap."
"Sudah cukup terlambat jika Anda masih menunggu, tuan ...."
Dilihat dari raut wajah Dokter Jeong, ia sepertinya menunggu Daehyun menyela kami dan membuat keputusan tegas. Tapi untungnya, Daehyun tidak mengatakan apa pun.
Tidak lama kemudian, Dokter Jeong menyerah dengan kekecewaan. Aku mengambil seplastik obat yang ia berikan, lalu meninggalkan rumah sakit ini. Sementara itu, Daehyun tidak menanyakan apa pun mengenai perkataan Dokter Jeong. Itu membuatku sedikit lega. Akan sulit bagiku untuk berdebat dengannya jika ia berbicara tadi.
Di dalam mobil, Daehyun berbicara dengan nada memerintah kepada seorang sopir, "Bawa kami ke restoran terdekat."
Mendengar itu, aku pun seketika menoleh untuk menatap Daehyun. Namun, bahkan jika aku tidak setuju dengannya, aku tidak memiliki pilihan untuk menolak keputusannya.
"Baik, tuan," kata sopir itu.
Mobil melaju dengan tenang, dan kemudian kami tiba di sebuah restoran yang terletak di sebuah hotel bintang lima beberapa menit kemudian.
Namun, saat kami hendak memasuki restoran, sosok familiar mengejutkanku dan bahkan lebih mengejutkan dari sebelumnya.
Donghae? Bukankah dia, Donghae?
Saat ini, aku melihatnya berjalan ke sebuah hotel, tidak jauh dari tempat aku berada. Namun, itu bukan karena melihatnya di kota ini yang membuatku terkejut, tapi orang yang bersamanya.
Apa yang akan kau lakukan dengan orang itu bersamamu?
Aku tidak ingin memikirkan mengenai hal ini tetapi rasanya sangat tidak mungkin untuk menyimpan segala sesuatu dalam pikiranku. Meskipun aku tahu persis apa kesenangan yang ia lakukan di belakangku selama ini, aku tetap diam dengan sabar seperti orang bodoh sepanjang waktu.
"Chunghee? Hei, Chunghee?"
Suara Daehyun membuatku kembali tersadar, dan sepertinya kami sudah berada di dalam restoran saat ini. Aku bahkan tidak menyadari diriku berjalan masuk.
"Ini, pesan saja," kata Daehyun, memberikanku menu.
Tanpa semangat, aku mengambil menu dan memesan makanan secara acak, diikuti oleh Daehyun sendiri.
"Kau harus melakukan apa yang disarankan dokter kepadamu," kata Daehyun dengan suara yang dalam.
Akupikir ia tidak lagi ingin peduli mengenai hal itu, tapi sepertinya berbeda dari apa yang aku pikirkan. Aku tercengang dan mengangkat wajahku dengan hati-hati, menatapnya tanpa berkata apa-apa.
"Chunghee, aku mohon. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini."
"Daehyun, aku tidak ingin berdebat denganmu."
Daehyun terdengar mendesah berat, lalu berhenti berbicara. Ia membuang wajahnya begitu saja. Aku tahu bahwa ia kesal saat menghadapi sifat keras kepalaku, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya.
Kami terdiam setelah melakukan obrolan ringan itu. Awalnya, aku ingin memulai percakapan dengannya, tetapi melihat wajahnya yang tanpa ekspresi, aku menyerah untuk melakukannya. Ia saat ini sedang dalam mood yang buruk. Lebih baik terdiam. Bahkan saat hidangan kami tiba; hingga kami selesai makan siang, hanya keheningan yang mendominasi selama ini. Dengan susah payah, aku mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, "Kau harus segera pergi. Kau sibuk hari ini, bukan?"
Ia memasukkan ponselnya ke dalam sakunya, dan berkata dengan acuh tak acuh, "Biarkan aku mengantarmu pulang dulu."
Aku menghela napas, lalu terdiam kembali. Sekarang, aku akan berpura-pura bahwa aku tidak peduli mengenai hal itu. Setidaknya, mengetahui bahwa ia masih memiliki kepribadian yang peduli sudah cukup melegakan.
Setelah itu, kami pun segera berangkat dan tiba di apartemenku beberapa menit kemudian.
Daehyun tidak tinggal lama. Begitu aku keluar dari mobil, ia juga segera pergi setelah menurunkanku. Tampaknya, kesibukan tidak bisa membuatnya tinggal untuk sesaat.
