Mereka hanya berempat, bermain-main di hotel tua yang sudah terbengkalai. Padahal mereka sering diberitahu oleh warga sekitar kalau tempat tersebut mempunyai legenda atau rumor kalau hotel itu menjadi pusat pertemuan sekte sesat di era sebelum kemerdekaan Indonesia. Namun mereka mengabaikan peringatan itu, karena tempat tersebut memang ruang bermain favorit mereka, Riva dan ketiga temannya pada pagi itu memutuskan untuk bermain petak umpet.
Satu temannya bertugas untuk menjaga, sedangkan Riva dan dua temannya yang lain bersembunyi. Karena Riva mempunyai kepribadian yang ambisius, bocah itu mempunyai rencana untuk bersembunyi di lantai paling atas, di Ruang Aula Hotel, tepatnya di lantai tiga belas.
Riva melewati lantai-lantai dan tangga yang berlumut, tak jarang juga pepohonan sudah tumbuh subur di sela-sela pintu kamar-kamar hotel. Ketika sampai di depan pintu Aula hotel tersebut, Riva mendengar bisik-bisik keributan dari dalam Aula.
Ketika bocah itu masuk ke Aula tersebut, tidak ada satupun orang atau sumber suara bisikan-bisikan. Namun, Riva masih mendengar ocehan-ocehan orang dewasa, seolah-olah sedang terjadi sebuah pesta di dalam sana, tanpa seorang pun di dalamnya.
Ruangan tersebut dipenuhi debu, lumut dan batang pohon yang sudah menjalar ke seluruh ruangan aula itu, siapapun yang masuk kesana, akan merasakan suasana fantasi yang luar biasa, atau malah merasakan suasana mencekam akibat diperlihatkan kekuasaan Sang waktu dan alam yang telah menelantarkan Hotel tersebut dalam waktu yang cukup lama.
Riva menutup telinga nya dengan kedua tangannya, dan mencoba menutup matanya untuk menenangkan dirinya. Selang beberapa saat, justru dia mendengar suara yang sangat jelas di sebelah telinga kanannya.
"Kau tersesat? Pria kecil yang keren?"
Saat Riva membuka kembali matanya perlahan, dia melihat perempuan cantik dengan gaun merah cerah yang sangat anggun, perempuan tersebut diperkiraan berumur 20-an. Riva berpikir, apabila bunga mawar adalah seorang manusia, maka perempuan itulah orangnya. Perempuan tersebut juga mempunyai wangi badan yang sangat harum, yang mungkin membuat seluruh pria akan terpikat saat mendekatinya.
Namun, Riva segera melihat se kelilingnya, ruangan aula itu menjadi sangat bersih, mewah dan megah dengan pernak-pernik pesta ala-ala hotel kelas atas. Banyak orang dewasa berpakaian rapi, ada yang mengenakan jas hitam dan saling berbicara mengenai suatu bisnis. Ada yang menari untuk memperlihatkan gaunnya ke seluruh isi ruangan tersebut. "Ini pesta?" ucap Revi dalam benaknya.
Kemudian, Riva kembali menatap mata perempuan mawar tersebut, bocah itu ingin memberitahu kalau dia sedang bermain petak umpet, tapi Riva malah menjawab pertanyaan Sang perempuan itu dengan kebingungan yang luar biasa.
"Aku....Kenapa aku ke sini? Eh..." Riva tertunduk dan memegang kepalanya seraya berpikir. Dia mengingat kembali dengan keras.
"Aku bermain bersama teman-temanku tadi, tapi siapa teman-temanku?"
Perempuan bergaun merah itu tersenyum dan berbicara dengan lembut kepada Riva, "Aku tahu...pasti berat, tapi sebentar lagi giliranmu untuk tampil...Jadi ayo ikut kaka ke atas panggung sana. Bukankah memang itu tujuanmu ke sini? untuk menampilkan seberapa beraninya dirimu, pria kecil yang keren."
