Malam ini Lita tidak merasa mengantuk. Dia sudah rebah di ranjangnya. Adiknya sudah mendengkur di ranjang sebelah kirinya. Di sebelah kanan ada ranjang kakaknya. Kakaknya sedang di kamar mandi. Anak laki-laki bernama Dion masih ada di pikirannya. Lita memandangi kakaknya yang sudah siap naik ranjangnya.
"Kak, aku mau nanya...? Suara Lita setengah berbisik.
Kakak Lita yang sudah siap dengan selimutnya jadi memandang serius adiknya.
"Kakak pernah ngrokok nggak?" tanya Lita tanpa peduli bagaimana kakaknya akan bereaksi.
Kakak Lita tersenyum tapi pandangannya tetap serius.
"Siapa yang ajarin kamu ngrokok?" tanya kakak Lita santai.
Lita mengeluarkan satu batang rokok dan pemantik zippo. Kakaknya jadi serius memperhatikan benda di tangan Lita.
"Darimana kamu dapet itu?" tanya kakak Lita.
"Ini punya Dion," cetus Lita.
"Dion?" Kakak Lita mengernyitkan alisnya," Dion anak baru yang lagi jadi idola itu?"
Lita hanya mengangkat alisnya. Dia tidak terlalu memikirkan bila Dion itu anak idola.
"Kan aku bilang apa... Kamu itu memang yang paling cantik di antara kita..." Kakak Lita tertawa dan dua tangannya mulai mencubit pipi adiknya.
"Ih apaan sih," Lita risih dengan kelakuan kakaknya.
"Kalau gitu kita coba aja yuk," kata kakak Lita dengan mata menggoda.
Lita tertawa mengiyakan. Hati-hati kakak Lita menyalakan sebatang rokok itu dengan pemantik zippernya dan bergaya layaknya aktris film. Tetapi baru satu hisap, kakak Lita sudah terbatuk. Spontan Lita tertawa terbahak sampai kakak Lita harus meletakkan telunjuk di depan mulutnya. Lita penasaran. Dia ambil rokok itu dari kakaknya dan dengan gerakan kaku dia coba untuk menghisapnya. Lita terbatuk lebih heboh dari kakaknya. Mereka berdua tak bisa menahan tawa hingga adik Lita terbangun. Lita dan kakaknya panik. Buru-buru kakak Lita menghampiri adik bungsunya.
"Dedek... Udah tidur lagi gih..." Kakak Lita mengelus kepala adiknya.
"Bau apa ini?" tanya adik Lita sembari mengucek matanya.
"Biasa... Lagi banyak tamu di luar pada ngrokok..." jawab kakak Lita.
Lita berlari ke kamar mandi dan membuang rokok ke toilet. Lalu dia semprotkan pewangi ke sekitar kamar. Dia lihat kakaknya ikut tertidur memeluk adiknya yang sudah kembali pulas. Sejenak dia pandangi kakak dan adiknya. Lita merasa hanya mereka berdua yang dia punya saat ini. Lita pun beranjak ke ranjangnya. Dia berusaha memejamkan matanya. Pemantik zipper itu masih ada di genggamannya.
Malam telah larut. Lita baru merasakan kantuk. Diantara sadar dan tidur, Lita terhenyak. Bunyi debuman keras terdengar. Lita masih terbaring, tapi matanya terbuka lebar ke atas. Bunyi itu jelas terdengar dari atap. Dari Lita kecil, hal seperti ini kadang terjadi di rumah mereka. Tapi kali ini, debuman demi debuman terus terdengar hingga Lita terduduk di ranjangnya. Lita sudah ingin beranjak untuk keluar kamarnya. Kakinya sudah menginjak lantai.
"Lita, balik ke ranjang kamu!," suara kakak Lita mendesis di ranjang sebelah.
Kakak Lita sedang mendekap adik bungsunya yang masih tertidur. Tangannya menutup telinga adiknya itu. Lita pun kembali merebahkan badannya. Saat Lita kecil, ketika ada suara berdebum, ibunya selalu bilang mereka sedang mendapatkan serangan dari luar. Dan Lita percaya pada kakaknya. Kakaknya pasti sudah melihat kejadian di luar kamar mereka. Lita berusaha memejamkan matanya, tapi suara rebut-ribut di luar sana membuatnya selalu terjaga. Lita menoleh ke samping. Kakak dan adiknya sedang lelap tertidur. Hati-hati Lita turun dari ranjangnya. Dengan berjingkat dia keluar dari kamarnya. Walau bagaimana dia masih mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Lita mengendap melewati lorong gelap di rumahnya. Dalam remang, dia masih bisa melihat jam di dinding menunjuk angka tiga. Di jam-jam segini biasanya sedang ada banyak tamu datang ke rumah mereka. Halaman mereka yang luas penuh dengan mobil-mobil mewah yang terparkir. Banyak pejabat yang mempercayakan urusan mereka pada orang tua Lita. Tapi langkah Lita tertahan. Ada bisikan anak kecil dari belakangnya.
