1 Dion

Bersembunyi dari keramaian adalah kepandaian Lita sekarang. Sendiri di belakang gudang sekolah saat istirahat membuatnya nyaman dari pada harus bergaul dengan teman-teman SMA-nya. Semua orang di sekolah tahu Lita anak dukun. Tatapan-tatapan itu membuat Lita harus mencari dunianya sendiri. Dia ingin menghindari cemoohan. Orangtuanya dianggap telah bersekutu dengan iblis.

Lita membuka kotak makannya. Sesuap-demi sesuap dia masukkan mulut. Tidak ada orang yang berani ke tempat ini kecuali terpaksa dan datang beramai-ramai. Sudah banyak yang merasakan akibat nekat datang ke ruang singup ini. Dari mendengar suara geraman sampai ditimpuk batu. Lita tahu siapa yang melakukannya. Sesosok hitam, berbulu dan berbadan besar dengan mata merah menyala sedang meringkuk di salah satu sudut ruang. Lita tak pernah mempedulikannya. Di rumahnya banyak yang lebih seram. Sosok itu hanya menunggu dan menatap Lita. Sepertinya dia tidak bernyali untuk mengganggu Lita. Apalagi seperti saat ini. Setelah selesai makan, untuk mengusir rasa bosan, Lita memain-mainkan botol minumnya. Lita hanya sedikit menggerakkan jarinya dan botol itu pelan berputar sendiri di atas meja kecil di depannya.

Seketika Lita terhenti dari kebiasaan isengnya. Seseorang masuk ke tempat persembunyiannya. Dia menerobos dari lubang besar di salah satu tembok. Salah satu murid laki-laki di sekolah Lita. Anak itu tidak sadar ada Lita duduk di bangku kecil tak jauh dari dia jongkok. Beberapa kali dia melongok ke lubang dinding memastikan tidak ada orang yang melihat. Lalu dia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Tapi saat hendak memasukkan satu batang ke mulut, dia terperanjat melihat Lita. Lalu matanya tajam mengamati Lita. Dia tahu Lita murid kelas 10. Lita hanya mematung melihat anak laki-laki berseragam SMA di depannya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Untuk sementara mereka hanya sadar kalau mereka sama-sama butuh tempat bersembunyi. Anak laki-laki itu merasa Lita tidak berbahaya untuk apa yang akan dia lakukan. Lalu dia mengambil pemantik dan mulai menyulut rokoknya. Dia berusaha menikmati semburan asap yang keluar dari mulutnya sembari sesekali melirik ke arah Lita. Lita masih diam mengamati anak laki-laki itu. Dia tidak merasa harus beranjak dari tempatnya. Justru sekarang dia sedang menikmati pemandangan di depannya. Hingga bel berbunyi. Anak laki-laki itu membuang rokoknya dan mematikan dengan kakinya. Sebelum keluar dari lubang dinding, senyumnya sedikit tersungging ke arah Lita. Beberapa saat Lita masih memandangi lubang besar di salah satu dinding sampai dia sadar harus kembali ke kelasnya.

Jam pulang sekolah, terik begitu menyengat. Lita menyeruak cepat di antara kerumunan murid yang hendak pulang, menghindari mata-mata yang memandang aneh padanya. Seperti biasa, dia harus menemui kakak perempuannya di tempat mereka biasa janjian. Di bawah pohon besar depan pagar sekolah, kakaknya sendiri berdiri menunggunya. Kakak Lita duduk di kelas 11. Walau wajahnya seperti tak peduli memandang ke depan, tapi Lita tahu kakaknya sudah melihatnya menuju ke sana dengan caranya sendiri. Badan kakak Lita tinggi semampai dan kulitnya yang putih langsat sering membuat Lita iri. Kadang Lita berpikir seharusnya kakaknya akan mudah punya pacar. Laki-laki yang lewat di depan kakaknya, sedikitnya akan melirik ke arahnya. Dua pemuda naik motor bersiul kencang saat melintas di depan kakak Lita berdiri.

"Tumben lama?" tanya kakak Lita.

"Tadi ada pelajaran tambahan," jawab Lita datar. Sebenarnya dia ingin segera pergi dari situ.