Riva menatap ke arah panggung Aula hotel yang dibalut dengan tirai merah, dia melihat satu kursi dan tali yang menjuntai dari atas panggung.
Muncul perasaan nostalgia dari dalam hati Riva, seolah-olah dia pernah melihat pemandangan itu di sebuah lukisan lawas, atau seperti dia pernah berada di ruangan tersebut jauh di masa lampau, dan kemudian kembali ke sana dalam waktu yang sangat lama.
Riva berjalan perlahan menuju panggung tersebut, sambil memegang tangan perempuan tadi. Banyak orang dewasa yang tepuk tangan melihat dirinya, seolah dia merupakan tamu yang sangat penting di pesta tersebut.
"Bila kau ingin menjadi anak kecil selamanya, tinggal kau lakukan sekarang. Karena, ketika kau sudah menjadi dewasa, kau akan menjadi munafik untuk selama-lamanya." Perempuan itu kembali berbisik kepada Riva.
"Jadi, lakukan sekarang dengan penuh keberanian dan kebahagiaan."
Dalam benak Riva, dia ingin keluar dari ruangan tersebut, karena terdapat perasaan yang sangat tidak nyaman. Dia mencoba memberanikan diri untuk mengucapkan sesuatu ke perempuan cantik itu. "Tapi, aku ingin pulang dan melakukan yang terbaik untuk ibuku, aku sudah berjanji akan menjadi wartawan nomor satu yang melampaui ayahku."
"Kau sudah melakukan yang terbaik, habiskan seluruh ambisimu untuk di momen-momen seperti ini." Perempuan itu kembali meyakinkan Riva.
"Lampiaskan seluruh keberanianmu sekarang juga, karena kami sudah menunggumu di sini nanti." seluruh orang di ruangan Aula Hotel tersebut bertepuk tangan dan mengangkat gelas mereka yang berisi minuman berwarna merah, sebagai simbolik penghargaan atas apa yang telah dilakukan Riva.
"Saatnya tampil, calon tumbal."
.
.
.
.
Helmi yang bertugas menjaga dalam permainan petak umpet mereka telah menemukan Syifa dan Rafli yang bersembunyi di taman belakang hotel. Namun Helmi tidak melihat tanda-tanda Riva. Mereka bertiga berpencar mencari keberadaan Riva, suasana menyenangkan tersebut perlahan tergantikan oleh perasaan risau mereka.
Saat sore tiba, lebih tepatnya ketika adzan ashar berkumandang. Mereka masih belum bisa menemukan Riva, Syifa mulai menangis karena kehilangan temannya, namun Rafli mencoba menenangkan Syifa. Sedangkan Helmi kembali melanjutkan pencariannya, karena mereka bertiga tidak akan pulang sampai menemukan Riva.
Tersisa ruang Aula Hotel di lantai 13 yang belum diperiksa Helmi, ketika dia masuk tidak ada tanda-tanda Riva pernah masuk ke ruangan itu juga. Namun, Helmi melihat sisa-sisa mayat yang tergantung tali di atas panggung aula hotel yang penuh debu dan lumut itu.
Mayat anak kecil yang sepertinya sudah ada di sana semenjak hotel tersebut ditutup 78 tahun lalu. Helmi mengingat salah satu perkataan kakek tua yang tinggal di sekitar hotel tersebut,
"Sudah ku bilang, jangan berani bermain-main di hotel itu, aku sering mendengar kabar kalau saat Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan, ada insiden bunuh diri di aula hotel itu."
Selain cerita tersebut, yang membuat jantung Helmi berdetak sangat kencang saat itu adalah, pakaian mayat tersebut sangat mirip seperti baju dan celana yang dipakai oleh Riva.
Seseorang memegang pundak Helmi, dan berbisik "Kau tersesat? Pria kecil yang keren? Sebentar lagi giliranmu untuk tampil."