"Lita jangan pergi ke sana..." bisikan itu tambah dekat di belakang Lita.
Lita membalikkan badannya. Sesosok anak perempuan dengan muka pucat dan berbaju merah melayang di gelap lorong tak jauh darinya.
"Sudah kubilang jangan ikuti aku lagi," desis Lita dengan muka marah.
Muka anak perempuan itu jadi terlihat sedih. Mimiknya seperti ingin menangis. Tapi Lita tidak peduli. Sosok itu pernah jadi teman sehari-harinya saat dia kecil. Lita semakin dewasa, tapi sosok itu sepertinya tumbuh dengan lambat. Sekarang Lita ingin punya dunianya sendiri tanpa kehadiran teman kecilnya lagi. Lita tinggalkan begitu saja sosok itu karena dia sudah dekat dengan pintu menuju ruang tengah.
Suara gaduh pun semakin jelas terdengar. Pintu menuju ruang tengah sudah setengah terbuka. Lita bisa melihat banyak api membakar perabotan di beberapa sudut ruangan. Dua pembantunya terlihat gelagapan memadamkan api. Lita melihat bapaknya sedang berusaha mengobati ibunya yang terduduk lemas di sebuah sofa.
"Ibu!" Lita setengah berteriak melihat ibunya tak berdaya.
Tapi begitu Lita hendak melangkah, satu bayangan hitam menghalanginya masuk. Sosok hitam tinggi besar ada di depannya. Lita tahu dia penjaga pintu ruang tengah. Tidak ada yang boleh masuk pada jam-jam segini. Pelan Lita mundur. Lita pun pasrah walau dia masih khawatir dengan ibunya. Dengan langkah hati-hati dia kembali ke kamarnya. Saat masuk kamarnya, dia sudah disambut tatapan kakaknya. Kakaknya masih terbaring menjaga adiknya yang pulas tertidur tapi tatapannya tajam ke arah Lita.
"Aku bilang jangan ke sana,"suara kakak Lita pelan tapi berat,"Bahaya buat kamu ada di sana!"
Lita mengangguk pelan tanpa melihat kakaknya lagi. Dia tahu perbuatannya tadi sangat bodoh. Mungkin dia hanya khawatir akan kedua orang tuanya. Lita sudah menarik selimutnya dan berusaha memejamkan matanya. Dia ingin terlelap dan melupakan apa yang terjadi malam ini.
Pagi-pagi sudah ada yang mengusap-usap kepala Lita untuk bangun.
"Lita bangun..."Suara kakak Lita setengah berbisik.
Lita mengusap-usap matanya yang masih terasa berat. Biasanya kakaknya langsung marah karena kebiasan Lita yang malas beranjak dari tempat tidur. Tidak seperti adiknya yang kini sedang sibuk di kamar mandi. Tapi kali ini kakak Lita hanya duduk di sampingnya terbaring menunggu Lita benar-benar terjaga.
"Tadi malam aku mimpi Dion," suara kakak Lita datar tapi wajahnya tetap serius.
"Mimpi Dion?" Lita masih berusaha menghilangkan sisa kantuknya.
Kakak Lita mengambil sesuatu dari tasnya. Selembar sapu tangan berwarna putih dia sodorkan ke Lita.
"Ini kamu bawa di saku kamu... Jangan ditaruh di tas,"kata kakak Lita," siapa tahu kamu butuh hari ini."
Walau tidak mengerti maksud kakaknya, Lita menerima sapu tangan itu. Lita hanya percaya pada kakaknya. Sering apa yang kakak Lita katakan terjadi sesudahnya. Sebenarnya dia ingin bertanya tentang mimpi kakak Lita tapi adiknya sudah keluar kamar mandi dan kakak Lita menyuruhnya cepat mandi. Lita beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil baju seragam dari lemari. Selembar sapu tangan putih dia masukkan ke saku bajunya yang masih terlipat.