Setelah ini mereka berdua harus berjalan 10 menit untuk menjemput adik perempuan mereka yang masih duduk di kelas 7. Di tengah jalan terdengar suara motor meraung. Seorang anak laki-laki berseragam SMA mengendarai motornya kencang di depan Lita dan kakaknya. Anak laki-laki yang tadi siang bersama Lita di tempat persembunyian. Lita memperhatikan lama sampai anak itu hilang di tikungan bersama motornya. Beberapa anak perempuan yang menunggu di halte seperti sedang menggunjingkan anak yang lewat pakai motor tadi.

"Anak baru idola cewek-cewek lebay..." guman kakak Lita tanpa ekspresi.

Lita memandang sebentar kakaknya. Biasanya pandangannya sinis dan bilang kalau laki-laki hanya memandang bentuk fisikmu saja. Kali ini kakaknya senyum-senyum memandanginya.

"kakak tahu siapa dia?" Lita penarasan.

"Lah kamu yang seangkatan masak nggak tahu," kilah kakak Lita,"Bapaknya tajir banget, tapi sekarang lagi ditangkep karena korupsi."

Lita masih membayangkan pertemuannya tadi dengan anak itu.

"Suka sama dia ya?" Kakak Lita menggoda.

"Apaan sih," Lita tidak suka pertanyaan kakaknya.

Kakak Lita pun dengan gemas mengacak-acak poni adiknya.

"Ih apaan sih," Lita mencoba menyingkirkan tangan kakaknya. Walau cuma beda satu tahun, kakaknya selalu menganggapnya anak kecil.

Mereka sudah menyisir pagar sekolah SMP. Di seberang gerbang ada pohon besar. Di bawah pohon itu seharusnya adik Lita menunggu. Siang ini Lita tidak melihat adiknya. Lita mulai resah, baru kali ini adiknya tidak ada di tempat saat mereka jemput. Tapi tidak dengan kakaknya. Dia tahu adiknya berada dimana. Kakak Lita berlari menuju gerbang. Lita berusaha mengikuti kakaknya dengan perasaan was-was. Setelah melewati gerbang, di halaman sekolah, Lita melihat kerumunan anak SMP. Kakak Lita terlihat sudah mendekap adiknya dan seperti sedang berusaha menariknya menjauh dari kerumunan. Ada beberapa guru yang berusaha menenangkan murid-murid. Pandangan mereka sinis ke arah adik Lita. Seorang anak laki-laki berseragam SMP terlihat kejang-kejang terkapar di tanah. Dua orang guru berusaha menolongnya. Lalu terdengar suara sirine. Satu mobil ambulan masuk gerbang. Anak yang kejang tadi dimasukkan ke dalamnya.

"Kamu apakan dia?" desis kakak Lita ke adiknya sembari menyeretnya keluar gerbang.

Adik Lita masih diam. Wajahnya jutek. Jalannya agak terpontal karena tangannya ditarik kakaknya. Sampai di bawah pohon Kakak Lita menatapnya.

"Dedek, kamu apakan dia?" Tatapan Kakak Lita tajam.

Adik Lita masih diam. Dia membalas tatapan tajam kakaknya.

"Dedek, kamu apakan dia?" Suara kakak Lita lebih keras sembari mengguncang pundak adiknya.

"Kamu diejek sama mereka ya Dek?" tanya Lita menetralisir suasana.

Adik Lita mengangguk pelan, meminta belas kasihan Kakak Lita.

"Jangan lakukan itu lagi!" kata kakak Lita tegas.

Adik Lita masih diam. Wajahnya tambah jutek. Dia ingin berontak atas sikap kakaknya.

"Janji sama Kakak, kamu tidak lakukakan itu lagi!" tatapan Kakak Lita makin lekat ke adiknya.

Adik Lita mengangguk terpaksa. Dan Kakak Lita seperti belum puas dengan jawaban adiknya.

"Kak kita harus pergi dari sini," Lita menyela.

Di sekitar masih banyak murid SMP yang baru keluar gerbang. Tatapan-tatapan mereka tertuju ke Lita dan dua saudaranya di bawah pohon. Lita sudah tidak tahan berada di situ. Kadang Lita berpikir kakak dan adiknya jauh lebih kuat menghadapi situasi seperti ini. Kakak Lita mengajak dua adiknya untuk beranjak. Sebuah angkot yang biasa mereka naiki berhenti di depan. Mereka bertiga masuk ke angkot meninggalkan tempat yang sepertinya tidak pantas buat mereka.