Di malam hari, aku menunggu Donghae di ruang tamu. Aku yakin, bahwa malam ini ia akan pulang karena aku melihatnya sore tadi. Tetapi, ketika aku teringat seseorang yang bersamanya saat itu ... ada kecurigaan yang kusimpan di dalam benakku. Aku belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Mungkin rekannya — kolega mudanya — yang tampak begitu dekat dengannya ... Ya, begitu dekat sehingga ia bahkan memeluknya di sebuah hotel dan mungkin akan menidurinya di sana. Itu cukup untuk membuktikan seberapa dekat mereka.
Aku memeluk lututku erat-erat. Sesekali aku melirik ponselku yang tergeletak di atas meja, berharap Donghae akan meneleponku dan berkata, 'Aku akan pulang malam ini, hadiah apa yang kau inginkan?' Seperti saat ia belum menjadi orang lain bagiku.
Akhirnya, ketidaksabaranku membuatku gila. Aku meraih ponsel dan meneleponnya segera.
"Halo?" Suara yang akrab pun datang melalui telepon yang sudah terhubung.
Aku begitu terkejut sekaligus takjub. Ini pertama kalinya Donghae menjawab teleponnya dengan segera. Aku memegang ponselku erat-erat sambil bertanya, "Halo, apa kau akan pulang malam ini?"
Dia berhenti sebelum menjawab. Ada kelembutan yang agak asing dalam suaranya, "Tidak, sayang, aku ... maafkan aku. Aku masih di Daejeon. Aku punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan sekarang. Aku akan kembali dalam waktu lima hari ... aku janji," dengan jeda, ia melanjutkan," Apa kau ingin hadiah? Aku akan membelikannya untukmu jika aku kembali."
Aku menyeringai. Bisakah kau menepati janjimu?
Aku meragukan itu.
Mendengar janjinya membuatku meneteskan air mata. Ia sudah terlalu sering berjanji dan mengingkarinya tanpa mempedulikan apa yang aku rasakan seolah-olah dengan mengatakan permintaan maaf, semuanya akan kembali normal seperti biasanya.
Aku kesakitan karena itu, tetapi hanya menunjukkan senyuman.
"Kue yul-lan ... aku ingin kue yul-lan ..." aku berbicara dengan suara kecil.
Mendengar ini, dia terkekeh kecil. "Hanya itu? Oke, aku akan membelikan sesuatu yang lebih enak untukmu."
Pembicaraan ini hanya berlangsung lima menit. Ia menutup telepon dengan alasan ingin kembali ke pekerjaannya.
Aku tahu itu adalah kebohongan. Namun, memikirkan mengenai hubungan lama kami, aku hanya bisa terdiam dengan rasa sakit dan keraguanku. Aku berusaha untuk baik-baik saja dan menahan air mataku agar tidak keluar secara terus menerus.
Namun, sesuatu yang lain terjadi saat aku mencoba untuk tetap tersenyum. Betapa terkejutnya aku ketika melihat piyama biru yang aku kenakan kotor karena tetesan darah dari hidungku. Aku pun segera menyekanya dengan menggunakan lenganku dan segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahku.
Setelah itu, saat berada di kamar tidur, aku melihat tubuhku di cermin vertikal di samping lemari pakaian. Aku terlihat kurus dan menyedihkan. Mungkin, itulah alasan mengapa Donghae mengkhianati hubungan kami, yang telah melewati satu dekade. Aku tidak tahu berapa lama tubuh ini bisa bertahan. Jika perkataan dokter itu benar, maka hidupku tidak cukup lama untuk waktu sesingkat ini.
Tanpa disadari, air mataku menetes ketika aku mengingat waktu yang singkat. Aku bertanya-tanya, 'Bagaimana denganmu, Donghae? jika aku tidak di sini lagi, bagaimana denganmu? '
Di lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak ingin ia kesepian. Aku berharap suatu hari ia akan menemukan seseorang yang akan selalu bersamanya di masa depan, merawatnya dengan sepenuh hati seperti yang aku lakukan.
Namun, ada dua hal yang sangat aku inginkan sebelum ia mencari orang lain untuk menggantikanku di dalam hatinya. Aku ingin ia mencintaiku seperti dulu dan menemaniku sampai waktuku berakhir.