***
Jam istirahat langit mendung. Hujan masih enggan turun. Hari ini bukan hujan yang Lita harapkan. Kotak makannya sudah di atas meja kecil di depannya. Sebuah korek Zippo ada di sebelah kotak makan. Saat hendak membuka kotak makannya Lita terperanjat. Dion menyeruak masuk dari lubang di dinding. Bukan karena Lita tidak menyangka Dion akan muncul setiba-tiba ini. Dion masuk dari lubang itu langsung tersungkur. Sebagian wajahnya lembam, dari hidungnya keluar kucuran darah. Spontan Lita menghampiri Dion yang telentang di lantai. Dion berusaha bangkit tapi sepertinya kekuatannya belum pulih. Dia sempat mengusap hidungnya dan baru sadar banyak darah di sana. Begitu paniknya, Lita sampai tidak tahu harus berbuat apa. Hingga dia ingat sapu tangan yang ada di sakunya. Dia keluarkan sapu tangan itu dan dengan hati-hati dia bersihkan darah di wajah Dion. Awalnya Dion menolak, merasa harga dirinya terinjak ditolong perempuan, tapi Lita memaksa. Lita begitu serius merawat Dion. Wajah mereka sudah berdekatan. Tapi tak berapa lama, mereka dikejutkan suara langkah-langkah yang mendekat. Dengan masih sempoyongan, Dion berusaha berdiri.
"Kamu keluar lewat situ!" Dion menunjuk ke lubang di dinding tempat dia masuk tadi.
Lita memandangi Dion. Selain tidak mengerti maksud Dion, Lita melihat Dion masih belum kuat berdiri. Satu tangan Dion bersandar pada dinding.
"Cepat Lita! Keluar dari sini!" kali ini Dion setengah teriak.
Cepat-cepat Lita menuruti apa yang Dion katakan. Agak susah dia menerobos lubang di dinding. Tapi setelah di luar dia tidak segera pergi. Dia ingin tahu apa yang terjadi karena suara langkah-langkah tadi sudah sampai di tempat persembunyiannya. Lita mengintip dari sudut lubang di dinding. Dion terlihat masih bersandar pada dinding. Di depannya sudah berdiri lima anak laki-laki berseragam. Mereka termasuk anak-anak yang berbadan tinggi besar.
"Jadi di sini lo ngumpet," kata seorang yang berbadan paling besar," Dikiranya kita takut datang ke sini."
"Kita habisin aja dia di sini sekalian," kata seorang yang memakai topi terbalik," Biar tahu rasa jadi anak belagu! Udah bapaknya dipenjara, masih belagu lagi!"
Tapi belum sempat mereka berlima melangkah maju, langit-langit ruangan itu runtuh tepat di depan mereka. Serpihan papan berserakan di lantai. Beberapa potongan kayu lapuk menimpa mereka. Tanpa berpikir lagi, mereka berlima lari tunggang langgang ketakutan. Tinggal Dion yang memandangi bagian langit-langit yang tadi runtuh. Dion menengok ke belakang. Dari lubang di dinding, Lita terlihat berdiri di sana.
"Kamu yang melakukannya?" Tanya Dion sembari tangannya menunjuk reruntuhan langit-langit yang runtuh.
"Langit-langitnya memang udah pada lapuk," Lita berkilah.
Dion memandangi Lita. Dia yakin langit-langit itu tidak akan runtuh begitu saja tepat di depan lima anak yang mem-bully-nya. Dion tahu Lita punya kemampuan di luar anak-anak normal. Dan bel pun berbunyi. Buru-buru Dion membantu Lita masuk lagi lewat lubang di dinding.
"Lita, terimakasih ya," suara Dion serak tapi tatapannya tulus.
"Iya..." Sebenarnya Lita tidak tahu harus bagaimana berucap. Tapi walau bagaimana dia masih mengkhawatirkan kondisi Dion.
Dengan langkah masih terseok Dion meninggalkan Lita. Dari lubang di dinding, Lita memperhatikan Dion sampai menghilang di tikungan lorong kelas. Lita sampai lupa dengan makan siangnya. Tapi Lita tidak akan pernah melupakan kejadian siang ini.
Siang ini hujan yang tadinya deras mulai reda. Angkot yang Lita dan kakak adiknya tumpangi sudah berhenti di pinggir jalan. Mereka turun memakai payung karena rintik hujan belum berhenti. Rumah keluarga Lita ada di tanah yang agak tinggi. Hanya satu jalan menuju ke sana dan cuma mereka yang lewat situ atau tamu-tamu yang datang malam harinya. Tidak ada orang tinggal di sekitar karena tak jauh dari situ ada satu bukit yang dikeramatkan dari dulu.
