Tepat jam lima pagi, Asia menggendong tas besar miliknya kemudian keluar melalui balkon kamarnya. Dengan hati-hati Asia turun dengan memanjat pohon lalu membuka pintu gerbang rumah dan berjalan pergi.
"Kau mau ke mana?" Asia terperanjat. Dia menoleh ke arah asal suara dan menemukan sosok Alexi. Kenapa pria itu selalu saja datang di waktu yang tepat.
"Terserah mau aku ke mana itu bukan urusanmu!" balas Asia ketus.
"Ya jelas itu urusanku, kau itu calon istriku,"
"Bisa tidak jangan katakan hal itu lagi?! Kau selalu mengatakan calon istri, calon istri, apa kau tak memikirkan perasaanku?! Aku tak menyukaimu!" ucap Asia menggunakan amarah.
"Kalau begitu kenapa kau membalas ketika kita berciuman, wajahmu merah saat kita bersama lalu kau merasa nyaman di dekatku. Kau juga kadang-kadang tak menepis perhatian yang aku berikan, jadi katakan padaku apa itu yang namanya tak menyukai!" Penuturan Alexi membuat Asia terdiam. Wajahnya merah menahan malu dan dalam hati dia mengakui kalau yang dikatakan oleh Alexi itu benar.
Alexi mendekat, menyentuh dagu Asia dengan tatapan serius. "Menikahlah denganku Asia. Kita sudah merasa nyaman satu sama lain jadi kau tak punya alasan menolak lamaranku ini."
"Tapi perasaan--"
"Kalau kau mau apa yang kau rasakan saat ini, ayo kita buktikan dulu baru setelah berjalan beberapa bulan kau akan memilih apa kau masih mau bertahan denganku atau tidak?" kening Asia mengerut.
"Maksudnya?"
"Kita akan menikah secara agama tapi aku tak akan menikahimu secara resmi dan selama itu pula aku tak akan menyentuhmu. Kau masih ragu akan perasaanmu maka ayo kita buktikan apa perkataanku benar atau kau yang benar,"
"Apa kau bersungguh-sungguh?" Alexi mengangguk. Dia melepaskan sentuhannya di dagu Asia dan menunggu jawaban Asia yang berpikiran keras. Cukup lama sampai cahaya matahari menyinari jalan yang masih sepi.
"Baiklah aku setuju." Mulanya Alexi menunduk tapi begitu mendengar ucapan Asia dia mendongak.
"Asal kau harus menepati janjimu jangan pernah menyentuhku selama masa percobaan ini." Alexi tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Kalau begitu ikutlah denganku."
"Ke mana?"
"Ke rumah Ayah dan Ibuku. Kita harus memberitahukan kabar gembira ini pada Ayah dan Ibu, lalu kita akan menyiapkan pernikahannya." Tanpa sadar Alexi telah menarik tangan Asia dan mereka bergerak masuk ke dalam mobil.
Alexi terus berbicara tentang pernikahan sementara Asia banyak diam tapi sesekali menyahut. Dia masih bingung, apakah ini adalah keputusan yang benar? Asia lantas menoleh pada Alexi yang sekarang diam dan lebih memilih berkonsentrasi dalam mengemudi.
Asia menyunggingkan senyuman kala melihat Alexi pun tersenyum cerah. Sepertinya dia sangat bahagia akan keputusan yang diambil oleh gadis belia itu. Sampai di rumah Alexi, Alexi dan Asia keluar dari mobil. Pria itu lalu mengambil tangan Asia ketika Asia mendekatinya lalu mereka masuk bersama-sama ke dalam rumah di mana Wenda dan Axton tengah berkumpul.
Selain Adya ada satu tamu yang tak diundang. Nandini. "Bibi, ini teh melati kesukaan Bibi. Aku membawakannya langsung dari tempat favorit Bibi loh." ucap Nandini dengan wajah ceria.
"Wah terima kasih maaf ya sudah merepotkan,"
"Tak apa-apa Bibi, ini hanya hadiah kecil dan untuk Paman aku punya hadiah untuk Paman juga ...." kata Nandini seraya mengambil sesuatu dari tas belanja.
"Tak apa-apa, Nandini. Paman tidak usah dikasih hadiah." balas Axton menolak dengan wajah senyuman simpul.
"Tapi Paman--"
"Aku pulang! Ayah, Ibu lihat siapa yang datang bersamaku?" Alexi tampak bersama dengan Asia dan keduanya bergandengan tangan.
Wenda sontak bangun menyapa mereka dengan ramah. Sama halnya dengan Axton yang ikut juga bahagia sedang Nandini terpaku melihat perlakuan Wenda dan Axton terhadap seorang gadis bernama Asia.
Bukankah dia adalah gadis yang pernah dia lihat tempo hari? Kenapa dia datang ke sini? Apa dia juga ingin memenangkan hati calon mertuanya?
"Bibi, apa kabar?"
"Baik. Meski kita baru bertemu kemarin, Bibi rindu berat sekali. Ayo duduk." Asia melempar senyuman tipis lalu mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Saat itulah sepasang matanya bertemu dengan Nandini.
"Wanita itu ...."
"Kau kenal dia? Dia itu Nandini, temannya Alexi di Indonesia. Kebetulan ada urusan di sini jadi dia datang." Setelah itu Asia dipersilakan duduk dan dirinya berada di antara Alexi dan Nandini.
"Ayah, Ibu, lamaranku diterima oleh Asia dan dia setuju menikah denganku." Mata Nandini membulat sedang Wenda dan Axton bahagia mendengar kabar tersebut.
"Wah itu kabar yang bagus. Selamat ya Alexi dan sekarang sudah saatnya kita mempersiapkan pernikahan kalian. Ayah tak sabar melihat kalian berdua memakai baju pengantin dan mengucapkan janji suci satu sama lain." Hal itu hanya ditanggapi oleh Asia dengan senyuman tipis.
Sepanjang percakapan dia hanya bisa diam seraya mendengar mereka berbicara. Sepasang telinga Nandini menjadi panas, wajahnya pun menahan marah dan karena muak, Nandini sontak berdiri. "Maaf Paman, Bibi, aku harus pergi ada sesuatu yang harus aku kerjakan."
"Loh, kamu bukannya baru saja datang?"
"Iya dan sebenarnya aku tak ingin pergi tapi karena kalian sibuk jadi aku tidak mau mengganggu. Sampai jumpa, Bibi, Paman, Alexi, Asia." Nandini lalu melangkah pergi sampai ke depan pintu dia mengumpat pelan.
"Dasar bocah ingusan, lihat saja nanti kau belum tahu aku siapa." gumam Nandini kesal.