***

Siang ini hujan turun begitu deras. Membuat kegiatan di jam istirahat jadi tidak leluasa buat murid-murid. Tapi buat Lita, gemuruh hujan di luar membuatnya makin nyaman berada di belakang gudang sekolah. Tidak seperti biasa, kali ini sembari mengunyah makanan, Lita tidak pernah berhenti memandangi lubang besar di salah satu dinding. Kemarin seorang anak laki-laki muncul dari sana, masuk ke tempat persembunyiannya. Entah kenapa, Lita berharap bisa melihat anak itu lagi. Tapi sepertinya harapannya tinggal harapan, sampai makan siangnya habis, tidak ada yang muncul dari lubang di dinding itu. Dengan sedikit kecewa, Lita mulai melakukan kebiasaan isengnya. Sembari duduk malas menghabiskan waktu, Lita sedikit menggerak-gerakkan jarinya. Botol minum di atas meja di depannya mulai berputar-putar sendiri. Sekali-sekali Lita melirik ke sudut ruang yang paling gelap. Ada bola mata merah menyala bergerak-gerak di sana. Saat kilat menyambar, sosok hitam besar berbulu terlihat meringkuk di sudut. Mahluk itu mundur dan mendengus saat Lita mulai mengencangkan gerakan botolnya. Lita mulai menikmati keisengannya. Karena di tempat yang orang bilang angker ini, hanya mahluk itu yang menemaninya. Di tengah keasikannya, Lita dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba muncul di depannya. Dia mengambil botol minum yang masih berputar. Sesaat Lita tertegun, anak laki-laki yang kemarin sudah ada di depannya sedang mengamati botol minumnya. Lalu anak itu seperti memeriksa meja kecil di depan Lita.

"Coba lakukan lagi," anak itu meletakkan botol minum di atas meja tepat di depan Lita.

Spontan Lita beranjak dari duduknya untuk pergi dari situ. Dia merasa sudah kepergok. Anak itu sudah melihat dirinya yang sebenarnya. Dia merasa ditelanjangi. Tapi anak itu cepat mencengkeram pergelangan tangannya, membuatnya tertahan melangkah.

"Tunggu!" sergah anak itu," Sori, gue minta maaf, gue nggak bermaksud ngagetin lo, please jangan pergi."

Lita masih memandangi anak itu curiga. Kakinya masih ingin melangkah pergi.

"Please jangan pergi..." kata anak itu lagi. Kali ini dengan nada memelas. "Gue cuman butuh temen aja... Please..."

Lita masih berdiri, tapi dia sudah tidak punya niat untuk pergi dari situ. Anak laki-laki itu mulai mengendorkan genggamannya dan pelan menuntun Lita untuk kembali ke tempat dududknya. Dengan masih tegang, Lita duduk tanpa mengalihkan pandangannya pada anak itu.

"Namaku Dion," anak laki-laki itu mengulurkan tangannya.

Agak ragu Lita membalasnya," Lita," pelan Lita menyebut namanya.

Anak laki-laki itu tersenyum dan duduk besila di lantai.

"Gue tahu apa yang orang-orang omongkan tentang lo," suara anak laki-laki bernama Dion itu santai," nasib kita sama. Orang tua kita yang bermasalah, kitanya ikut terseret-seret dicibir sana-sini... Kayaknya mereka benci banget sama kita."

Lita mulai serius mendengarkan anak laki-laki di depannya.

"Bapak gue yang korupsi... Kenapa mereka jadi benci juga sama gue..." kata Dion sembari mengeluarkan bungkus rokoknya," Boleh ya gue ngrokok?"

Lita mengangguk. Dia ingin mendengar cerita lebih banyak dari Dion. Tapi sepertinya Dion masih ingin menikmati semburan asap dari mulutnya. Hingga bel berbunyi. Dion cepat-cepat mematikan rokoknya. Lalu dia mengambil lagi satu batang.

"Nih buat lo," kata Dion dengan senyum canda sembari meletakkan satu batang rokok di depan Lita.

Lalu Dion melangkah menuju lubang dinding tapi dia teringat sesuatu. Dia mengambil pemantik zippo-nya dan kembali ke Lita.

"Lupa... Nih koreknya," kata Dion sembari meletakkan zippo-nya di meja.

Lalu anak laki-laki itu keluar lewat lubang di dinding. Lita masih termangu memandang ke arah sana. Dia ambil satu batang rokok dan pemantik zippo yang ada di meja lalu dia masukkan ke sakunya. Dia berharap Dion akan datang lagi ke tempat ini.

avataravatar
Next chapter