Rumah mereka tidak begitu besar tapi halamannya luas. Pagar yang tinggi mengitari tanah yang penuh pepohonan itu. Di bagian depan, pagas besi yang tinggi begitu kokoh dengan ornament ular naga. Patung raksasa berdiri di tiap sambungan pagar besi. Lita selalu berpikir tidak akan ada temannya yang mau datang ke sini. Terlebih Lita memang tidak punya teman. Mereka bertiga pun sudah memasuki halaman. Kakak Lita menutup kembali gerbang dengan kunci yang selalu dia bawa. Baru saja mereka bertiga naik menuju teras, terdengar suara motor meraung. Dion dengan motornya yang masih menyala ada di depan gerbang. Awalnya pandangannya menyusur seluruh area rumah lalu dia lihat Lita yang berdiri di teras di sebelah kakak dan adiknya. Pintu rumah terbuka, ibu Lita muncul dari sana.
"Siapa dia? " Ibu Lita mengamati Dion yang masih di atas motor di bawah sisa rintik hujan.
"Cuma anak iseng yang mau lihat rumah kita," kakak Lita berkilah.
"Suruh dia pergi dari sini," kata ibu Lita pada kakak Lita.
Lalu Ibu Lita menyuruh Lita dan adiknya untuk masuk rumah. Saat berjalan menuju pintu, Lita tidak pernah mengalihkan pandangannya ke arah Dion. Dia tidak menyangka Dion ada di depan halaman rumahnya. Kakak Lita sudah berdiri di depan gerbang yang tertutup.
"Kamu mau apa?" tanya kakak Lita.
Dion masih memandangi Lita sampai Lita menutup pintu. Lalu dia mematikan motornya dan berjalan ke arah kakak Lita. Dion mengeluarkan setangkai bunga mawar dari saku jaketnya.
"Tolong sampaikan ke Lita," Dion mengulurkan tangannya, menyerahkan setangkai bunga itu ke kakak Lita. Dia berusaha memposisikan tangannya supaya tidak terlihat ibu Lita. Dion tahu, ibu Lita masih berdiri di teras mengawasinya.
Kakak Lita menerima bunga itu dan langsung memasukkannya ke saku. Lalu dia berjalan balik menuju ke teras.
"Mau apa dia?" tanya ibu Lita galak sembari memandangi Dion yang sudah melarikan motornya meninggalkan rumah Lita.
"Cuma anak tersesat... Nanyain jalan," Kilah kakak Lita.
Di kamar, Lita duduk kaku di pinggir menunggu kakaknya masuk.
"Mau apa Dion Kak?" tanya Lita tak sabar begitu kakaknya membuka pintu.
"Nih, dia kasih ini buat kamu," Kakak Lita menyerahkan setangkai bunga mawar merah.
Lita memegang bunga itu dengan mata berbinar. Kakak Lita sengaja meninggalkannya. Tapi Adik Lita masih di situ memandangi Lita yang tak berhenti menciumi bunga di tangannya.
"Wangi ya Kak?" tanya adik Lita polos.
Lita menyodorkan tangannya. Adiknya pun mendekat dan menciumi bunga di tangan Lita.
"Mmm... Wangi..." kata adik Lita ceria.
Lalu adik Lita berjalan ke lemarinya. Dia ambil satu kotak kaleng dan mengeluarkan pernik- pernik mainannnya.
"Kak, ditaruh sini aja... Biar wangi terus bunganya,"kata adik Lita sembari menyodorkan kotak kalengnya yang sudah kosong.
Dengan ceria Lita menerima kotak itu. Setangkai bunga mawar merah dia masukkan ke dalamnya. Beberapa saat dia pandangi bunga itu. Lalu Lita teringat sesuatu. Dia berlari kecil ke tempat baju kotor. Dia cari baju seragamnya. Baju seragam yang tadi siang dia pakai. Dari sakunya dia keluarkan sapu tangan putih pemberian kakaknya. Sapu tangan itu kini penuh dengan noda darah yang mengering. Hati-hati dia bentangkan sapu tangan itu. Dia letakkan bunga mawar merah di atasnya. Lalu dia lipat sapu tangan itu membungkus bunganya. Lita memandanginya lama. Membayangkan anak laki-laki bernama Dion.